Mata Laura sedari lekat menatap layar LED besar yang dihubungkan dengan konektor hingga suaranya jelas terdengar. Tidak ada suara selain dari mesin proyektor itu.
Laura menggigit bibir, menatap cermat ke depan. Sesekali alisnya bergerak penasaran. Walaupun membuatnya ngeri saat layar menampilkan seorang wanita yang dioperasi caesar. Tampak semua dokter yang menanganinya sibuk, tentu mereka begitu hati-hati, takut jika terjadi komplikasi.
Laura langsung menggigit bibir saat bayi berhasil dikeluarkan, namun ketegangan melanda saat tekanan darah pasien turun drastis.
Video itu langsung dijeda, Dosen Jian langsung menatap mahasiswanya lekat.
"Sekarang jelaskan apa yang dialami pasien," ujarnya menatap semua mahasiswa bedah yang berada di aula.
Ruangan ini memang besar, semua mahasiswa bedah dipersatukan di sini.
"Pendarahan postpatrum, terjadi karena pasien kehilangan banyak darah, usai melahirkan," sahut Raya. Dia yang berada tepat di samping Laura tersenyum yakin.
Dosen Jian mangut-mangut. "Benar, lalu berdasarkan video itu, apa yang menyebabkan resiko itu terjadi?" lontarnya butuh jawaban.
"Retensio plasenta," seorang mahasiswa bedah saraf menyahut.
Seseorang langsung menyangkalnya. "Lebih tepatnya Plasenta Akreta."
Suasana ruangan mulai dipenuhi suara bisik-bisik.Laura semakin memperhatikan video itu, mecari jawaban yang sesuai. Pasti ada resiko yang mempengaruhi pendarahan itu cepat terjadi.
"Masalah pembekuan darah," kata Raya mengetukkan pulpennya ke meja.
Beberapa mahasiswa yang tadinya kebingungan mulai mendapat pencerahan. Itu jawaban yang lebih tepat.
Dosen Jian tersenyum hangat. "Kau yakin?" pantaunya.
"Bisa jadi si pasien memiliki gejala von willebrand, di mana si pasien mengalami gangguan dalam proses pembekuan darah. Gangguan koagulasi ini bisa berkaitan juga dengan hemofilia, dan odiopatik trombositopeniapurpura. Selain itu, komplikasi kehamilan seperti hipertensi dan preeklampsia gestasional," jelas Raya panjang lebar.
Semua mahasiswa langsung bertepuk tangan, memang Raya selalu unggul dalam analisa medis. Kemampuannya sudah diakui beberapa dosen.
"Tepat juga," celetuk Dosen Jian yang diangguki beberapa mahasiswa.
Sejenak Laura menarik napas, bangkit dari posisi berdiri dengan kedua tangan meremat rokok erat.
"Infeksi Endometrium!" sosor Laura, membuat semuanya langsung menatapnya. Sedikit membuatnya merasa cemas.
Alis Dosen Jian berkedut, terlihat ia berpikir. Terjadi jeda beberapa saat.
"Laura, mahasiswa unggul dalam ortopodi. Kau yakin dengan Jawabanmu itu?" tanyanya sarkas.
Laura meneguk ludah hambar. " Bisa Bu Dosen memutar kembali videonya," pintanya menahan gejolak ketakutan.
Dosen Jian menurut, video itu kembali diputar, menyita atensi semua mahasiswa kembali ke layar itu.
"Hentikan videonya!" Suara Laura meninggi, membuatnya jengah karena menjadi bahan tontonan.
Alis Bu Jian menukik saat menghentikan video itu. "Laura, kau tidak main-main," dengkusnya.
"Maaf, tapi aku menangkap sesuatu di bagian ini," ucap Laura yakin. "Perhatian saksama jam di dindingnya," sambungnya.
Semuanya ikut mengamati.
"Dosen Jian, bisa diulangi lagi," sambung Laura pelan.
Mungkin karena penasaran membuat dosen Jian patut, hingga saat video itu kembali diputar, saat di menit keempat sudah didapati kejanggalan.
"Stop! undur videonya lalu lanjutkan" Seseorang yang duduk di kursi belakang mendahului Laura menyahut.
"Jelas, ada yang aneh!" Seorang mahasiswa ikut menyahut.
"Videonya dipotong," pekik mahasiswa di sudut kanan.
Laura mengulas senyum tipis, bagus karena mereka mengetahui maksudnya. "Jadi, apa jawabanku diragukan?" gumamnya.
Hening, beberapa dari mereka sibuk dengan ponselnya untuk mencari informasi, ada juga yang memantau Laura terang-terangan.
Sejenak Laura menarik napas. "Sudah jelas jika penyebabnya karena waktu persalinan yang relatif lama, hal itu bisa memicu juga adanya bagian plasenta yang tertinggal di dalam rahim. Ketika plasenta terlepas dari dinding rahim, lapisan dalam rahim semakin peka. Sebagian besar kasus memicu pendarahan. Jika melihat waktu di jam itu, videonya dipotong hampir 65 menit, bisa saja waktu yang dihabiskan mencapai 1 jam 25 menit," ungkapnya.
Clap clap clap!
Dosen Jian bertepuk tangan, lalu diikuti mahasiswa lainnya. Raya yang di sebelah Laura langsung merahi tangan gadis itu untuk diayunkan ke atas.
"Kau genius," bisik Raya.
Tentu Laura lega, akhirnya tidak sia-sia yang dipelajari semua ini. Hari ini, iA bisa paham jika pengetahuannya bisa sangat berguna.
***
Angin berembus menggayungkan rambut Laura yang tergerai, sengatan angin begitu sejuk menghangatkan sanubarinya. Desiran darahnya mengalir lancar, sesuai aliran napasnya.
Senyuman Laura mulai terlukis, menggenggam lembut besi pembatas rooftop gedung kesehatan. Melihat langit yang membentang tak berujung di atas, dengan awan bagaikan kapas lembut yang ingin ia raih.
"Pasti rasanya tenang di sana, tanpa beban dan masalah. Jika aku sudah selesai di sini, aku ingin berada di sana juga. Tempat Alfa menetap."
Hingga bibir Laura perlahan berkedut, gejolak di dadanya langsung mengganjal, bersamaan adrenalin ketakutan. Fase ini paling ia benci.
Sejenak menarik napas, Laura memutar bola mata ke bawah. Beberapa mahasiswa berlalu. Sejenak ia merasa ngeri menyadari pijakannya sekitar tiga puluh tujuh meter dari bawah, jika ia terjatuh sudah dipastikan tubuhnya akan terpecah belah.
Laura langsung menggeleng, tergelak dengan pemikiran bodohnya. Padahal, ia sudah nekat melakukannya. Tepat pada malam tahun baru, jika bukan Aksa yang menghalanginya pasti ia meninggal.
"Alfa, apa kau melihatku?" lirih Laura menggayungkan tangan kanan ke atas, bermaksud meraba langit yang biru.
"kau bahagia ya di sana," sambung Laura menggigit bibir bergetar.
Laura mendelik, merasakan belaian lembut di rambutnya Aroma parfum citrus menyengat kuat. Karena penasaran, ia berbalik. Namun ia kecewa jika itu bukan Alfa, tapi Dirga.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Dirga usai membelai rambut Laura, ia ikut mengenggam besi pembatas rooftop di sebelahnya.
Laura menggaruk alis cengengesan. "Menikmati angin," jawabnya polos.
Dirga menengadah untuk menghirup udara kuat-kuat. "Segar, rasanya nikmat," cetusnya.
Laura tergelak samar. Angin bisa membuatmu kenyang?" timpalnya.
Dirga otomatis berdecak. "Kau kira ini
makanan, jangan ngaco, Laura," tampiknya."Lalu kenapa kau ke sini? Ini bukan gedung fakultasmu," pungkas Laura menatapnya selidik.