3. Pendekatan

20 7 0
                                    

"Reysha, kumohon kau berhenti menangis. Jika kau menangis, untuk apa aku di sampingmu? Apa gunanya aku di sebelahmu? Aku ikut terluka melihatmu seperti ini, Sha."

"Hug me, please!" pintaku.

"Of course, Baby." Rama menarik tanganku, membawaku ke dalam pelukannya. "Kau tahu kenapa aku benci kau menangis?"

Aku menggeleng pelan. Mendekap erat tubuh Rama.

"Karena setelah kau menangis, kau pasti meminta pelukan dan aku tidak ingin ketika kau menangis bukan aku yang kau peluk."

Aku mengetatkan peganganku pada secangkir kopi panas yang telah aku pesan. Menyalurkan rasa hangat ke telapak tangan yang mulai menggigil. Sepotong kenangan tentang Rama kembali muncul di otakku. Terlalu banyak kenanganku dengan Rama, sangat sulit jika harus berhenti memikirkannya, walau hanya sedetik.

Sekarang di mana lelaki itu yang tidak ingin melihatku menagis? Bahkan dia sendiri yang membuatku menangis saat ini.

Saat ini aku sedang berada di sebuah kafe. Kafe di mana aku pertama kali bertemu dengan Rama, tempat Rama menyatakan cintanya dan tempat di mana aku memutuskan dan mengakhiri hubungan kami.

"Kau sudah datang?"

Aku menoleh ke belakang saat mendengar dengan jelas suara Rama.

Rama mencium pipi wanita yang ia temui. Lalu duduk di depannya, menggenggam mesra tangan wanita itu. Jangan tanya tentang hatiku, tentu saja hancur.

Pemandangan di depanku saat ini memang sangat menyakitkan, tapi entah kenapa kedua retinaku tidak mau berpindah menatap.

"Echa ...."

Aku menoleh saat suara bariton memanggil namaku. Ah ternyata Vino.

Vino duduk di hadapanku, lalu menatap Rama yang duduk jauh di belakangku.

"Siapa dia? Pacarmu?"

Aku hanya diam. Menghirup aroma kopi, meniup, lalu menyeruput kopi hangat itu.

"Echa, kau tidak menjawab pertanyaanku. Itu tidak sopan!"

Aku meletakkan cangkir kopi di meja.
"Untuk apa kau bertanya dia pacarku atau bukan? Lagipula kau tahu segalanya tentang aku? Jadi, siapa yang lebih tidak sopan?" tanyaku sarkas.

"Echa ...."

"Aku tidak punya pacar. Dia mantanku," jawabku akhirnya.

"Bagus lah."

"Apanya yang bagus?" Aku menaikkan sebelah alis.

"Bagus kalau dia bukan pacarmu, sangat tidak baik kau mempunyai pacar saat akan menikah denganku."

Aku hampir saja tersedak mendengar ucapan Vino. Kenapa Vino selalu membahas tentang pernikahan.

Kembali aku membalikkan badan, menatap Rama yang tengah mengecup punggung tangan wanita itu. Aku merindukan Rama, aku ingin memeluknya.

"Dia sudah mempunyai pacar baru dan kau belum bisa move on dari dia? Ayo lah, Echa!" Vino mengingatkan.

Aku melototkan mataku. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kalau aku belum bisa melupakan Rama?
"Aku baru putus tiga hari yang lalu, bagaimana mungkin bisa dengan mudah melupakan dia."

"Mau tahu cara balas dendam terbaik ke mantan?" Vino meneguk kopi milikku sampai habis. Dasar tidak modal. "Pura-pura diabetes di depan mantan."

Aku langsung menggelengkan kepala, menolak. Maksud Vino apa coba? Aku Pura-pura penyakitan, begitu?

"Kau pasti bingung 'kan? Maksudku, kau pura-pura diabetes, supaya mantanmu tahu kalau hidupmu lebih manis tanpa ada dia."

Aku mendesah pelan.

"Ayo lah Echa ... aku hanya bercanda. Kau sangat serius sekali."

"Aku tidak ingin bercanda, Om."

Vino menatapku tidak suka.
"Sudah kubilang, aku masih 27 tahun dan bukan Om-Om."

"Terserah kau saja," ucapku pasrah.

"Kau butuh uang, Cha? Menikahlah denganku dan hidupmu akan normal kembali."

Aku memang membutuhkan uang, tapi untuk menikah dengan Vino itu bukan ide yang bagus. Kami baru bertemu kemarin, mana mungkin tiba-tiba menikah. Otak Vino sepertinya memang benar-benar konslet.

Vino menarik tangan kiriku dan menggenggam pelan.
"Echa, aku mencintaimu ... harus berapa kali kukatakan?"

Aku mengabaikan ucapan Vino, aku benci mendengar kata cinta dari mulut lelaki, bagiku semua ucapan mereka palsu.

"Vino ...."

"Iya, Sayang. Ada apa?"

Aku berdecak, kenapa lelaki suka sekali tiba-tiba memanggilku 'Sayang?'

"Aku membutuhkan pekerjaan, bukan hanya uang." Aku mulai menjelaskan.

"Iya pekerjaanmu menjadi Istriku, sama saja bukan?"

"Aku belum siap menikah, Vino. Mengerti-lah,"

Vino mengeratkan genggaman tangannya.
"Jadi, pekerjaan apa yang kau inginkan? Aku akan membantu."

"Aku akan mencari pekerjaan sendiri tanpa bantuanmu. Aku tidak kenal kau siapa dan kau berasal dari mana. Lalu, yang pasti aku tidak ingin merepotkanmu," ujarku meyakinkan.

"Echa, bukankah kita sudah berkenalan kemarin? Ok aku ulangi. Namaku Vino Jen Kollampard berasal dari bumi tempat sama dengan yang kau pijaki saat ini. Aku ini calon suamimu, ayah dari anak-anakmu dan kau juga tidak merepotkanku sama sekali."

Aku menghela napas panjang, "Vino ... aku mohon berhenti-lah menganggap kau calon suamiku. Aku muak mendengarnya."

"Ok." Vino melepaskan genggamannya pada tanganku, lalu pergi.

Apa dia marah?

~TBC~

Seperti biasa
Bagian yang di Italic di awal itu flashback ya.

Terimakasih sudah membaca.

Salam dari Echa.

Setengah Hati yang TertinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang