[Edited]
BAB 46
[The Light That Embraces You]WARNING
Contains scenes that are uncomfortable for minors. Please skip this part to the sign ⚠PLEASE ENTER⚠. Please advise all of you as a wise readers, thank you.AWAN
Jika aku paham apa itu ‘peraturan tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar’ maka niscaya aku takkan melakukannya sekarang. Tapi aku tahu betul, akal sehatku sudah lenyap ketika perasaan ini kian membludak. Garisbawahi, aku melanggarnya. Berharap bisa mengembalikan waktu, nyatanya aku sudah terlanjur jatuh ke dalam lingkaran setan.
Yang kubuat bersama Senja. Pada detik ini.
Aku kalap dalam sejenak. Sehingga melupakan ‘batasan imajiner’ itu. Semuanya seperti terjadi begitu saja, ketika wangi Senja terendus di hidungku, ketika dengan gerakan cepat cewek itu berbalik menindihku. Dia juga dengan liar membalas pagutanku bibirku. Dia dengan liar satu persatu mengabsen setiap baris gigiku dengan lidahnya. Layaknya seorang profesional. Tapi semuanya terasa lembut.
Kami terus seperti itu sehingga pada akhirnya kepala Senja mulai menyasar ke leherku secara perlahan.
Aku membuka kedua kelopak mataku pelan. Ia di atasku sekarang. Tak lama kemudian, Senja pun ikut berhenti, barangkali setelah menyadari kalau aku telah berhenti.
Ia terengah, juga denganku. Samar. Di balik remang-remang cahaya kamarku--dahulu.
Kami terpaku pada posisi canggung. Tapi sejauh mana pun aku mencoba untuk mencari di mana letak canggung itu, tidak dapat dipungkiri, aku sama sekali tak merasa demikian. Ini menenangkan, meskipun hanya sebentar.
“Kenapa berenti?” tanyaku, dengan mata menerawang ke atas langit-langit putih di atas sana. “Gue tahu lo mau.”
Senja masih pada posisi yang sama. Juga denganku. Dapat kurasakan embusan napas hangatnya di leherku. “I’m okay.”
“I’m sorry I did this to you.”
Dan satu detik kemudian, kurasakan permukaan tajam dari kedua taring Senja menyentuh permukaan leherku. Merobeknya hingga menembus urat leherku dengan cepat.
Saat itu, kutahan jeritanku sembari tanganku dengan refleks memegang rambutnya dam menggenggam ratusan helai rambutnya, tapi tidak menariknya. Teguk demi teguk terdengar dari leher Senja yang jaraknya sangat dekat dengan telingaku. Suaranya sangat jernih.
Tapi detik demi detik, harusnya aku terbiasa dengan rasa sakit itu. Nyatanya tidak sama sekali. Rasanya bertambah sakit setiap kali Senja menyedot darahku dengan rakus.
Setelahnya, cewek itu pun berhenti. Terdengar satu hingga dua tegukan dari lehernya. Segera ia jatuhkan kepalanya ke dadaku. Suara isakan mulai terdengar pelan di ruangan semi gelap ini.
⚠PLEASE ENTER⚠
Kudekap tubuhnya, tidak erat. Tapi itu cukup, setidaknya.
“Gue benci pikiran gue, Awan.”
Gue juga. Asal lo tahu, Senja. Gue sangat-sangat membencinya.
“I’m sorry to say this, I love you.”
“And I’m sorry to say this, but me too.”
Senja mendongak ke arahku. Setelahnya, kembali ia letakkan kepalanya di dadaku. Tapi kali ini berbeda, aku mendekapnya, erat.
Jika ini benar yang kulakukan, kuharap semuanya berjalan lancar. Dan jika apa yang kulakukan salah, maka biarkan semua ini berlalu dengan cepat.
---
Sialan.
Pagi ini benar-benar canggung. Sinar matahari memancar melalui celah-celah batang pohon dan daun-daun yang tumbuh lebat di bahu kiri dan kanan jalan. Aku tahu, kalian merasakan bagaimana suasananya, kan?
Bagiku, itu nostalgia.
Senja duduk di belakangku, maksudku, dari sepeda yang kukayuh. Yaps, ini adalah sepeda emaknya Langit, barangkali. Kutemukan dini hari tadi terparkir bersebelahan dengan sepeda berjenis sama namun berbeda warna. Sejak tadi tidak ada percakapan yang terjalin di antara kami berdua. Bibirku seolah membisu usai kejadian beberapa jam yang lalu. YEAH, beberapa jam yang lalu. Dan sekarang sudah pukul enam pagi. Sementara kedua tangan Senja melingkar di perutku.
Suara cicit burung terdengar menemani kami berdua--yang bak dua orang ABG belum usia matang--di sana bersama dengan embun pagi dan juga kabut tipisnya yang semakin membuatku bernostalgia ria di tempat ini.
Uh… segar sekali.
“Nyanyi, Awan.” Begitu kata Senja.
Aku menelengkan kepala ke samping, lalu menjawab, “Lo aja… Senja.”
Ugh, sial. Lo-gue?
“Aku nggak bisa nyanyi, Awan aja.”
“Senja aja, ya? aku juga nggak bisa nyanyi.”
Mendadak menjadi Prim? Kalau begitu kami berdua adalah copycat dari Prim yang senang sekali berkomunikasi dengan menyebut nama. Dan anehnya, aku mengikut saja apa yang dikatakan Senja. Maksudku, aneh saja.
“Ya udah nggak usah pada nyanyi deh, ya.” Aku tahu Senja kecewa. Tapi begitulah adanya, suaraku ini teramat fals. Dan jika didengarkan, mungkin akan langsung membuat siapa pun yang mendengarnya akan langsung mengalami ketulian permanen. Oh shit, persetan.
“Iya deh.”
Aku terkekeh pelan. Haha, sialan lo, Awan. Harusnya dari lama aku melakukan les vokal. Dan jika sudah seperti ini, penyesalan mungkin tidak akan ada artinya lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Tapi jika ada mukjizat, apakah bubur bisa kembali menjadi nasi dan nasi bisa kembali menjadi padi? Haha, pagi-pagi sudah terkena penyakit sedeng. Stop it.
Sekitar lima belas menit kemudian dalam keheningan usai--jadian?--sepeda yang kukayuh sejak lima kilometer tadi kini sudah sampai di jalan berpasir putih menuju ke area perumahan milik Langit berada.
Sreeet. Sepeda ku-rem, saat baru saja tiba di depan pekarangan rumah Langit. Ada Sophie di sana, sedang berdiri dengan wajah mengantuk. Begitu melihatku dan Senja, cewek itu langsung melotot.
“Pagi amat.”
Langit muncul tidak lama kemudian, sorotnya tidak mengenakkan untuk ditatap. Maksudku, wajah Langit ya memang seperti itu. tapi maksudku di sini adalah, wajahnya tampak menyebalkan meskipun masih pagi. Terlihat dari rambutnya yang berantakan kutebak dia baru saja bangun tidur dan menguap lebar mengeluarkan naga dari dalam mulutnya.
Aku tahu tatapannya kini jatuh kepada sosok Senja yang berdiri di samping sepeda--ibu-ibu--ku.
“Hai,” sapa Senja ke Sophie.
“Oh, hai.” Sophie membalas canggung.
“Pagi banget,” ketus Langit sembari berjalan menuju ke pintu gerbang dengan kedua tangan bersidekap. “Cari udara pasti, ya?”
Aku membalasnya dengan kedua mata menyipit. “Kepo banget. Mau tahu urusan orang terus, ya?”
“Oy, Nyet!” seru Langit tiba-tiba. Ia berhenti bersidekap dan menatapku kesal, “Kita tuh nggak tahu siapa DIA. Oke?”