PART 7 : PRIA YANG UNIK

317 53 28
                                    

WARNING! : Dimohon untuk tidak melakukan copy atau plagiat untuk menjaga karya asli milik penulis.


Aku menunggu hingga larut. Bersama dengan keheningan malam, aku perlahan berjalan menyusuri koridor yang sunyi dan gelap.
Aku dibutakan oleh amarah, jika bisa membunuh mereka, aku akan melakukannya seperti apa yang mereka lakukan pada sahabatku.

Tap tap tap

Langkah kakiku terhenti.
Seperti perkiraanku, para sampah itu sedang berkumpul seperti sekumpulan lalat kotor.

Tanpa basa-basi aku segera menghampiri mereka tanpa berkata apapun.
Dengan balok kayu yang memang sudah kubawa sejak tadi, aku memukul punggung salah seorang dari mereka.

"Argh! Apa yang kau lakukan?! Kau gila?!"

Seorang pria berteriak karena kesakitan, kemudian menatapku dengan kesal.
Kemudian salah satu dari mereka berseru.

"Hei, dia anak yang pernah menolong Anya?"

"Tutup mulutmu! Jangan pernah sebutkan nama Anya dengan mulut kotormu itu!"

"Sepertinya dia sudah gila karena temannya mati."

Mereka tertawa, tertawa keras dan mulai mendekat.

"Berhenti di sana! Aku peringatkan! Aku akan membuat kalian membayar atas kelakuan kalian! Kalian membunuh Anya!"

Aku menodongkan balok kayu ke hadapan mereka dengan nafas tidak beraturan dan tangan yang gemetar.

"Apa? Membunuh?"

"Hei, dia yang memutuskan untuk mati, kenapa kau menyalahkan kami?"

"Karena kau mainan kami sekarang hilang, loh."

Mereka masih terus mengejek, aku tidak melihat satupun ekspresi penyesalan yang tergambar di wajah mereka.

"Sebagai ganti karena sudah memukulku, kau harus tinggal di sini sampai besok."

Mereka mulai tertawa dan mendekat.
Jumlah mereka terlalu banyak. Salah seorang gadis merebut balok kayu yang kubawa, kemudian teman prianya mendorongku hingga menabrak dinding yang ada di belakangku.

"Kau cantik juga ya, pasti sulit memanjangkan rambut sebagus ini."

Pria itu membelai rambutku, aku merasa jijik ketika ia menyentuhku.
Aku menggigit tangannya dengan sekuat tenaga hingga ia berteriak kesakitan.

"Argh! Brengsek!!"

Ia menarik tangannya, lalu memukulku hingga tersungkur ke lantai.

Aku merasakan kepalaku sangat sakit.
Belum sempat aku bangun, ia langsung menjambak rambutku dan menariknya.

"Astaga, tadinya aku ingin berbaik hati sedikit denganmu karena kau tipeku, tapi kau sama menyebalkan seperti temanmu ya."

Bibirku perih, darah telah mengalir dari pelipisku.

"Aku akan membuatmu minta maaf di depan makam Anya, aku akan mematahkan tulangmu sampai kau memohon ampun."

"Gadis ini lucu sekali ya, kenapa membicarakan orang yang sudah mati terus sih?"

Pria itu berdiri, menatapku yang masih tersungkur di lantai dingin.
Ia mengangkat satu kakinya, kemudian dengan tenaga yang besar ia menginjak telapak tanganku.

"Aarrghh!!"

Aku berteriak kesakitan, tapi mereka hanya tertawa.
Secara beramai-ramai mereka mulai menginjakku tanpa ampun.

Kamu akan menyukai ini

          

Rasanya sekujur tubuhku ingin remuk dan aku hampir kehilangan kesadaran.

Sampai ketika samar-samar aku mendengar suara seorang pria, suara yang asing.

"Siapa kau?"

Salah satu dari rombongan bedebah itu bertanya.

"Aku? Hanya orang yang numpang lewat."

Walaupun tak jelas, aku masih bisa mendengar apa yang orang asing itu katakan.

"Kalau begitu cepat pergi dari sini, jangan ganggu urusan kami."

Para bedebah itu berseru lagi.

"Hmm.. Sepertinya agak sulit."

"Apa? Kau tidak mau pergi?!"

Para bedebah ini nampaknya mulai kesal karena kesenangan mereka diganggu.

"Tinggalkan gadis itu."

Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena pandangku tertutup oleh rambut yang berantakan.

"Wah, kenapa hari ini sangat banyak yang membuatku kesal?!"

Berandal yang menginjak tanganku itu berdiri, mendekat ke arah orang asing itu dan hendak memukulnya.
Tapi siapa sangka orang asing itu dengan sangat mudah mengalahkannya. 3 kali pukulan dan bedebah itu langsung tumbang.

Teman-temannya sontak terkejut dengan apa yang mereka lihat.
Orang asing itu menatap mereka.

"Tunggu apa? Pergi!"

Mereka langsung berlari, sambil membopong temannya yang pingsan, mereka segera menghilang dari pandanganku.

Orang asing itu mendekat, berusaha membantuku yang terlihat kesulitan untuk berdiri.

"Kenapa menolongku?"

Aku bertanya padanya, masih berusaha berdiri dan belum melihat wajahnya.

"Hmm.. Apa harusnya aku membiarkanmu mati karena dipukuli?"

Aku masih kesal, namun tak ada lagi tenaga untuk mengoceh.
Aku mendongak, menatap sosok yang ada di hadapanku ini.
Seorang pria tinggi semampai, tubuhnya atletis namun ramping. Tatapannya tajam, ekspresinya datar dan tak tersenyum sedikitpun. Alisnya tebal tapi terlihat rapi dan hidungnya mancung sempurna tanpa punuk dengan lengkungan halus dan ujung hidung terangkat. Keseluruhan wajahnya seperti patung pahatan.

Jujur saja, wajahnya tampan. Namun berbeda dengan J Brian yang berwajah maskulin, wajahnya lebih ke arah manis, mungkin.. pria cantik.
Rambut serta kulitnya seputih salju.
Pantulan cahaya bulan seakan membuat bola mata berwarna ambernya menyala. Ya, baru kali ini aku melihat secara langsung seseorang dengan warna mata amber.
Kesan pertama yang kulihat darinya adalah.. Unik.

"Kepalamu berdarah."

Suara beratnya memecah keheningan.

"Apa?"

Aku baru tersadar dari lamunanku.
Tanpa berkata apapun ia mengeluarkan sapu tangan dari ranselnya kemudian memberikannya kepadaku.

"Harusnya aku tidak ikut campur, tapi aku tidak bisa diam saja. Berhati-hatilah dan jangan masuk ke kandang harimau, mengerti?"

Aku mengangguk pelan, sambil meraih saputangan yang ia sodorkan.
Aku perlahan menyeka darah yang hampir mengering di pelipisku.

"Aku akan pergi, kau juga kembalilah ke tempatmu."

Ia segera berbalik, dengan langkah panjangnya berjalan meninggalkanku sambil membawa ransel besar di pundaknya.

"Terima kasih..."

My Battleground Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang