Suasana koridor sudah ramai sepagi ini. Varsha celingukan sendiri, sebab jalan menuju pintu kelasnya benar-benar dipadati oleh massa dan membuatnya kesulitan untuk lewat. Karena tinggi badannya yang di atas rata-rata, Varsha jadi tak perlu repot berjinjit untuk menyaksikan kejadian yang tengah berlangsung di depan sana. Mata birunya menyipit sesaat. Dan mulutnya seketika melongo, sebab tak percaya dengan apa yang tengah ia lihat saat ini.
"GARDA!" Tanpa sadar ia berseru dengan kencang. Membuat atensi kerumunan padat itu resmi beralih ke arahnya di barisan paling belakang.
Jalanan di hadapannya tersingkap. Varsha mengerutkan kening, merasa aneh karena ia yang jadi pusat perhatian saat ini. Padahal niatnya hanya ingin segera masuk kelas dan duduk di tempatnya, sebab kakinya gak nyaman dipakai lama-lama berdiri. Namun di depan sana, Garda yang biasanya cuma tau caranya membanggakan sekolah dengan prestasi atletiknya mendadak lain. Cowok yang Varsha kenal lima tahun lalu itu terlihat berantakan. Kancing kemejanya lepas menampakkan kaos hitam polos yang dikenakannya di balik seragam.
Tangan Garda saat ini tengah mencekram erat kerah seorang cowok dengan wajah babak belur yang terkapar di lantai. Sepertinya Garda yang menghajar cowok itu sendirian dari tadi. Sudah sampai sejauh itu, tapi tak ada anak yang maju untuk memisahkan mereka. Mungkin karena tubuh Garda dan cowok yang dihajarnya saat ini sama-sama besar. Hingga anak-anak lain yang menyaksikannya takut kena tampol duluan sebelum maju.
Varsha beranjak mendekat. Tangan Garda yang masih mencekram erat kerah cowok itu gemetar dan akhirnya terlepas sendiri. Varsha menarik lengan Garda untuk menepi. Tanpa mengindahkan anak-anak lain yang berbisik soal mereka. Varsha melakukan ini, karena ia kenal betul dengan cowok itu. Garda yang diharuskan senantiasa berkelakuan baik di lingkungan sekolah oleh ayahnya yang keras, malah melakukan hal buruk sampai membuat temannya terluka parah.
"Sha, aku bisa jelasin. Aku--" Perkataan Garda terputus. Varsha melihat dengan seksama jemari tangan cowok itu yang memar dan mengeluarkan darah karena lecet.
Gadis itu menghela napas dan menatap ke arah Garda serius. "Gak perlu ngejelasin apa-apa. Karena nanti kamu juga bakal ditanyain sama Bu Narti. Sebaiknya kita ke UKS dan rawat luka kamu sebelum infeksi. Aku bakal ngebelain kamu kalau nanti jadi saksi biar gak perlu sampai ada panggilan orang tua. Kalau kamu stres karena latihan, kenapa gak bilang aja sih?"
"Sha, dengerin aku ini bukan soal stres karena latihan. Ini--" Varsha tak ingin mendengar apapun dari mulut Garda sekarang. Jadi tanpa banyak bicara ia mendorong punggung cowok itu supaya jalan ke arah UKS. Varsha menengok ke belakang, anak yang Garda pukuli sampai pingsan tadi pun menyusul dibawa ke UKS. Dia dibawa beramai-ramai dengan cara dibopong oleh para saksi di sekitar tempat kejadian.
Dalam hati Varsha berteriak frustasi. Merasa khawatir dengan nasib Garda jika ia sampai ketahuan membuat masalah oleh ayahnya. Bukan maksudnya memberi simpati lebih, hanya saja Garda akan sangat kasihan jika itu sampai terjadi. Sepertinya untuk sekarang ia harus menangguhkan semua dendam dan kebenciannya pada Garda dulu.
.........
"Bikin masalah apa kalian sampai satu sekolah heboh begini?" Bu Narti tanpa basa-basi mencerca saat ia tiba di UKS. Cowok yang Garda pukuli tadi sudah sadar. Ah tidak, sebenarnya cowok itu gak pernah pingsan. Cuma pura-pura tak sadarkan diri saja supaya Garda berhenti memukulinya. Setelah dirawat pun ternyata lukanya gak parah-parah amat.
Garda yang masih duduk di ranjang UKS sebelah menghela napas dalam, bersiap menjelaskan. Karena cowok yang ia pukuli cuma diam saja. Cowok itu namanya Jayden. Anak klub lari juga. Tapi sudah kelas 12 dan diharuskan untuk pensiun agar fokus pada ujian kelulusan.
"Dia yang bikin masalah, Bu." Garda menunjuk ranjang UKS di sebelahnya.
"Maksud kamu apa Garda? Kata para saksi kamu yang mukul Jayden tiba-tiba. Ini benar-benar gak seperti kamu yang biasanya." Bu Narti menyanggah cepat.
"Jayden sengaja naruh kawat di lintasan lari supaya ada yang cidera. Dan dia ngelakuin itu biar salah satu anggota gugur buat olimpiade provinsi nanti dan dia bisa maju buat gantiin. Anak kelas 12 dilarang ikut tanding sama pelatih supaya fokus masuk kuliah. Jadi dia ngelakuin hal sefatal itu sampai anak yang bukan dari anggota klub lari akhirnya cidera." Jelas Garda sembari menahan diri dengan baik karena perkara yang membuatnya kesal ini.
Bu Narti menatap shock ke arah Jayden yang hanya duduk termenung. "Betul seperti itu, Jayden?"
"Dia gak bakal bisa nyangkal, Bu. Korbannya juga ada di sini. Kakinya sampai perlu dijahit banyak karena lukanya cukup lebar." Garda menambahkan, matanya menatap lurus ke arah Varsha yang masih ada di ruangan ini dan menyimak.
Bu Narti menoleh ke arah Varsha di tempatnya. "Benar kamu kena kawat waktu di lintasan lari?"
Varsha dengan segera menangguk dan menjelaskan kejadian hari itu. Mendengar penjelasan Varsha, Bu Narti nampak makin terkejut dan memijit pelipisnya sejenak.
"Jayden, kalau udah enakan kamu ikut ke ruangan ibu setelah ini. Dan Garda kamu udah melakukan kekerasan dengan beban pelanggaran poin yang cukup berat. Masalah ini gak hanya selesai dengan pengurangan poin kamu aja. Meskipun Jayden juga salah, tapi main hakim sendiri itu gak baik. Hukuman buat kamu kita bicarakan setelah ini."
Bu Narti keluar meninggalkan UKS. Varsha dengan segera berinisiatif mengikutinya. "Bu, hukuman buat Garda nanti apa sampai panggilan orang tua juga?" Varsha bertanya karena sangat khawatir jika hal yang dilakukan Garda terdengar ke telinga ayahnya.
"Garda selama ini berperilaku baik. Anak yang gak pernah melakukan kenakalan mendadak jadi begitu. Tentu saja hal ini perlu dibicarakan dengan pihak walinya biar jelas apa yang terjadi. Sudah kamu masuk kelas saja. Gak perlu terlalu khawatir, kaki kamu kelihatannya masih sakit gitu waktu dipakai jalan." Bu Narti benar-benar berlalu setelahnya. Varsha kehilangan harapan di tempat. Hal buruk akan terjadi setelah ini.
.........
Varsha duduk bengong di depan meja kantin. Beberapa anak cewek dari kelasnya nampak mengelilinginya. Berebut roti abon yang Ririn temukan di meja Varsha pagi-pagi sekali. Sudah lebih dari seminggu kiriman makanan misterius terus datang tanpa absen di meja Varsha. Bahkan saat gadis itu gak masuk sekolah pun, kiriman makanan itu masih tetap datang. Varsha tak terlalu mempedulikannya. Karena selama tak mengancam, hal tersebut ia rasa tak penting.
Ia justru khawatir dengan Garda yang kemungkinan besar orang tuanya dipanggil ke sekolah. Ia tak bisa menutup mata begitu saja. Karena Garda jelas melakukan hal itu untuk dirinya. Kalau hanya sekedar menangkap pelaku sabotase lapangan lari, Garda tentu tak perlu bertindak gegabah seperti itu.
Hal ini mengingatkannya akan peristiwa tiga tahun silam. Kala itu ia dan Garda masih duduk di bangku kelas 8 SMP. Garda terkena masalah sebab dirinya melakukan pelanggaran berat, hanya karena seorang kakak kelas menggoda Varsha sampai menangis.
Kala itu Varsha sempat hampir menerima pelecehan dari seorang kakak kelas cowok yang memang terkenal bandel. Penampilan Varsha yang mencolok, membuat banyak cowok tertarik, bahkan menunjukkan ketertarikan itu secara terang-terangan. Varsha yang canggung mendapat sorotan akhirnya merasa rendah diri dan menutup diri. Ia tak lagi terlalu memperhatikan penampilan semenjak kejadian tersebut terjadi.
Garda waktu itu melempar petasan ke arah kakak kelas yang mengganggu Varsha sepulang dari sekolah. Ia mengikuti kakak kelas itu, saat mereka kebetulan sedang merokok di gang sempit yang jauh dari perkampungan warga. Akibatnya kakak kelas itu mengalami cidera yang cukup fatal. Kasus tersebut diusut oleh pihak keluarga. Dan kedua orang tua Garda dipanggil untuk acara mediasi.
Varsha ingat betul kalau ayah Garda yang dasarnya adalah prajurit TNI dengan sifat keras benar-benar tak kenal ampun dalam memberikan Garda pelajaran. Hal itu sampai membuat hubungan mereka memburuk. Garda tak mau lagi berbicara dengan ayahnya secara langsung, karena menilai ayahnya terlalu egois. Dengan membuat ibunya menjadi boneka saat di rumah dan mendoktrinnya sebagai anak yang penurut setiap saat. Hubungan itu tentunya akan semakin buruk dengan berita di sekolah yang sampai ke telinga ayahnya hari ini.
"Sha!" Ririn menggoyangkan bahu Varsha karena cewek itu terlalu lama bengong.
Varsha mengerjap selama beberapa saat lantas menenggak es jeruk dari gelasnya tanpa sisa. "Aku mau pergi ya, kalian abisin dulu sisanya." Ujarnya tergopoh-gopoh pergi setelahnya.
"Eh, Sha mau kemana? Kalau jalan ke toilet kita anterin. Jangan sendiri, Hei!" Beberapa anak lain nampak hendak melerainya. Tapi Varsha yang dasarnya tak peduli terus pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN KELABU
Teen Fiction[THIRD STORY] Varsha alergi cowok populer yang ganteng dan ramah, bukan karena pick me, ya! Tapi ia memang punya trauma sendiri sama cowok yang telah disebutkan di atas. Hari-hari Varsha terbilang sederhana. Sekolah, pulang, belajar, main sama teme...