[CHAPTER 6]

1.5K 77 22
                                    

War Of Heart — Chapter 6


Happy reading 😘😘

__________

Misha serta Reinard mendorong trolley yang dipenuhi dengan berbagai chinaware dan silverware melalui sayap kanan ballroom yang khusus untuk berlalu lalang karyawan ketika seluruh tempat ballroom digunakan. Sebenarnya Reinard bisa mendorong sendiri, namun pria itu meminta Misha mengikutinya agar bisa membantunya ketika ia memindahkannya di buffet.

Usai para tamu makan siang, Misha, Reinard, Razda dan yang lainnya langsung melakukan clear up dan mengganti menu lunch di buffet dengan snack coffee break. Dan kini mereka sedang mendisplay kembali peralatan makannya.

“Ada yang kurang nggak?”

Misha yang baru saja selesai menghitung jumlah dinner plate menggeleng, “Enggak, Kak. 180, kan?” Seratus delapan puluh, sebab sisanya ada di buffet sisi timur, sedangkan Misha menata equipment di buffet sisi barat.

Iyess,” sahut Reinard.

Mereka berdua tidak langsung kembali ke dishwash, melainkan menyembunyikan trolley di balik pintu meeting room kemudian berdiri di tempat itu. Reinard serta Misha menunggu anak-anak lain selesai makan kemudian menggantikan mereka berdua kemari, sebab tidak mungkin jika mereka semua makan bersama-sama.

Tiba-tiba pintu yang terletak di ujung sebelah kanan ballroom terbuka, Misha dan Reinard kompak menoleh, mendapati Arjuna disusul Razda, Eggy dan terakhir Shafira masuk seraya menghampiri mereka.

“Kenyang, gaes. Dah, gantian sana. Sekalian sama Shafira, dia juga belum makan soalnya,” tutur Arjuna seraya merentangkan tangannya untuk merenggangkan badan.

“Hah? Kenapa enggak sekalian?” Misha mengerutkan alisnya, gurat heran atas perilaku Shafira tercipta jelas.

“Kan barusan selesai moles,” balas gadis itu.

Kan mereka makannya di dishwash, bisa kali kalau cuma dijeda bentar.

Jiwa julid Misha tiba-tiba keluar, namun ini Shafira. Misha tidak bisa sembarangan berkata kasar pada gadis itu seperti dirinya dengan Juna. Maka dari itu, Misha hanya bisa menjawab ‘Oh’ dengan muka cuek.

Dan sepertinya Reinard menyadari itu, namun sebagai penengah, laki-laki itu lebih memilih mengajak keduanya makan daripada memihak salah satu dari dua siswi SMK itu. “Udah yuk, makan. Udah laper, kan, kalian?”

Misha hanya mengangguk sekali, kemudian berjalan mengikuti Reinard—namun Shafira malah melambatkan kakinya sehingga dia dan temannya itu sejajar.

“Gila banget, masa Pak Yehuda nyuruh aku moles glass juice sama champagne tulip masing-masing 3 krat. Kan harusnya aku libur! Capede...”

“Itu berarti Pak Yehuda sayang sama kamu, makannya disuruh masuk. Coba kalau enggak masuk, kamu enggak bakal bisa ikut makan enak.” Salah satu keuntungan menjadi anak banquet—bisa makan enak sama seperti tamu, karena tidak mungkin macam-macam makanan yang dibuatkan untuk mereka semuanya akan habis, lagipula jika masih tersisa banyak, biasanya anak-anak dan staff membawa pulang makanannya. Sangat berbeda dengan restaurant yang ada di main building—bahkan ketika akan pulang, para trainee akan dicek satu-persatu karena mereka tidak diperbolehkan membawa satu pun makanan.

“Ya tapi kan—aaargh, nyebelin banget! Mana disuruh moles sama yang buat dinner sekalian! Bayangin!”

Aku juga pernah.

Misha hanya membatin demikian. Ia tidak lagi merespon Shafira.

“Ngomongin apasih? Seru banget kayaknya,”

Dengkulmu seru.

Misha sepertinya sedang berada dikeadaan lapar level tertinggi. Maklum, sekarang sudah pukul 2 siang sedangkan terakhir Misha terakhir mengisi perutnya adalah kemarin sore saat makan di kantin. Jujur saja, jika sedang lapar memang dirinya terkadang suka overthinking, uring-uringan serta badmood dalam segala hal.

“Ngomongin ‘Bapak Kesayangannya’ Shafira, Kak Reinard.”

“Apaan, sih? Bapakmu, ya.” Shafira menyenggol pundak Misha dengan slay dan anggunly.

Misha pura-pura tertawa.

“Oalah, Pak Yehuda itu kesayangan kamu, Ra?” Timpal Reinard ikut-ikutan dengan tawa kecil.

***


Shafira, Misha serta Reinard sedang duduk lesehan sembari makan saat Pak Yehuda tiba-tiba datang ke dishwash. Misha mendongak memperhatikan, begitupula dengan Shafira. Hanya Reinard yang berinisiatif menyapanya. “Makan dulu, Pak.”

Yow, udah aku tadi.” Pak Yehuda berhenti beberapa meter dari mereka saat sudah menemukan orang yang dicarinya. “Shafira, kamu habis ini pulang enggak papa, sori ya, malah tak suruh berangkat?”

“Pulang, Pak?”

“Iya, pulang aja. Tenang, besok jam kerjamu tak kurangin buat ganti.”

“Oke, Pak!” Jawab gadis itu semangat, setelahnya Yehuda ganti memandang Reinard. “Gimana tadi? Aman, to?”

“Aman, Pak.”

“Yaudah, nanti kalau tamunya minta yang aneh-aneh telfon aku, ya!”

“Iya, Pak.” Reinard mengangguk pada Yehuda, lalu staff banquet itu berjalan meninggalkan mereka bertiga dengan dua laki-laki steward yang sedang sibuk mencuci peralatan makan yang kotor.

“Asem, enak ya,” komentar Reinard. Laki-laki itu meletakkan piring di depannya kemudian menjangkau gelas berisi es dawet lalu menenggaknya. “Dulu aku juga sering dipanggil Pak Yehuda, loh, tapi jam kerjanya enggak dikurangin—malah sering disuruh lembur.”

“Masa?” Ucap Shafira tak percaya.

“Kan, Kak Reinard juga anak kesayangannya Pak Yehuda,” Hobi baru Misha—suka sekali mencari masalah.

“Enggak ya, enggak ada yang namanya anak kesayangan.”

“Ah masa," tutur Misha dengan suara riang gembira dan raut wajah ceria hingga terlihat seperti sedang bercanda.

Heran, apa mereka berdua tidak sadar atas perlakuan berbeda Yehuda?

Atau Misha yang terlalu berpikiran negatif tentang orang-orang disekelilingnya?

“Kenapa?” Tanya Reinard mewakili kebingungan Shafira. Namun Misha malah tertawa, gadis itu langsung menggeleng-geleng geli dengan senyuman tertahan saat akan menjawab Reinard.

“Enggak papa, Kak. Bercanda, ih!”

Terlalu sering diabaikkan bahkan dilupakan keberadaannya oleh orang-orang membuat Misha merasa perlu berpikir dua kali untuk mengutarakan emosinya.

Kecuali Arjuna.

Meski pria itu acap kali berlaku menjengkelkan pada dirinya, tapi Misha akui ia menjadi merasa seperti masih ada orang yang menemaninya.

Misha sejujurnya muak. Ia muak dengan dirinya sendiri yang selalu iri saat Shafira yang lemah lembut selalu diperhatikan oleh senior-seniornya. Seperti beberapa saat lalu ketika Shafira tiba-tiba menghilang karena membuntuti Misha, gadis itu bahkan di telfon oleh Razda. Laki-laki itu mencarinya, kemudian Rangga dan Adam yang selalu memberi tahu Shafira jika mereka lebih dulu ber-istirahat, atau Gilang, Farrel dan Johan yang menanyakan apakah Shafira sudah istirahat atau belum.

Berbeda dengan Misha yang dari awal melakukan segala sesuatunya sendiri. Jika dia sedang incharge seorang diri, tidak ada yang menghubunginya, tidak ada yang menawarkan bantuan atau sekadar menggantikannya sebentar agar Misha dapat duduk barang semenit atau makan sedikit.

Misha merasa seperti serpihan batu di antara serpihan kristal lainnya.

_______________

Kesel.

Kenapa sedikit banget jumlah wordnyaa 😭😭

Gaess, gimana semisal kalian ada di posisi Misha??

Kenapa sih, Misha suka banget overthinking!!!

Sebellll😭😭

Kayaknya Misha itu moodyan ya modelannya, apalagi kalau laper atau ngantuk. Langsung mencak" terus🤧

WAR OF HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang