3. Huh (!)

10.2K 45 2
                                    

Nolan Pov.

Setelah Ella pergi, aku kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Di meja makan tidak terlihat Vano yang tadinya disana. Rasanya sangat senang setelah satu tahun kami tidak berkumpul lagi bersama. Dan bahkan kini Ella juga ikut tinggal bersama kami. Ah, semakin ramai rasanya semakin menyenangkan.

Aku juga tak tega membiarkan Ella tinggal sendiri di kota yang penuh dengan kejahatan ini. Akan lebih aman jika gadis itu tinggal bersama kami. Dan rasanya cukup terbantu saat ada Ella disini, asupan yang Ella berikan benar-benar sangat sehat dan tetap menggugah selera.

"Van?" panggilku setelah sampai di dalam kamar.

Sesaat kemudian Vano keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit dipinggangnya. Ah, benar-benar seksi memang karena Vano sangat menjaga bentuk tubuhnya.

"Knapa?" Vano berjalan kearah walk in closed untuk mengambil setelan pakaiannya.

Aku hanya diam, memilah kata agar Vano tidak tersinggung dengan apa yang inginku utarakan. Ketika sedang bergelud dengan isi otakku, sebuah kecupan dan dekapan erat membuatku tersadar.

"Katakan!" ucap Vano sambil mencium leherku.

"Ahmmm...sssshhhhh..." desahku pelan.

Hal inilah yang ingin aku sampaikan pada Vano. Ya, kami memiliki kelainan seksual yang banyak terjadi di belahan bumi ini. Bisa dibilang kami adalah pasangan penyuka sesama jenis atau kasarnya disebut Gay.

Entah siapa yang memulai hal ini lebih dulu, yang jelas aku dan Vano sama-sama menikmati dan saling menyukai. Entah rasa cinta ataupun hanya sekedar suka akan perlakuannya, akupun tidak mengerti.

"Aahh..Vannhh.. bentar..ssshhh.." desahku mencoba melawan kenikmatan  yang ditawarkan Vano.

"Knapa sayang?" ucap Vano sambil mengecup bibirku singkat.

Pipiku rasanya memanas akibat ulah Vano. Sambil menahan senyum aku kembali mencoba fokus dengan obrolan kami.

"Gue harap, kalo lagi ada Ella Lo harus bisa nahan, yah?" sepertinya Vano tidak suka dengan usulan yang ku berikan. Tampak dari raut wajahnya yang berubah datar.

"J-jangan kayak k-kemaren.." lirihku sambil menunduk takut.

Ya, kemarin Vano menciumku saat Ella tengah sibuk di dapur. Sebenarnya aku sudah berada di meja makan dengan Vano, namun tiba-tiba saja pria gila itu mencium bibirku ganas. Karena takut dan malu jika ketahuan Ella, aku segera berlari ke kamar dan bergelung dalam selimut menutupi wajahku yang memerah.

Jujur saja, kemarahan Vano adalah hal yang paling mengerikan yang ada dalam hidupku. Tampang datarnya saat ini sudah cukup menggambarkan ketidaksukaannya dengan usulanku.

"M-maaf..." lirihku sambil menunduk takut.

Saat sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba Vano mengangkat daguku hingga menatap tepat pada mata tajamnya. Seketika sapuan lidah dan bibirnya membuatku kembali terlena dengan kenikmatan.

"Aaahhh..." desahku saat Vano meremas bokongku kuat.

"Aku menginginkanmu, sayang.." lirih Vano sambil menjilati telingaku.

Aku hanya bisa mendesah pasrah saat Vano menuntunku ke atas ranjang kami. Ya, kami.. ini sebenarnya adalah kamarku dan Vano, karena takut ketahuan Ella. Vano mengalah dan tidur di kamar samping dengan pintu penghubung ke kamar ini.

Setelah membuka seluruh pakaianku, tanganku pun tak tinggal diam. Handuk yang sebelumnya menutupi benda pusakanya kini telah terlepas dan aku lempar begitu saja. Milik Vano berdiri tegak sempurna.

Bibirnya menyerangku dengan cukup brutal, aku sangat menyukai Vano yang terburu-buru sekaligus memanjakan. Tangannya sibuk dengan bongkahan bokongku dan tangan satunya sibuk mengocok penisku yang ikut menegang.

Setelah puas, Vano bangkit dan mengarahkan penisnya padaku. "Manjakan dia!" ucap Vano.

Tanpa babibu, aku melahap habis penis Vano sambil memainkan lidahku. Vano mendesis dan mengusap rambutku lembut.

"Hmmhhh.. lebih cepat!"

Aku menuruti perintahannya dengan semakin memacu hisapanku pada miliknya. Tak beberapa lama Vano menyuruhku berhenti. Ini membalikkan tubuhku sehingga saat ini aku menungging membelakanginya.

Sapuan hangat ku rasakan, desahanku semakin keras saat Vano dengan sengaja menusuk-nusuk jarinya.

"Aaahh... pelanhh...-pelanhhh..." rintihku keenakan.

Saat ingin meraih puncakku, Vano menghentikan aksinya dan langsung mendobrak lubang anusku dengan miliknya.

"AAAHHKKK.." teriakku merasakan sedikit nyeri.

"Aaahhh..fuckk...." terdengar umpatan pelan yang keluar dari bibir Vano.

Ini memang bukan yang pertama kali, tapi tetap saja.. ini sedikit menyakitkan bagiku. Namun, setelah beberapa lama semuanya berubah menjadi nikmat.

"Aaahh.. habisihhh..akuhh...sayang auhhh" lirihku membuat dorongan itu semakin terasa bersemangat.

Tangan Vano tak bisa diam, yang satu memainkan punting kecilku dan satunya lagi memainkan penisku. Vano mengocoknya dengan kencang diiringi dengan pompaan penisnya pada anusku.

Saat tengah asik dengan lautan kenikmatan terdengar nada dering handphone-ku berbunyi. Aku mencoba mengabaikannya, namun saat panggilan ke tiga Vano yang meraihnya dan  mengangkatnya.

Ia mengarahkan pada telingaku sehingga aku sedikit panik. Saat nama Ella yang tertera, aku sedikit lega karena cukup trauma bagiku saat orang tuaku menelfon dan mengangkatnya dalam keadaan yang sama seperti saat sekarang ini.

"K-kenapa El?" tanyaku tampa basa-basi.

"Lan, satu berkas aku ketinggalan di kamar." seru Ella terdengar sedikit panik.

"O-oouhhh... n-nanti gue anterin ke tempat lo." sahutku sedikit desahan.

"Lan? Kamu nggak kenapa-napa, kan? Kamu sakit?" tanya Ella khawatir.

"Hmmm? G-gue aman kok, El. Lo langsung m-masuk aja, bilang kalo berkas yang dirumah nyusul." jelasku mengalihkan topik.

"Yaudah, makasih ya." sahutnya cepat dan segera mematikan sambungan teleponnya. Takut jika Ella curiga dengan apa yang aku lakukan saat ini.

Beberapa kali kami berganti gaya. Dan gaya yang paling aku suka adalah saat aku berada diatas pangkuannya. Vano benar-benar menusukku sangat dalam. Miliknya seolah-olah ditanam di dalam lubang anusku.

Aku bergerak naik turun dengan tangan yang sibuk memainkan penisku sendiri. Vano sibuk dengan punting dan bokongku. Bahkan saat ini rasanya aku sudah tidak kuat dan cukup lelah.

"Aaahhhh...akuhhh mauu keluarhhh ouuhh..." desahku tak karuan.

Vano membantuku bergerak lebih cepat, tak beberapa lama kemudian milikku memuntahkan cairan sperma diikuti lubangku yang terasa hangat saat Vano ikut menembakkan cairannya.

"Ssshhh...aahhhh!!" desah Vano panjang.

Sambil kembali mencium bibirku, Vano mengangkatku ke kamar mandi. Setelah selesai dengan ritual mandi yang cukup basah itu, karena Vano kembali menggempurku walaupun hanya satu ronde. Tapi tetap saja, aku takkan bisa berjalan normal untuk beberapa jam ke depan. Lebih parahnya saat Vano sedang sangat-sangat bernafsu, aku tak dapat berjalan selama beberapa hari akibat ulah pria gila itu. Meskin demikian, tetap saja aku ikut menikmati ahaha.

Vano membantuku mengganti pakaian. Memang Vano yang irit dalam berbicara namun sering kali ia berubah cerewet saat aku berdekatan dengan teman-teman sekelas kami. Vano sering mengaku bahwa ia cemburu dan tidak suka melihatku dekat dengan orang lain selain dirinya.

"Kita berangkat?"

Aku tersenyum saat Vano menarik tanganku ke mobilnya dan kami segera berlalu ke arah kampus. Ah, pagi yang menyenangkan dan melelahkan.

-T B C-

ELLVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang