Timpangnya Neraca Keadilan

0 0 0
                                    

Nama Penulis : Daisy Felicia
Asal Komunitas : Generation De Lecteurs
Judul Cerpen : Timpangnya Neraca Keadilan
___________________

Bima yang hari ini sedang libur pun memutuskan untuk berjalan-jalan tanpa tujuan, sekadar berkeliling menikmati udara pedesaan yang membuat perasaannya jauh lebih baik. Sawah-sawah yang membentang luas juga suara gemercik air sungai, memperkuat kesan pedesaan yang belum terjamah berbagai polusi.

Bima menghentikan langkahnya tatkala menyaksikan sesuatu yang cukup mengganggu. Beberapa meter di depannya, terdapat sepasang suami istri yang masih memakai caping didorong dengan kencang oleh beberapa pria berbadan besar. Penasaran, Bima pun melihat lebih dekat.

“Pak Budi, semua warga di sini sudah setuju untuk menjual hasil panen mereka ke Juragan Wiro! Tinggal kamu saja yang masih membantah,” ujar salah seorang pria itu dengan nada yang cukup tinggi.

Sembari memegang pundaknya yang terasa cukup sakit, Pak Budi perlahan bangkit dengan sesekali meringis. “Setidaknya naikkan harga jual itu. Kalau begini, saya tidak balik modal, Pak.”

Salah seorang pria tadi tersenyum miring, meremehkan. “Dibeli saja masih untung. Kalau tidak, mau makan apa kamu?” tanyanya. “Cepat tanda tangani surat perjanjian ini! Kalau tidak, akan saya laporkan ke Juragan.”

Mau tidak mau, Pak Budi pun menandatangani surat tersebut. Ia yang hanya masyarakat kelas bawah, mana mungkin dapat melawan seorang juragan kaya raya.

***

Bima meminum kopinya yang sudah dingin dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian yang ia saksikan tadi pagi. Bahkan, suasana ramai di warung tersebut pun tidak dihiraukannya.

“Bim, dari tadi melamun terus. Kenapa?” Roni bertanya sembari memakan kuacinya.

“Benar, tuh, kata Roni. Kamu ada masalah, Bim?” timpal pria lainnya yang sedari tadi asyik menonton sepak bola di layar kaca.

“Kalian kenal Juragan Wiro enggak?” Bukannya menjawab kekhawatiran kedua temannya, Bima malah mengajukan sebuah pertanyaan.

Mendengar pertanyaan Bima, sontak saja mereka mengangguk. “Siapa, sih, yang enggak kenal sama si Juragan Kikir itu? Kayaknya semua warga di desa ini kenal, deh.” Masih dengan memakan kuaci, Roni kembali menyuarakan pendapatnya. Bima mengangguk, membenarkan pernyataan tersebut. Faktanya, Juragan Wiro memang sangat terkenal karena kekayaan yang dimilikinya. Tidak hanya di desa tersebut, namanya juga dikenal oleh warga desa seberang.

“Tadi pagi, aku lihat bawahan dia lagi maksa para warga buat jual hasil panen dengan harga murah ke Juragan Wiro." Bima memulai ceritanya. "Padahal, kan, kebutuhan sehari-hari lagi naik," lanjutnya sembari mengupas kulit kuaci.

"Bukannya dari dulu memang begitu? Kok, masih kaget aja." Kali ini Aji bersuara. Ucapan tersebut langsung disetujui oleh yang lainnya.

"Dulu-dulu enggak separah ini, 'kan? Ditambah lagi, cuaca lagi enggak bagus. Banyak hasil panen yang gagal," jawab Bima sembari mengetukkan jari-jemarinya di meja. "Kalian ... enggak kasihan?"

"Kalau ditanya soal kasihan atau enggak, kayaknya udah jelas jawabannya, orang tuaku juga salah satu korban dari keegoisannya. Akan tetapi, kita bisa apa, Bim? Kita cuma rakyat biasa yang enggak punya koneksi sama sekali," jawab Roni sembari menyeruput kopi pahitnya.

"Mau sampai kapan kalian semua diam? Kalau enggak ada yang ngelawan, seterusnya akan seperti ini, desa kita diperbudak oleh orang yang lebih memiliki koneksi." Bima berujar dengan suara pelan, takut menyinggung orang-orang yang berada di warung tersebut.

Mereka yang ada di sana bertatapan satu sama lain. Suasana pun hening beberapa saat. "Kalau mau mengurus masalah ini, silakan, tetapi kami enggak bisa membantu. Lebih baik diperbudak oleh orang-orang kaya dibanding hidup terlantar di luaran sana."

***

Bima ialah pria yang memegang teguh keputusannya. Semalaman ia memantapkan diri untuk benar-benar menyudahi ketidakadilan ini, apa pun konsekuensinya nanti. Langkah awal yang terlintas di pikirannya adalah melaporkan peristiwa ini kepada pihak yang berwajib.

Pria itu mengelap sepeda usangnya yang sudah ditinggali oleh debu. Ia berencana akan menaiki sepeda tersebut untuk pergi ke kantor polisi yang berjarak kurang lebih 20 Km dari desanya. Selain jarak yang cukup jauh, jalan yang akan dilewatinya pun berkelok dan tidak diaspal. Mungkin itulah alasan mengapa tidak ada kendaraan umum yang beroperasi di desa tersebut.

Berbekal beberapa roti dan air mineral, Bima mulai mengayuh sepeda itu dengan kecepatan sedang. Di sepanjang perjalanan, ia menjumpai banyak petani yang sudah ada di sawah, padahal jam masih menunjukkan pukul 5 pagi. Melihat hal tersebut, semangat di hati Bima semakin terbakar. Pria itu yakin jika keputusan yang diambilnya adalah benar. Ia juga yakin perjuangannya ini tidak akan sia-sia begitu saja.

Beberapa jam sudah berlalu, sang matahari tidak lagi malu menampakkan diri. Bima yang merasa sudah capai pun memutuskan beristirahat sejenak. Pria itu duduk bersandar di bawah pohon rindang yang mampu menghalanginya dari terik matahari.

Bima membuka botol minumnya, menghabiskan seperempat air di botol tersebut. Merasa masih gerah, ia mengipaskan topi yang dipakainya di depan wajah. Berkali-kali Bima juga menyeka keringat yang bercucuran di dahinya tersebut. Tidak lupa, ia juga memakan roti yang dibawanya, mengganjal perut yang sedari tadi sudah berbunyi. Setelah dirasa cukup, pria tangguh itu kembali memancal sepeda ontelnya.

Bima terus mengendarai sepedanya dengan semangat, meski medan yang dilaluinya cukup berat. Ia tidak gentar, menurutnya, keadilan harus tetap ditegakkan walau perjuangannya begitu melelahkan. Setelah berkendara berjam-jam lamanya, akhirnya Bima sampai di jalan besar yang tampak mulus teraspal.

"Akhirnya .... Terima kasih, Tuhan," gumam Bima dengan seulas senyum. Meski tubuhnya lelah, pun badannya basah oleh keringat, tetapi ia begitu bahagia saat ini.

Tidak ingin membuang-buang waktu, Bima bergegas menuju kantor polisi yang berada tidak jauh dari tempanya saat ini. Di sepanjang jalan, senyumnya tidak luntur sama sekali. Ia merasa ada harapan besar untuk kampungnya. Ketika sudah sampai di depan kantor polisi, pria itu segera memarkirkan sepedanya dan langsung masuk ke dalam. Di dalam, ia disambut oleh beberapa polisi yang bertugas.

"Selamat siang, Dek. Ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang polisi yang bernama Pak Darno.

Bima pun menceritakan apa yang sudah dialami warga desanya selama ini. Bagaimana mereka diperbudak, diperas, bahkan diancam. Ia menceritakan secara rinci tanpa kurang satu peristiwa pun. Setelah bercerita, Bima diminta mengisi formulir laporan oleh para polisi tersebut.

"Baik, Dek. Ditunggu dulu, ya, akan kami proses secepatnya."

Mendengar hal tersebut, sontak saja Bima mengucap syukur. Perjuangannya tadi tidaklah sia-sia, begitu pikirnya. Dengan senyum semringah, ia duduk di ruang tunggu kantor tersebut. Selang dua puluh menit, datanglah seorang pria berkaca mata hitam yang mengangkat dagunya dengan congkak. Tanpa mengucap permisi atau salam terlebih dahulu, pria tersebut langsung duduk di hadapan polisi.

"Saudara Bima, silakan duduk di sini," titah Pak Darno, mempersilakan Bima untuk duduk di samping Juragan Wiro, pria yang baru saja datang.

"Tujuan kami memanggil Bapak ke sini karena ada laporan bahwa Bapak melakukan tindak pemerasan dan pengancaman di Desa Flores. Benarkah demikian?" Pak Darno memulai percakapan secara langsung, tanpa basa-basi.

"Itu bohong. Mereka menjual hasil panennya secara sukarela ke saya, tanpa paksaan dalam bentuk apa pun." Juragan Wiro menjawab tuduhan tersebut dengan tenang, tidak merasa bersalah sama sekali. "Lagi pula, enggak ada bukti apa-apa, 'kan? Bapak percaya dengan anak yang baru lahir kemarin sore seperti dia?" Kali ini suara Juragan Wiro sedikit meninggi, ia pun menatap Bima dengan tajam.

"Saudara Bima, apakah ada bukti yang memperkuat tuduhan tersebut"

Bima menggeleng pelan. "Enggak ada bukti, Pak, tetapi saksinya satu desa," jawabnya tanpa ragu.

Pak Darno menutup buku catatannya dan bangkit dari duduk. "Maaf, Saudara Bima. Jika tidak ada bukti, maka kasus ini tidak bisa kami proses. Silakan keluar. Apabila sudah mendapat bukti yang kuat, Anda boleh kembali melapor."

Bima termangu cukup lama. Ia tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. Merasa sudah tidak ada harapan, Bima pun mengucapkan terima kasih dan bergegas pergi dengan langkah gontai. Sedih, kecewa, dan benci. Kurang lebih seperti itulah perasaannya saat ini. Bahkan saat mengendarai sepeda pun, pria itu bagai orang yang tidak memiliki gairah hidup, tatapannya juga kosong ke depan.

Hingga tanpa sadar, sebuah mobil datang dari arah berlawanan. Jika saja pengemudi mobil tersebut tidak segera mengerem, mungkin Bima sudah tertabrak saat itu juga. Sadar akan kebodohannya, pria itu segera turun dari sepeda dan menghampiri pengemudi mobil tersebut. Bima mengetuk sebentar jendela mobil itu, dan beberapa saat setelahnya turunlah seorang pria berkemeja abu-abu yang berusia sekitar 30 tahun.

"Maaf, Mas, saya melamun tadi. Enggak sadar kalau ada mobil," ujar Bima dengan sedikit tergesa.

Pria tersebut tersenyum tulus, jarang-jarang di kota besar seperti ini ada orang yang mau meminta maaf seperti itu. "Iya, tidak apa-apa, Dek. Kelihatannya kamu lagi banyak masalah, ya, sampai melamun seperti tadi? Ayo, duduk dulu! Enggak baik kalau mengendarai sepeda dengan keadaan seperti ini," ajak pria itu sembari menarik lengan Bima untuk duduk di salah satu bangku taman.

"Perkenalkan, saya Zidan. Adek sendiri siapa dan dari mana?" Bukan tanpa alasan Zidan bertanya demikian. Pasalnya, mulai dari sepeda dan pakaian yang Bima kenakan sangat jauh berbeda  dengan budaya kota.

"Saya Bima, Mas, dari Desa Flores."

"Wah, Desa Flores, ya? Kebetulan saya ada rencana untuk ke sana, tetapi belum terwujud sampai sekarang," ujar Zidan dengan tawa kecil di ujung kalimat. "Kamu ada urusan apa ke sini? Setahu saya Desa Flores itu jauh dari kota, jalannya juga sulit untuk dilalui."

"Saya dari kantor polisi, Mas," jawab Bima dengan ragu-ragu.

Zidan tampak cukup terkejut, tetapi pria itu langsung menormalkan kembali mimik wajahnya. "Kamu ada keperluan apa di kantor polisi?"

Dengan sedikit ragu, Bima pun menceritakan semuanya. Mulai dari tindakan Juragan Wiro hingga dirinya yang diusir dari kantor polisi karena tidak membawa bukti apa pun. Zidan menatap pria di depannya dengan sendu, merasa kasihan dengan apa yang menimpanya. Jauh-jauh datang ke kota dengan harapan yang besar, malah tidak mendapat keadilan yang seharusnya diperoleh.

"Kamu bisa mengendarai motor?" tanya Zidan secara tiba-tiba dan keluar dari topik yang sedang dibahas.

"Bisa, Mas."

"Saya ikut ke desamu, ya, tetapi kita naik motor saja agar cepat sampai. Kebetulan saya punya." Usai mengatakan hal tersebut, Zidan mengetik sebuah pesan singkat yang entah ditujukan oleh siapa.

"Mas, sepeda saya ...?"

"Tenang saja, sepedamu aman di sini. Sudah saya titipkan ke teman saya, kok.”

***

Setelah beberapa jam berkendara, sampailah keduanya di Desa Flores. Tanpa beristirahat sama sekali, Zidan meminta Bima untuk mengantarkannya ke gudang miliki Juragan Wiro. Tebakannya benar, di sana dipadati oleh warga desa yang sedang mengantre untuk menjual hasil panennya.

Zidan membuka tas yang dibawanya dan mengambil satu kamera yang memang telah dipersiapkan. Pria itu memotret beberapa gambar, mulai dari transaksi penjualan, wajah-wajah bawahan Juragan Wiro, dan masih banyak lagi.

"Kenapa Mas mengambil gambar mereka?" tanya Bima yang sedari tadi hanya diam menyaksikan perilaku pria tampan di depannya.

"Saya jurnalis, Bima."

***

Keesokan paginya, Bima yang sedang beristirahat dikejutkan oleh suara bising dari luar rumahnya. Dengan mata yang setengah terpejam, pun pikiran yang masih linglung, pria itu membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Pemandangan di luar rumah tersebut sukses membuat kedua mata Bima terbuka lebar, membelalak.

"Itu Bima!" teriak salah satu orang yang bahkan tidak dikenal olehnya. Seusai orang tersebut berteriak, para wartawan yang berjumlah lebih dari dua puluh orang itu pun sontak saja mengerubungi Bima yang masih mencerna kejadian ini.

"Bima, bisa diceritakan kronologinya?"

"Bima-Bima, kamu kok bisa berjuang segigih itu, sih? Alasannya apa?"

"Kamu kenal Mas Zidan Mangkubumi dari mana, Bima?"

Dari banyaknya pertanyaan, tidak satu pun yang Bima jawab. Pria itu malah fokus menatap Zidan yang sedang berjalan menghampirinya dengan seulas senyum. Di belakang Zidan, tampak pula beberapa warga desa termasuk Pak Kepala Desa.

Ketika sampai di depan Bima, Zidan menepuk punggung remaja itu sembari berkata, "Bima, Juragan Wiro dan seluruh anak buahnya sudah ditangkap. Saya pastikan mereka semua dijatuhi hukum yang setimpal dengan tindakan kejinya."

"Terima kasih, Mas, terima kasih banyak. Saya enggak tahu bagaimana jadinya kalau enggak bertemu dengan Mas Zidan." Bima menyalami tangan Zidan dan menciumnya sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih.

"Ini buah dari perjuanganmu, Bima. Berkat inisiatifmu, Desa Flores bisa kembali damai dan tidak lagi berada di bawah tekanan," jawab Zidan dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya. "Itu semua berkatmu," ulangnya.

"Betul, Nak Bima. Kami warga Desa Flores mengucapkan banyak terima kasih. Jika kamu tidak berinisiatif, mungkin selamanya kita akan diperbudak oleh Juragan Wiro."

Dengan mata yang berair, pemuda itu perlahan bersujud sebagai bentuk rasa syukurnya terhadap Tuhan. Dalam sujudnya, Bima berbisik, "Ya Rabb, terima kasih."

Para warga bahkan Zidan pun ikut bersujud untuk merayakan kemenangan ini. Tak ingin menyia-nyiakan momen, wartawan yang hadir pun berlomba-lomba memotret adegan yang penuh haru tersebut. Pada akhirnya, pemeran jahat selalu berakhir sia-sia. Tokoh utamalah pemenangnya. Seperti halnya dengan Bima Dewangga, anak yatim piatu yang mau berjuang dengan gigih demi keadilan desanya.

Event Cerpen KOALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang