Bagian 5

9 1 0
                                    

Sejak malam yang aneh itu, aku semakin sering mengamati Jeremy. Pria itu bersikap layaknya manusia biasa dan tentu saja, tidak ada sayap di punggungnya. Mungkin malam itu aku hanya berhalusinasi. Tidak mungkin manusia memiliki sayap. Juga, setelah mengecek ulang dokumen Jeremy, semuanya asli. Jadi, tidak mungkin dia bukan manusia. Setidaknya, itu yang aku percayai sekarang.

"Kenapa kamu terus menatapku?"

Aku mengangkat kedua bahuku. "Entahlah. Mungkin karena kamu sangat tampan? Aku jadi tidak bisa melepaskan pandanganku."

Jeremy menghela napas lalu mengusap kepalaku. "Baiklah. Saat pulang, aku akan membelikanmu es krim."

Aku tersenyum cerah. "Asyik!"

Jeremy semakin dekat denganku. Kami selalu menghabiskan istirahat bersama dan kami juga saling membantu saat bekerja. Para senior bahkan sudah mempertanyakan hubungan kami. Namun, aku membantah dengan tegas. Kami tidak memiliki hubungan khusus.

Aku tahu kami tidak memiliki hubungan khusus. Namun, ada saatnya aku hanya bisa bersandar pada pria itu. Jeremy. Dia bagai pria yang sangat berkebalikan dengan Derick. Aku bisa merasakan kenyamanan ketika bersamanya.

"Bisakah kamu memelukku?"

Jeremy langsung memelukku. "Ada apa?" bisiknya.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa cemas."

"Aku bisa menemanimu malam ini. Kamu mau?"

"Eh? Bolehkah?"

"Boleh," jawab Jeremy dengan tenang. "Aku akan pergi kalau kamu sudah tidur."

Aku mengeratkan pelukanku. "Jangan... Jangan pergi."

Jeremy melepas pelukan. "Baiklah. Aku akan menemanimu hingga pagi. Sudah merasa lebih baik?"

Aku mengangguk. "Ayo makan malam, aku sudah lapar." Aku meraih tangan Jeremy.

"Okay, okay."

Bulan berlalu dengan cepat. Sudah lima bulan sejak Jeremy bekerja di kantor penerbit. Tawaran yang manis juga tak kunjung berhenti sebagai apresiasi untuk Jeremy. Anehnya, pria itu selalu menolaknya. Aku mengerutkan dahi saat dia terus menolak promosi untuknya. Ketika aku bertanya, dia selalu menjawab, "Aku hanya tidak mau saja."

Alasannya yang tidak logis bagiku. Baru pertama kalinya aku bertemu dengan manusia yang tidak tergiur oleh posisi yang menjanjikan. Aku juga sebenarnya sudah berniat untuk naik sebagai pegawai tetap, hanya saja aku harus menyelesaikan kuliahku. Tapi, Jeremy? Dia bahkan menyelesaikan studinya sangat cepat, tapi tidak mengincar apapun? Ini kasus yang sangat jarang kutemui.

Aku pulang ke apartemen setelah menyelesaikan penelitianku. Ini sudah sangat larut. Ketika aku membuka pintu apartemen, aku terkejut melihat sepatu Derick.

Derick diam-diam masuk ke apartemenku.

"Apa-apaan sekarang? Apa yang akan kamu lakukan?" aku berteriak seiring aku berjalan ke dalam apartemen. Mataku menyisir semua sudut ruangan untuk menemukan sosok Derick. Saat aku menyalakan lampu ruang tengah, aku bisa melihat sosok Derick yang tertidur di sofa. Napasnya terengah-engah dan dia menutup matanya dengan lengannya.

Seketika, dinding penghalang perasaanku runtuh.

Dasar pria ini.

"Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyaku sambil duduk di samping sofa.

"Linette?" ucap Derick dengan lirih. Dia menoleh ke arahku.

"Aku sudah pulang. Kamu sakit lagi?"

Wajah Derick pucat. "Dada dan tenggorokanku sakit lagi. Aku juga tidak ingin ke dokter. Maaf, seharusnya aku tidak ke sini. Hanya kamu yang aku pikirkan ketika aku sakit."

Aku menghela napas. "Sudah makan?"

Derick menggelengkan kepala.

Dengan dahi berkerut, aku memasakkan makan malam seadanya untuk pria ini. Dia menunggu di kursi makan, seperti dulu saat dia menunggu sarapan. Sudah lama ternyata. Ini adalah fakta yang terus kutolak kebenarannya.

Fakta kalau aku terus memedulikan Derick apapun situasinya.

Setelah makan malam, aku memberi obat yang biasa dia minum. Untuk berjaga-jaga, karena Derick sering ke apartemenku ketika dia sakit, aku membeli obat yang biasa dikonsumsi Derick untuk meredakan penyakitnya. Hal ini sudah biasa kulakukan dan sepertinya aku tidak bisa berhenti.

Tidak mungkin aku menyuruh orang yang sakit untuk pulang tengah malam.

"Aku minta maaf."

"Ya."

"Aku menyesal sudah memukulmu waktu itu."

"Baiklah."

"Linette, setelah kejadian itu, aku merasa sangat kesepian. Aku butuh kamu. Aku ingin kamu berada di sisiku. Tolong, Linette."

Aku diam saja.

"Kamu tahu betapa beratnya hidupku. Aku sudah berkali-kali mencoba mengakhiri hidupku. Aku sudah muak menutupi tanganku. Hanya kamu yang bisa membantuku. Tolong, kembalilah. Temani aku lagi."

Aku mengepalkan tanganku.

Perasaan ini. Aku membencinya.

Perasaan ketika aku terbuai oleh semua perkataan Derick.

Perasaan yang memiliki hasrat untuk menyayangi dan disayangi oleh orang lain.

Aku berdiri lalu memeluk Derick. "Tidurlah di sini malam ini. Besok kamu tidak boleh bekerja. Aku akan menyiapkan sarapan."

Derick mengangguk dalam diam.

Lambat laun hubunganku dengan Derick kembali harmonis. Pria itu berubah seperti dulu. Dia sudah berjanji untuk tidak memukul ataupun memaksaku lagi. Terlebih, dia juga menghindari pertemuan di malam hari saat dia harus menahan hasrat seksualnya.

Apa dia sudah berubah?

Apa hubungan kami sudah kembali normal?

Di dalam lubuk hatiku, aku masih percaya pada Derick. Aku masih menginginkan kasih sayangnya. Aku masih berharap kepadanya.

Karena hubunganku dan Derick sudah kembali baik, aku mulai menjauhi Jeremy. Aku tidak ingin membuat Derick marah hanya karena aku dekat dengan Jeremy, yang hanya sebagai rekan kerja. Aku tidak ingin membuat kesan Jeremy lebih buruk lagi.

Ketika aku bersiap untuk pulang, Jeremy menahanku. Rautnya wajahnya tidak bisa kutebak, tapi nada suaranya terdengar serius. "Apa kamu kembali bersama pria rambut merah itu lagi?"

Aku mengalihkan pandanganku. "Namanya Derick dan itu bukan urusanmu."

"Tapi dia sudah bersikap kasar padamu. Kenapa kamu terus bersamanya?"

Aku menghela napas lalu menatap Jeremy. "Jeremy, sudah kubilang itu bukan urusanmu. Sekarang minggir, Derick sudah menungguku di bawah."

"Tapi kenapa, Linette?"

"Jeremy, jangan bilang kamu–"

Aku menghentikan mulutku. Cukup. Aku tidak boleh menaruh perasaan pada orang lain. Kalaupun Jeremy menyukaiku, itu juga bukan urusanku. Pada akhirnya, aku meninggalkan Jeremy yang masih tertunduk.

Dua bulan sudah berlalu. Hubunganku dan Derick masih terus berlanjut. Entah apa yang aku rasakan, entah bagaimanapun aku menolak perasaan ini, tapi yang pasti aku merasa bahagia. Sepertinya benar kalau aku masih membutuhkan Derick seperti pria itu membutuhkanku. Aku masih membutuhkan kasih sayangnya.

Kami berdua kembali menghabiskan waktu bersama, otomatis aku harus mengurangi waktu bermain dengan para senior yang lain. Dengan begitulah, hubunganku dengan para senior di kantor mulai kembali berjarak.

Waktu itu hari sudah malam. Saat ini kami berdua masih di restoran karena Derick mengajakku makan malam bersama. Ketika Derick hendak mengantarku pulang ke apartemen, aku menahan tangannya.

Di tengah dinginnya malam, aku mencium bibir Derick.

"Malam ini sangat dingin."

"Aku tahu." Derick menaruh jaketnya di bahuku. "Makanya kamu harus tetap hangat."

Derick memberiku ciuman balasan.

My New EtherealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang