Bagian_36

40 8 0
                                    

"Aku tau. Mungkin kata yang dia lontarkan padamu itu membuat hatimu berdenyut sakit. Tapi bukankah orang-orang hebat selalu mengalami hal itu.

Bisa jadi itu adalah proses untuk seorang kamu. Menjadi orang hebat. Semangat!"

_Rajabel

______


"Jaja!! Kok ga bangunin Abel si," ucap Abel yang kini dengan wajah bangun tidurnya.

Pasalnya sekarang hari Minggu dan mereka berjanji untuk joging bersama. Tapi nyatanya Jaja tidak membangunkan Abel. Dan terlihat sekarang Jaja sudah siap, terbalik dengan Abel.

"Yaa iyaa lo kan. Hm lagi ga sholat. Apalgi lo pas malam ngeluh sakit perut, gak tega gue bangunin."

Ayolah Jaja tak pernah sedekat itu dengan perempuan. Itu sedikit membuatnya agak gugup.

"Yaudahh Jaja tungguin Abel. Sebentar ajaaaa yaaa."

"Lo nyusul aja. Ga percaya gue kalo lo dandan sebentar," ucap Jaja yang kini sedang memakai sepatunya.

"Issh kok gitu si sama istri."

Deg

Entah mengapa suasananya jadi berbeda. Kata 'istri' membuat Jaja tersadar bahwa dirinya kini menanggung tangung jawab yang besar.

Ayolah Ja! Lo kan tau gimana jadi suami yang baik.

Ekspresi Abel kini tampak tak karuan. Dia baru saja memukul pelan bibirnya karena ada kata yang terlontar begitu saja tanpa dia memikirkannya.

"Yaudah buruan satu menit dari sekarang."

"Ihhh satu menit buat jalan doang itu mah."

Jaja hanya menatap Abel dengan tampang malas.

"Iyaa iyaa tunggu," Ucap Abel yang kini tampak berlari.

Jangan lari-lari Bel!

Jaja hanya mengucapkannya di dalam hati. Memang segengsi itu ya.

Hampir lima menit berlalu. Jaja memang sudah menduganya.

"Gimana Ja! Abel ga telat kan?" Ucap Abel yang kini sedang menetralkan nafasnya karena efek berlari. Tidak masalah Abel pikir ini juga sama dengan olahraga.

Jaja hanya mengangguk samar. Rasanya jika membalas perempuan di depannya ini, akan jadi lebih lebar lagi. Lalu kapan mereka akan joging nya?

***

Rasanya aneh. Jalan beriringan seperti ini membuat mereka agak canggung, entah mengapa sifat bawel Abel kini menghilang. Dia juga bingung harus memulai topik apa.

"Ja!"

"Bel!"

Mereka malah memanggil nama bersamaan.

"Lo duluan," ucap Jaja yang kini memang sedang jalan santai. Pasalnya tadi mereka cukup lama berlari.

"Jaja.. tembus ga?" tanya Abel sangat pelan. Yang kini sengaja sedikit berjalan cepat sehingga berada di depan Jaja.

"Tembus maksudnya?" tanya Jaja yang kini menyiriit bingung.

"Is ga! Gaaa jadi. Malukan Abel."

Rasanya memang malu. Sangat. Tapi.. tak ada pilihan yang lain selain bertanya pada Jaja. Karena disini hanya ada Jaja yang dia kenal bukan?

"Ya kalo ngomong yang jelas. Tembus maksudnya apa?" tanya Jaja sewot. Tubuhnya yang berkeringat, matahari sangat terik lalu Abel memberikan pertanyaan yang mengharuskan Jaja berpikir.

Bagaimana Jaja tidak kesal.

Namun akibat pertanyaan yang di lontarkan Jaja yang terlalu keras. Dua perempuan yang memang baru saja berada didekat mereka menoleh ke arah Jaja dan Abel.

Lalu Abel segera menutup mulut Jaja. Lelaki ini ya ampunnn. Padahal Abel sudah bertanya pelan.

Lalu satu wanita itu mundur beberapa langkah.

"Gak tembus kok Kak," ucap perempuan itu.

Kini Jaja sepertinya mengerti. Entah mengapa kini pipinya panas.

"Eh makasih ya," balas Abel pada perempuan itu.

"Sama-sama. Duluan yaa," ucap perempuan itu lagi.

Dan Abel hanya mengangguk samar.

Rasanya Abel sangat. Sangat menyesalinya tadi harus bertanya ini pada Jaja.

"Bel maaf. Gue tadi gak paham," Ucap Jaja yang kini memang tak berani menatap Abel secara langsung.

Dan Abel tidak menyangka Jaja malah meminta maaf padanya. Membuat hati Abel berontak saja.

"Eh yaaa- udah lah lupain Abel juga yang salah. Kita pulang sekarang aja yu?"

Abel kini tampak lebih depan dibanding Jaja.

"Bel!"

Abel berbalik.

"Nih pake topi gue. Jalan ke rumah lumayan jauhkan? Pipi Lo udah merah," Ucap Jaja yang kini memasangkan topi pada Abel.

***

Semuanya memang sudah berbeda. Abel tidak tau mengapa dia tidak peduli dengan sikap dingin Jaja, perkataan yang di lontarkan Jaja padanya penuh luka Abel sama sekali tidak mempedulikan hal itu.

Bagi Abel. Jaja berada di sisinya membuat dia terasa aman. Nyaman.

Karena dalam setitik hati Abel. Itu bukan diri Jaja yang sebenarnya.

Jaja selalu mengabrik-abrik hatinya. Dia bersikap peduli namun sedetik kemudian berubah jadi acuh.

"Jaja mau kemana?" Tanya Abel karena melihat Jaja berpenampilan seperti ingin pergi keluar.

"Hari Minggu. Gue kerja kalo lo lupa."

"Abel perlu ga anterin Jaja makan sore?" Tanya Abel dengan pelan.

"Ga usah Bel. Lo istirahat atau belajar aja. Itu buat gue seneng."

"Abel pengen ker-ja."

"Apa Lo bilang?!"

"Iyaa becandaaa."

Abel dan Jaja pernah membahas tentang hal ini. Dan Jaja bersikukuh bahwa dia lah yang harus bertanggung jawab untuk semua keperluan mereka berdua.

Abel sempat meminta izin untuk berkerja. Dia ingin meringankan beban Jaja. Tapi.. Jaja malah marah besar padanya.

"Ja kapan?" Tanya Abel dengan nada seperti lelah.

"Paling pulang udah isya."

"Bukan. Bukan itu."

Jaja menyirit bingung dan menatap Abel. Menunggu penjelasan gadis itu.

"Kapan... Jaja cinta sama Abel.?"

"Kapan apa? tanya Jaja yang kini mengerutkan alisnya.

"Eh gak!" balas Abel yang kini dengan cepat mengambil tangan Jaja untuk menyaliaminya. "Semangat!!"




RAJABEL ! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang