Manusia yang menarik..
Tawa jahat memenuhi kastil yang terasing di tengah hutan terlarang. Judas, nama sosok yang tinggal di dalamnya. Tengah bersender di balkon sembari meminum cairan gelap berisikan anggur yang sudah ia campur dengan darah. Anggur menjadi rasa yang paling ia sukai di lidahnya selain darah pekat yang selalu berhasil memenuhi dahaga.
Judas hanya sendirian dikelilingi suasana kastil yang remang dan penuh dengan aura sihir kuno. Dinding luar kastil itupun sudah pucat terkoyak usia, warna aslinya tak terlihat karena lumut sudah menyelubunginya. Di sudut-sudut bangunan kastil dijaga oleh patung hewan tak lazim bersayap--gorgoyle--dengan tatapannya bak mengikuti dan memburu siapapun yang berpijak di halaman bangunan itu. Kastil megah, namun membuat bulu kuduk bergidik. Indah dengan caranya sendiri. Sayang sekali.
Judas mengetuk gelas anggur pelan dengan kuku jemari telunjuknya. Dentingan kecil yang seharusnya remeh, menggema hampir di seluruh ruangan, menyiratkan betapa sepinya tempat itu. Guratan baru terlukis di dahi, ia menghela napas, sedetik kemudian senyuman penasaran muncul. Bayangan sang putra raja, Alaric, memenuhi benaknya. Keinginan untuk memiliki pemuda bangsawan itu semakin kuat. Menarik perhatian Alaric akan seru sekali, pikirnya. Tidak, tentu tidak. Menculiknya saja tidak akan membuat permainan menjadi tantangan. Menyeringailah Judas.
Sekali lagi, tegukan anggur meluncur bebas di kerongkongannya. Namun, untuk malam ini, ia ingin lebih. Ia mau darah murni. Darah segar yang mengucur deras, hangat dari nadi yang terkoyak. Waktunya berburu sari dari sukma makhluk tak bersalah, atau bahkan pendosa?
Wujud merupa manusia ini sungguh membosankan. Dirinya tidak bisa memperlihatkan wujudnya yang sebenarnya. Raga iblis aslinya. Raga dengan fisik beringas yang tidak dapat dikalahkan siapapun.
Sayap hitam legam dengan siluet bara api ia bentangkan. Iris mata keemasannya membara tak malu lagi. Muncul pembuluh bak retakan petir timbul, dari pusat matanya, menyebar ke dahi, hingga ke sisi wajahnya. Punggung kekarnya yang penuh sulur sihir, terpampang.
Menghirup udara lamat-lamat, tangannya bertaut di depan wajahnya. Dengan kecepatan kilat, ia menukik ke angkasa. Mengelilingi langit sebagai predator terkuat. Wujudnya tampak begitu membuat takut saat dirimu mendongak ke atas, namun dirinya bisa melapisi keberadaan dengan sihirnya. Mengurangi teror yang ia tebar agar bisa menipu mangsa dengan mudah. Tapi, tidak ada yang bisa membohongi sebuah aura mengerikan.
Berpuas-puaslah Judas menikmati waktu melayang di atas. Saat nanti ia turun, mau tak mau kembali ia sembunyikan wujudnya, menutupi kecurigaan. Menjadi manusia berperawakan tinggi tegap dan surai hitam legam bagai bulu gagak yang menjadi ciri khasnya, menawan yang penuh misteri.
Saat mengepak sayap, dari ujung matanya terlihat beberapa manusia tengah memasuki hutan. Sebuah perburuan berkala tampaknya dilakukan manusia tersebut. Senyum tersungging pada rautnya, apakah pemuda yang begitu membuatnya tertarik ini turut serta?
Selagi memikirkannya, mungkin ia bisa melahap daya hidup salah satu manusia disana.
Mendaratlah ia ke hutan itu. Tentu saja bukan hanya manusia itu yang melakukan perburuan.
***
Bersama dengan beberapa orang yang biasa menemaninya berburu, Alaric berjalan memasuki hutan dengan sebuah pedang yang menggantung pada pinggangnya. Seperti biasa, mereka akan berpencar menjadi dua kelompok yang terdiri dari tiga orang, sementara Alaric hanya sendiri. Tak perlu khawatir, ia tinggal menggunakan peluitnya jika memerlukan bantuan.
"Kalau begitu, dari titik ini kita berpencar. Jangan masuk hutan terlalu dalam, kalau ada sesuatu tinggal beri tanda atau bunyikan peluit kalian. Jangan lupa untuk saling jaga satu sama lain, juga berjaga-jaga bila terjadi sesuatu, mengerti?" ucapnya dengan tegas memimpin yang lain, Alaric mengangguk ketika orang-orang di hadapannya berseru mengerti. Setelah berucap satu dua patah kata lagi, berpencarlah mereka mencari hewan incaran. Meninggalkan Alaric sendiri, yang langsung melanjutkan perjalanannya untuk berburu.
Sedetik, dua detik, hingga menjadi hitungan tanpa henti pada jam analog yang dibawa salah satu pemburu menimbulkan bunyi tik-tik lembut di hutan yang senyap. Sesekali, turut serta pula gemerisik ranting-ranting kering yang terinjak sepatu para pemburu yang sudah beset disana-sini, akibat sering digunakan di berbagai medan atau hanya aus akibat kecerobohan mereka sendiri. Tak tahan hanya dikelilingi suara alam yang rupanya membosankan, salah satu diantara pemburu itu membuka suara.
"Kau yakin, meninggalkan Yang Mulia sendirian di hutan seperti itu?"
"Heh, kau ini berlagak seperti anak baru saja. Yang Mulia itu bisa menumbangkan kita bertiga dengan mudah." pemburu satunya, yang lebih muda menyaut. "Kau benar," tambah seorang pemburu yang paling berpengalaman di antara mereka. "Kalau ada apa-apa pun, kita tidak perlu lagi bersusah payah menjalankan rencana 'itu', bukan?"
"Sudah-sudah. Fokuslah, pasang mata dan telinga kalian dengan baik, kita sedang berburu sekarang. Jangan sampai ada hewan yang lepas dari pandangan!"***
Apa yang mereka pikirkan sehingga memilih untuk berpencar, huh?
Seringai senangnya tampak mengerikan. Di balik bayang-bayang pohon, sepasang mata nyalang mengintai mereka semua. Nyaris tidak terlihat, bagai dua ekor kunang-kunang di kegelapan, bergerak pelan, fokus, namun bila diperhatikan lamat-lamat hanya berupa sekelebat cahaya tipis, seperti kilau bilah tajam baru diasah. Beberapa pemuda dalam penglihatannya hanyalah seonggok daging kaya darah, yang sebentar lagi dapat memenuhi isi perutnya yang bergemuruh rakus.
Tidak ingin berlama-lama, ia memunculkan sebuah kijang sihir berkulit gelap, berpendar lemah memantulkan sinar bulan yang keperakan, menopang tanduk serupa mahkota, dengan langkah gemulai berdenyar keluar dari kabut, bergemeletuk mengundang salah satu kelompok dari manusia itu berjalan menjauh dari kelompok yang lain.
Dalam keheningan, ia menarik beberapa pemuda yang sedang berburu kijang semu itu. Lantas, meninggalkannya dengan keadaan leher tercabik, daya hidup telah sirna. Aksi yang cepat, tepat, sulit dinalar. Mudah untuk dilakukan, sebab mereka berjalan saling berjarak meskipun berkelompok. Ia tidak bodoh meninggalkan korbannya begitu saja. Tabir sihir ia buat untuk menunda manusia-manusia yang lain mengetahui keadaan rekannya. Dahaganya telah terobati, tapi selalu saja seperti terasa ada yang kurang. Aroma mereka tak sama dengan sang pewaris tahta, Alaric.
Oh, Alaric. Dimanakah ia?
Disusurinya hutan sambil bersembunyi dalam pelukan bayang.
Disana, Judas melihatnya. Tanpa sadar menyunggingkan senyum. Sang pangeran tengah berjalan sendiri menyisir area hutan di dekat danau. Salah satu tempat favoritnya, indah nan sendu jika terbalut cahaya sang pendamping matahari.
Mewujudkan raganya menjadi manusia yang lebih 'normal', sang iblis berjalan dalam jangkau pandang Alaric, menutup semua kepalsuannya. Bersandiwara.
KAMU SEDANG MEMBACA
{ ephemeral }
FantasySebuah mawar hitam yang jatuh menjadi pertanda, baunya yang ganjil seolah mengingatkan. Bahwa sang pangeran, akan memeluk kelam. *** Ephemeral adalah kisah tentang seorang pemuda yang kelak akan menjadi raja, dengan beban tanggung jawab untuk mengo...