Bab 45

81 16 2
                                    


Hari berikutnya, tak lebih baik dari hari-hari kemarin. Begitu bangun dari tidur, Sofia bersiap-siap mengunjungi rumah-rumah para bangsawan, meminta mereka untuk bekerjasama dengan mengirim anak mereka ke medan perang bersamanya. Para bangsawan itu menolak. Mereka juga tak dapat memaksa keluarga pelayan maupun rakyat di bawah mereka untuk ikut. Saat kembali ke istana, Sofia menggerutu kepada para bangsawan itu karena menjadi pahlawan kesiangan. Meskipun demikian, Sofia tak mau memaksa. Ia membutuhkan prajurit yang berani dan royal, bukan karena paksaan.

Seminggu dari waktu yang dijanjikan oleh Malakora telah terlewati dengan sia-sia. Para raja yang diundangnya juga tak ada yang membalas pesan. Sofia semakin pesimis. Ia mengurung diri di kamar lagi, tak membiarkan siapa pun menganggunya, termasuk Arnor sekalipun.

Sang peri yang selalu memandang ke luar istana pun tak mendapati sinyal dari para peri yang dimiantai tolong dulu. Namun, peri itu tak mau menyerah.

“Aku akan mencoba membujuk para kurcaci yang masih tersisa,” katanya pada suatu malam yang berkabut. Ia tengah berada di ruang tengah.

“Aku ikut,” Fannar mengajukan dirinya.

“Tidak, kau tidak boleh ikut,” Fjola yang juga ada di sana segera mencegahnya. “Lebih baik aku saja, kau tidak memiliki pengalaman hidup di luar perbatasan."

“Aku tidak setuju.” Barrant yang duduk di samping gadis itu pun menolak. Hal itu membuat Fjola memutar bola matanya.

Arnor mendesah. “Aku tak bilang bahwa aku butuh teman.” Ia berbalik dari tempatnya berdiri, menyandarkan punggungnya ke tembok di sisi jendela, menghadap dalam ruangan dan bersedekap. “Aku hanya menyampaikan ini agar nanti kalau Sofia keluar dari kamarnya dan bertanya perihal keberadaanku, kalian bisa menjawabnya.”

Fjola dan Barrant menunduk. Wajah mereka memerah. Namun, Fannar malah menatap Arnor dengan berseri. Ia lantas merajuk, “Kumohon, bawa aku bersamamu.”

Fjola mendecakkan lidah. “Kau hanya akan menghambatnya.”

“Kakakmu benar,” Barrant menimpali.

Namun, Fannar seolah tak mendengar mereka semua. Ia menangkupkan tangan ke depan wajahnya dan memohon, “Please.”

Sang peri mengerucutkan bibir, keningnya mengerut, seolah sedang menimbang-nimbang. “Baiklah. Tetapi, kau harus menuruti segala perintahku.”

Dengan antusias, Fannar mengangguk. Fjola bangkit dan berseru, “Tidak! Aku tidak mengizinkanmu! Di luar sana berbahaya!”

“Benar, banyak makhluk—“

“Oh, diamlah Barrant! Ini urusan keluargaku!” hardik Fjola yang membuat Barrant menutup mulut rapat-rapat. Ia lantas berbalik kepada adiknya, “Kau. Tidak. Boleh. Ikut.” Ia menekankan setiap kata.

“Bukan kau yang berhak. Tuan itu yang berhak memutuskan,” kata Fannar menunjuk Arnor. Peri itu mengangguk, yang membuat darah Fjola mendidih.

“Tapi, kau adikku. Kau masih—“

“Aku bukan anak kecil!” Fannar ikut bangkit. Ia memelotot kepada kakaknya.

Fjola menggertakkan gigi, lalu mendengkus. Ia tampak frustrasi, kemudian rautnya melembut. “Di luar sana amat berbahaya, Fannar,” katanya lirih, seolah telah mengalami penderitaan yang tak terperi. “Aku tak bisa kehilangan seorang anggota keluarga lagi.”

Melihat kekhawatiran Fjola, Arnor pun mengalah. Ia mendesah panjang kemudian berkata, “Sepertinya, kakakmu benar, Fannar. Kau tak bisa ikut denganku.”

“Oh, ayolah!” Fannar tampak kalah. Ia menghempaskan tubuhnya dengan lesu ke kursi. “Aku membencimu,” gumamnya kepada sang kakak.

Fjola mendengar gumaman adiknya itu, tetapi diam saja. Tak di
sangka, Sofia mendadak hadir di sana. Ia sedang berjalan ke sana ketika mereka berhenti berdebat, jadi sedikit banyak ia dapat menduga apa yang diinginkan Fannar maupun Fjola. Meski begitu, ia tak tahu apa yang direncakan mereka. Ia pun bertanya, “Kalian sedang memperdebatkan apa?”

Hasrat Sang PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang