Bagian 18

12 1 0
                                    

"Je, gimana sama Kavin?"

Seharian ini, selain menemani Kavin yang berada di rumahnya, kegiatan Jeanna tanpa sekolah hanya membantu Sara—Mamanya itu berkutat dengan alat-alat dapur. Wanita itu kemarin baru saja menemukan resep baru dari google, dan hari ini ia ingin mempraktikkannya bersama sang putri. Karena juga ada Kavin disana, maka laki-laki itu akan menjadi food tester nanti.

Sembari membuat adonan dari beberapa macam tepung dan teman-temannya, kedua perempuan itu juga sesekali berbagi cerita atau melempar canda.

Jeanna yang tengah memotong kulit pangsit itu menoleh, "Udah bisa tengil, berarti udah sehat." Jawabnya sengaja mengejek sahabatnya di depan Mama. Dia kembali meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda, "Badannya masih sakit-sakit katanya, jadi belum mau diajak keluar. Tapi nanti juga keluar sendiri kalo udah bosen di kamar." Sambungnya.

"Kasihan ya, dia." Gumam Sara. Teringat lagi akan kejadian mengerikan kemarin. Ia masih tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang ibu tega memperlakukan anaknya sedemikian kasarnya. Ia saja ikut sakit hati ketika melihat setetes saja air mata jatuh dari kelopak mata putrinya, apalagi jika itu bersumber dari dirinya. Lalu Dina? Tetangganya itu kenapa sampai hati untuk menyiksa putranya sendiri?

Memang, semua hal yang dilakukan seseorang pasti ada alasan di balik perbuatannya. Tetapi alasan apa yang membuat wanita itu tega menyumpah serapahi anak baik seperti Kavin untuk mati? Alasan apa yang membuat wanita itu tega melukai darah dagingnya sendiri?

Sara tak sampai untuk menemukan jawabannya. Selama ini, ia selalu dibuat bertanya-tanya oleh kelakuan Dina kepada Kavin. Tidak ada yang tahu apa alasan yang sebenarnya.

"Iya. Padahal Bunda Dina baik sama aku, Ma. Dia gak pernah ngomong ataupun memperlakukan aku dengan kasar kalo aku lagi main ke sana. Dia bahkan gak keberatan kalo aku manggil dia bunda, kaya Kavin. Tapi kenapa sama Kavin, Bunda justru tega?" Tak hanya Sara, Jeanna pun ikut dibuat penasaran.

Sara menggeleng, "Mama juga gak tau. Mungkin memang ada problem yang bikin bundanya Kavin seperti itu."

"Ma," Jeanna meletakkan pisaunya sebentar untuk sepenuhnya menatap sang Mama. "Apa semua ini masih berhubungan sama ayahnya Kavin?" Tanyanya.

"Ayahnya?"

"Iya, bisa aja kan Bunda benci Kavin karena alasan suaminya pergi itu adalah hadirnya Kavin?"

"Mama gak tau, Je."

Jeanna menghela napas panjang, dia kembali lagi pada kulit pangsit di hadapannya. Hingga suara ketukan pintu dari depan lagi-lagi membuat pekerjaannya terhenti. Anak gadis itu berdiri kemudian dengan cepat menuju pintu utama rumahnya.

Kira-kira siapa yang bertamu ke rumahnya siang-siang begini?

"Jeanna?"

Gadis itu membeku. Terkejut melihat sosok yang tak pernah ia sangka akan datang ke rumahnya. Menatapnya dengan pandangan yang sulit untuk ia artikan. Beberapa saat hanya diselimuti hening, sampai salah satu dari mereka memutuskan untuk lebih dulu bersuara.

"Ada urusan apa?" Jeanna bertanya dengan nada datar.

"Je, maaf, gue boleh nanya sesuatu tentang June?"

Jeanna sudah dapat menebak apa yang akan laki-laki itu tanyakan kepadanya, dan benar saja. Ray datang ke rumahnya hanya untuk menanyakan perihal sahabatnya yang sudah menyakiti Jeanna tempo hari.

"Gue udah gak ada urusan apapun lagi sama dia."

Ray tak ingin menyerah begitu saja, "Je, gue mohon. June pergi sejak kemarin, dia diusir sama bokapnya, dan gue bingung harus nyari dia kemana lagi. Gue mohon, bantu gue nyari dia, Je. Dia masih butuh lo."

AMORIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang