Program "Call Me When You're Single" sudah selesai mengudara. Sebagai program pamungkas yang menutup rangkaian program radio hari itu praktis tidak ada program lain yang membutuhkan penyiar standby. Sampai esok pagi program radio akan berjalan dalam mode autopilot dengan musik-musik yang terus mengalun dan diselingi iklan meski porsinya tidak sebanyak di jam-jam biasa. Seusai program milik Darren, biasanya Giana akan mematikan radionya, tapi khusus malam ini ia memilih sengaja tidak mematikan radio ataupun berpindah channel. Efek setelah suratnya dibacakan, Giana menangis tanpa henti dan membuat kantuknya sulit datang meski saat ini ia tidak ingin menyibukkan diri lagi dengan pekerjaan ilustrasinya. Musik-musik yang mengalun dari radio tanpa penyiar mungkin bisa sedikit meredakan emosinya.
Terkadang radio membuatnya merindukan masa-masa kecil dan remaja, saat kemudahan mengakses musik tidak secanggih masa kini. Saat seseorang tidak tahu setelah lagu ini, akan ada lagu apa lagi. Elemen kejutan dalam radio yang membuat Giana masih betah mendengarkannya dibanding memutar musik dengan aplikasi musik yang banyak menjamur di mana-mana.
Satu jam berlalu sejak acara itu usai. Tadinya Giana mengira tidak akan ada lagi kejutan yang menantinya. Hanya ada musik-musik romantis tahun 90-an yang mengisi inderanya. Sampai akhirnya bunyi gemerisik di radio membuat pikirannya terdistraksi. Bunyi gemerisiknya makin lama makin keras. Hampir membuat Giana bertanya-tanya apakah perangkat audio miliknya sudah rusak. Lalu ia sadar, bukan perangkat miliknya yang bermasalah, tapi memang ada sesuatu yang terjadi.
"Hrrrrgh... suruh dia pergi."
"Udah, Ren... Tapi dia maunya ketemu lo. Mau ngancam bakal bunuh diri kalo dia nggak lihat muka lo."
"Gue bilaaang gue nggak mau terima tamu siapapun itu ya, bangsat!"
"Dia itu fans lo. Lo ngapa sih mesti segininya nggak mau ketemu sama fans lo sendiri? Lo nggak tahu diri banget baru jadi DJ setahun doang. Sok seleb amat sih lo."
Giana memang tidak mengantuk, tapi membayangkan kedua matanya terbuka lebar karena percakapan entah dari mana ini bukan skenario yang ada dalam kepalanya. Tidak perlu waktu lama untuk mengenali suara siapa yang sedang bergema di frekuensi radio milik SKART FM. Suara renyah namun berat itu adalah milik Darren, penyiar favoritnya. Hanya saja Giana butuh waktu yang lama untuk memastikan karena Darren yang biasanya ia dengar tidak pernah berkata sekasar ini.
"Lo orang baru? Lo belum pernah kenal gue? Lo nggak pernah tahu kalau gue nggak pernah nerima tamu?"
"Emangnya itu penting? Lo itu host, DJ yang jadi image brand radio khusus acara yang banyak disukai pendengar. Mereka bisa pingsan kalau lo tahu aslinya kayak begini?"
Lawan bicara Darren terdengar mendengus. Giana makin tidak habis pikir. Kenapa pertengkaran mereka sampai terdengar? Apa mereka tidak sadar kalau sedang on air? Apa di seluruh semesta ini, ada orang lain juga yang mendengarkan keributan ini selain Giana? Kalau iya, ini benar-benar gawat.
"Urusan lo kalau gue aslinya kayak gini? Otak lo dikemanain coba? Jam berapa ini sampai lo mau-maunya nerima tamu yang nggak penting?"
"Jadi fans buat lo itu nggak penting? Gila lo, Ren... gue sih nggak pusing-pusing amat mau nolak apa nerima tamu. Dia bilang dia mau ketemu lo karena ada yang penting."
"Dan lo percaya? Lo udah kerja berapa lama di SKART kalau di atas jam sepuluh malam, tamu yang nggak berkepentingan dilarang masuk? Lo anak kecil? Dibayar berapa lo sama tamu itu sampai lo milih ribut sama gue di sini?"
"Nggak usah lo nyudutin gue. Bukan salah gue yang bersikap arogan hanya karena ada fans ngotot nyariin lo. Tinggal temui sebentar apa susahnya? Sombong gila lo ya. Baru jadi DJ udah sok ngartis."
"Anjing, lo!"
"Tai, lo!"
"Hah! Gue udah nggak tahu lagi isi kepala lo. Kayaknya di sini selalu lo yang nyari ribut sama gue. Kenapa? Lo lagi ada masalah sama cewek lo? Lo iri gue digilain banyak fans yang bela-belain nungguin gue siaran sampai jam satu pagi? Yah, bukan salah gue titit lo terlalu kecil," ucap Darren dengan tawa yang terdengar aneh dan suara yang mulai terdengar menggerutu.
"Lo sakit emang, Ren... Udah kronis banget sampe lo mabok di dalam studio pas lagi siaran."
Gosh, Giana tanpa sadar menutup mukanya seolah insiden ini membuatnya bisa merasakan rasa malu yang luar biasa. Kapan Darren akan sadar kalau percakapan mereka disiarkan seantero negeri? Bagaimana bisa tombol on air menyala saat mereka bertengkar? Apa ada orang yang sengaja menekannya saat sedang ribut? Duh, Giana mendengarkan channel ini untuk mencari ketenangan, bukannya malah memikirkan orang yang sedang bertikai. Kedua orang itu masih saling melontarkan makian dan kebencian sampai di satu titik ada keheningan yang mendebarkan.
"Anjing! Lo nyalain tombol on air?"
"Gue nggak sengaja."
"...."
Lalu suasana sunyi sebelum akhirnya terdengar alunan lagu. Sepuluh menit, dua puluh menit berlalu dengan musik yang diputar saling bersambungan. Seolah-olah keributan itu tidak pernah terjadi. Giana menghela napas lega, serasa dirinya lah yang baru saja dipermalukan, bukannya Darren sang penyiar. Meski begitu, semalaman itu Giana tidak bisa memejamkan mata membayangkan apa yang terjadi setelah keributan itu tersiarkan. Apa Darren meninju lawan bicaranya? Ataukah mereka saling beradu hantam dan pulang dalam keadaan babak belur?
Aaargh, aku penasaran!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me When You're Single
General FictionGiana selalu mengira kehidupan rumah tangganya sempurna. Pekerjaan ilustrasi buku anak yang ia cintai, suami mapan dan putra balita yang lucu. Sampai seorang wanita meneleponnya dan mengabarkan suaminya meninggal karena serangan jantung di saat suam...