Selasa, 10 Januari
Malam itu semua penerangan jalan dalam sekejap lenyam.
menyisakan Cahaya dan alunan musik menghantar tidur. Rencananya ia akan menghubungi Hujan, namun sadar akan kondisi yang menimpa, membuat Cahaya urung."Udah terlalu larut juga, pasti Hujan sudah tidur." Cahaya menghela nafas dengan sorot mata redup menatap kelamnya langit malam itu, suara gemuruh petir serta sentuhan tetes hujan tak membiarkan ia tenang dengan kesendiriannya.
Para kilat meraung, menunjukkan betapa cepat mereka melintasi cakrawala sehitam jelaga. Membawa suhu beku mengunjungi kulit eksotik Cahaya, dan para angin juga berhasil membuat pigmen birai Cahaya tak lagi ranum.
Ting
Denting ponselnya menunjukkan, bahwa ada seorang yang mencari keberadaan Cahaya dari dunia maya.Pesan singkat itu mampu membangun gelora Cahaya untuk tetap sadar dibawah naungan atap yang tengah terguyur hujan. Secepat cahaya ia membalas pesan Hujan, manusia yang sampai pukul 00.00 masih terjaga.
Seperti sebelum-sebelumnya, detak Cahaya selalu anomali jika mengenai Hujan.
Sekarangpun demikian, tangannya mengais udara memaksa para oksigen untuk memenuhi rongga parunya yang terasa kosong. Bahkan suara benda pecah tak dapat mengembalikan kewarasannya jika menyangkut Hujan."CAHAYA! MATIKAN LAMPUNYA, ATAU KAU TAGIHAN LISTRIK AKAN NAIK!" Teriakan Anitya mengema, dia adalah ibu Cahaya yang selalu perhitungan. Cahaya tak acuh, sudah biasa dengan pekikan sang ibu. Ia menuju pintu, menekan 2 sakelar yang tersedia.
Selepas itu ia berujar "sudah ma, Cahaya tidur dulu ya?"
Cahaya langsung berlari menuju persinggahannya yang nyaman, rasanya hangat meski dingin.
Cahaya benar-benar tidak berkutik dengan sosok Hujan. Ia merasa dirinya dan Hujan sangat dekat, namun diwaktu bersamaan juga sangat jauh.
Ia meletakkan ponselnya diatas meja yang menyimpan banyak rahasianya tentang cinta dan luka. Ia mengambil selembar kertas usang yang berisi anak kecil yang tengah tersenyum. Meski gelap, sang indurasmi mampu menuntun Cahaya untuk menjejaki setiap sudut kenangan yang tersimpan rapi dari goresan tinta yang tersaji dibalik foto.
"Hujan, masih kah kamu akan mengelak?" Pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya terlontar begitu saja, membelah hembusan anika.
"Cepat sembuh Hujan." Ia menyimpan kembali selembar foto lama itu, kemudian ia membangun mimpi indah.
Mimpi yang sulit untuk merealisasikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dan Awan Kelabu || Lee Taeyong
Teen Fiction"Aku tak tahu harus seperti apa untuk membuatmu kembali tertawa."