bagian sepuluh // dia, penolong

1K 143 3
                                    

"Sumpah, gue kira kelompok gue udah paling parah, Ka, tapi ternyata kelompok lo jauh lebih parah lagi," Putri merespons dengan kesal setelah ia mendengar jawaban Linka atas pertanyaan yang ia ajukan terkait tugas kelompok

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Sumpah, gue kira kelompok gue udah paling parah, Ka, tapi ternyata kelompok lo jauh lebih parah lagi," Putri merespons dengan kesal setelah ia mendengar jawaban Linka atas pertanyaan yang ia ajukan terkait tugas kelompok. "Walaupun deadliners, tapi seenggaknya temen-temen sekelompok gue tetep responsif dan masih ada kemauan buat ngerjain tugas masing-masing."

Linka mengembuskan napas berat. Rasanya iri sekali karena Putri tergabung dalam kelompok yang baginya justru jauh lebih baik ketimbang kelompoknya sendiri. Linka sungguh menyayangkan kebijakan dosen pengampu yang tak memperbolehkan mahasiswanya memilih anggota secara bebas sehingga pada akhirnya Linka terjebak bersama orang-orang semestinya ia hindari.

Namun, dalam masalah ini, sesungguhnya Linka tak tahu harus menyalahkan siapa. Teman-teman sekelompoknya yang tidak bertanggung jawab, atau justru ... dirinya sendiri yang tak becus sebagai ketua?

"Anak-anak kelompok lo nih kayaknya emang perlu disentil dikit sih, Ka. Jangan mentang-mentang lo yang jadi ketua, mereka bisa jadi seenaknya gitu, dong!" ujar Putri dengan menggebu-gebu. "Kalau mereka anggep lo bisa diandalkan, ya bagus memang. Tapi ya nggak begini juga caranya. Yang ada malah lo yang rugi, Ka, kalau mereka tinggal terima jadi doang."

"Terus aku harus gimana, Put?" tanya Linka lesu. "Aku udah terlanjur nyiapin kemungkinan terburuknya, tapi aku ragu yang aku lakuin ini bener apa salah."

"Sebenernya nggak salah, tapi apa yang lo lakuin itu bener-bener nguntungin mereka banget, Ka. Kok lo rela sih, hasil kerja keras lo bakal diklaim sebagai tugas bersama dengan nilai yang sama besar untuk tiap anggotanya?"

"Nggak rela juga sebenernya, Put, tapi aku bingung banget harus ngapain lagi."

Setelahnya Putri tak membalas dan hanya menatap Linka prihatin. Ia sendiri pun bingung harus memberi solusi seperti apa mengingat tenggat waktu pengumpulan serta dimulainya presentasi sudah semakin dekat. Namun seolah semesta ingin turut membantu, di tengah-tengah perjalanan menuju kantin Linka dan Putri tanpa sengaja berpapasan dengan dua teman mereka yang merupakan anggota kelompok Linka.

Oleh sebab banyak jadwal kelas yang berbeda, baru kali ini Linka dapat bertemu lagi dengan mereka usai berdiskusi beberapa waktu lalu.

"Eh, Linka," sapa salah satunya yang bernama Rena. Ia tampak tak menyangka akan bertemu dengan Linka di sana. "Lo ... mau ke kantin?"

Linka kemudian memaksakan senyum kecil. "Iya."

"Oh, ya udah, kalau gitu gue sama Tiara duluan, ya? Masih ada kelas soalnya."

Jadi, mereka benar-benar ingin menghindari topik terkait tugas kelompok, ya? Linka sungguh tak habis pikir.

Sebelum Linka sempat membalas, tahu-tahu saja Putri sudah lebih dulu berkata, "Eh, pas banget ketemu kalian. Gue mau nanya, progres tugas kelompok kalian udah sampe mana, nih?"

Linka sontak memandang Putri tak percaya. Kawannya itu pasti sengaja melakukan hal tersebut karena sudah kepalang kesal dengan dua manusia itu.

"Ah ... udah mau beres kok, Put," kali ini Tiara yang menjawab dengan ragu-ragu. Kemudian ia beralih pada Linka. "Iya, 'kan, Ka?"

Butuh beberapa saat bagi Linka untuk berpikir terkait apa yang harus ia katakan saat ini. Namun, oleh sebab Putri yang sudah berbaik hati mau membantu, tampaknya kali ini Linka memang harus ambil sikap dengan benar. Maka dari itu, pada akhirnya Linka pun menjawab, "Iya, udah beres malah. Tapi itu untuk bagian tugas aku aja. Kalau kalian, gimana? Udah beres belum, tugas yang udah aku bagi-bagi di grup?"

Mendengar hal itu, Rena maupun Tiara sekonyong-konyong terbungkam. Wajah keduanya menampakkan keterkejutan nyata.

"Kenapa, nih? Jangan bilang kalau kalian pada lupa?" Putri kembali meneruskan sandiwaranya. "Wah, gimana dong Ka, nasib kelompok lo? Udah H-3 loh, ini."

"Ya nunggu sampe pada beres dululah, Put. Mau gimana lagi?"

"La-lagi proses, Ka," Rena menyahut cepat dengan raut panik yang tak bisa ia sembunyikan dengan sempurna. "Tapi, berhubung udah H-3, kalau misal nggak sempat gimana ya, Ka? Atau ... karena bagian lo udah selesai, gimana kalau lo bantuin kita-kita?"

"Betul, Ka," timpal Tiara. "Gue sih percaya-percaya aja malah, kalau misal lo yang ngerjain semuanya."

"Gila, nggak tahu diri amat nih orang berdua," gumam Putri yang kesabarannya sudah nyaris putus, tak peduli Rena ataupun Tiara akan mendengarnya dengan jelas. Sementara Linka benar-benar kehabisan kata sebab mereka sudah secara tersirat meminta Linka untuk mengurus tugas kelompok tersebut sendirian. Apakah mereka benar-benar mengandalkan Linka, atau malah ingin memanfaatkannya?

Oh, tentu saja pernyataan kedua jauh lebih memungkinkan jika melihat kenyataan yang ada. Linka pun hanya dapat tersenyum masam.

"Loh, ini pada ngapain ngumpul di tengah jalan begini?"

Sebuah suara yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka sontak saja menarik atensi Linka serta yang lainnya. Dan ketika menengok pada sumber suara, seketika Linka pun terperangah mendapati laki-laki yang disukainya berada di sana.

Benar. Ia adalah Zefran. Kebetulan macam apakah ini?

"Eh, Kak Zef," Rena dan Tiara menyapa bergantian, dan mereka bahkan sampai ber-high five ria. Tampaknya Zefran pun mengenal keduanya, dan Linka berasumsi hal itu dikarenakan Rena serta Tiara tergabung di himpunan jurusan.

"Habis bimbingan, Kak?"

"Iya, nih. Terus, kalian ngapain di sini?"

"Oh, ini lagi bahas tugas kelompok ...."

"Oh, tugas kelompok. Jadi, kalian semuanya satu kelompok?"

"Iya, Kak, kecuali Putri."

Zefran kontan manggut-manggut lantas menengok pada Putri, lalu tiba-tiba saja pandangannya berpindah pada Linka. Bibir gadis itu pun melengkung canggung, tetapi anehnya kali ini Zefran hanya melengos hingga sukses memunculkan tanda tanya besar dalam kepala Linka. Ada apa dengan laki-laki itu?

"Matkulnya siapa nih, kalau boleh tau?" Zefran kembali melontarkan tanya, entah karena benar-benar penasaran atau apa.

"Pak Yanto, Kak," jawab Rena sekenanya.

"Wah, menarik. Kalian baru diajar beliau di semester empat ini, 'kan? Mau gue kasih bocoran sedikit, nggak?"

"Eh, boleh-boleh, Kak. Apaan, tuh?"

"Berhubung ini tugas kelompok, gue cuma mau pesen aja supaya kalian hati-hati. Beliau ini orangnya teliti banget, jadi pasti bisa gampang tau siapa-siapa aja yang kerja dan siapa yang nggak dalam prosesnya, entah itu diliat dari pas presentasi atau penulisannya. Nanti ketuanya juga pasti kena tanya, tuh, dan hebatnya beliau bisa tau dia ngomong jujur atau nggak.

"Jadi," lanjut Zefran, "semisal ketahuan kalau yang kerja cuma satu atau dua orang, beliau nggak bakal ragu untuk kasih nilai C ke bawah buat anggota yang cuma numpang nama. Jangan sampe deh ya, ada kejadian gitu di angkatan kalian."

Dan, yah, penuturan Zefran pun sukses menampar Rena dan Tiara begitu saja hingga mereka langsung terdiam, seakan-akan ia tahu titik permasalahan dalam kelompok Linka saat ini dan sengaja ingin memberi bantuan.

Kemudian Linka pun melayangkan tatapan pada Zefran. Pada sekon berikutnya, laki-laki itu seolah sadar tengah diperhatikan dan turut menoleh. Dan, kali ini, sabit favorit Linka kembali terbentuk di wajahnya yang diikuti dengan anggukan pelan.

Linka mengerjap.

Sepertinya, Zefran memang benar-benar tahu.

* ੈ✩‧₊˚

bandung, 26 januari 2023

See You After Midnight [PUBLISHED]Where stories live. Discover now