One of These Nights

196 27 0
                                    

Kurang dari lima belas menit, Irene tiba di sebuah gedung apartemen yang masih berada dalam kawasan Cheongdam-dong. Dia sebenarnya bisa sampai lebih cepat seandainya jalanan tidak padat. Setelah resmi berpacaran, Junmyeon yang awalnya tinggal bersama orang tuanya memutuskan pindah ke apartemen yang berdekatan dengan agensi Irene untuk memudahkan mereka bertemu.

Perkara takut ketahuan, Irene memang lebih nyaman berduaan di apartemen atau berkeliling kota dengan mobil. Di hari-hari penting seperti perayaan hari jadi, Junmyeon biasanya mereservasi restoran yang memberi ruang privat dengan penjagaan yang ketat.

Bohong jika Irene tidak mengimpikan berkencan di ruang terbuka seperti pasangan lain yang kebanyakan menghabiskan akhir pekan dengan piknik romantis ke taman atau pantai. Namun, inilah harga yang mesti ia bayar sebagai seorang selebritas. Tidak memiliki kebebasan atas hidupnya sendiri.

"Aku sangat merindukanmu, Sayang." Junmyeon menyambut Irene dengan sebuah pelukan.

Kehangatan yang menyapa Irene seketika meruntuhkan segenap resah yang membelenggu sejak meninggalkan gedung agensi, maka ia membalas pelukan Junmyeon lebih erat dan berhasil menciptakan senyum di wajahnya. "Aku lebih rindu, Sayang."

Sambil merangkul Irene, Junmyeon membawanya melintasi ruang tamu. Nikmat aroma daging yang dipanggang membelai penciuman Irene.

"Tunggu sebentar, aku sedang menyiapkan santapan malam kita," kata Junmyeon menghampiri dapur yang berada di balik dinding kaca di sudut kiri apartemen.

Lambung Irene langsung bersorak. Matahari baru saja menghilang di bawah cakrawala dan ia belum benar-benar dikatakan makan sejak siang. Dia hanya sempat menyantap macaron pemberian penggemar yang sudah menunggunya di depan gedung agensi dan segelas es kopi yang disponsori oleh Direktur Heo.

Setibanya di kitchen island, Irene dibuat tercengang saat menemukan dua piring steik yang sudah tertata lezat dengan ditemani gelas bening bertangkai. Junmyeon yang datang bersama sebotol minuman anggur kemudian menarik salah satu kursi, tersenyum sambil mempersilakan Irene duduk.

Hati perempuan mana yang tidak kelepek-kelepek mendapat perlakuan manis begitu. Maka sebelum mendaratkan duduknya, Irene menggantungkan kedua lengan di leher Junmyeon dan mengecup bibirnya. Merasakan kelembutan yang selalu ia rindukan.

"Sepertinya aku dalam masalah," ungkap Irene sontak membuat kening Junmyeon mengusut. "Pacarku terlalu sempurna, dia bahkan lebih unggul dalam hal memasak ketimbang aku."

Junmyeon tertawa memperlihatkan deretan giginya yang apik, "Itu bisa menjadi tugasku kalau kita menikah nanti."

Irene tertegun, tubuhnya membeku sementara ia bisa merasakan tangan Junmyeon melingkar di pinggangnya. Iris cokelat kehitaman milik lelaki itu melekat di matanya.

"Aku tahu ini terlalu tiba-tiba, tapi aku serius dengan hubungan kita. Aku ingin menikahimu, Irene," kata Junmyeon tulus sebelum memiringkan wajah menemui bibir Irene dengan cumbuan lembut dan basah.

Beberapa detik berlalu dalam kenikmatan. Irene sendiri tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas lumatan Junmyeon. Sesuatu seperti meledak-ledak dalam dirinya saat membiarkan sentuhan Junmyeon menjalari tubuhnya yang hanya berlapis kaus putih, sedangkan blazer hitam yang ia kenakan saat datang telah ia tanggalkan di sofa.

Atmosfer semakin panas dan lembab. Dalam pejam, Irene merasakan Junmyeon menuntunnya menuju ruangan lain. Dia segera menjauhkan wajah, menjejali udara sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya yang mengempis.

"Apa ini hidangan pembukanya?" tanyanya dengan bisikan yang cukup menggoda.

"Kalau kau tidak keberatan, Sayang," sahut Junmyeon, mimiknya persis seorang yang haus akan sesuatu.

Kamu akan menyukai ini

          

Tampaknya lambung Irene harus mengalah dengan sesuatu dalam dirinya yang lebih menginginkan belaian Junmyeon, maka ia kembali memejamkan mata. Sepenuhnya menyerahkan raga untuk sang terkasih. Pintu terdengar ditutup dan Irene membiarkan hasratnya melebur bersama Junmyeon.



Denting ponsel membangunkan Irene dari tidurnya. Dia mengulurkan tangan mengambil benda itu di atas nakas. Junmyeon yang juga terlelap di sampingnya segera menggeliat ketika cahaya dari layar berhasil mengusik. Sudah lewat pukul sembilan dan Manajer Song mengingatkan Irene untuk tidak pulang larut malam. Saat berpamitan di agensi tadi, ia beralasan hendak mengunjungi ibunya yang kini bermukim di Yongsan.

"Ada apa, Sayang?" Suara Junmyeon terdengar serak.

"Sepertinya aku harus bergegas. Manajer Song sudah menghubungiku karena besok jadwalku dimulai pagi-pagi sekali."

"Kupikir malam ini kau akan menginap."

Tubuh Irene kembali direngkuh. Dia merasakan deru napas Junmyeon di kulit punggungnya. Irene memang sudah beberapa kali menginap, biasanya saat libur Chuseok atau ketika diberi waktu istirahat beberapa hari oleh agensi. Tentu saja dengan alasan ia pulang ke rumah ibunya. Namun, kali ini tampaknya sulit.

Dia berbalik dan mencium kening kekasihnya seraya berkata, "Semua anggota ada di dorm sekarang, kalau hanya aku yang tidak pulang mereka akan curiga, sementara mereka tahu aku hanya ada pertemuan di agensi hari ini, tidak ada jadwal lain."

Junmyeon akhirnya mengangguk bersama helaan napas, "Biar kupanaskan dulu makan malam kita yang sempat tertunda, setelah makan baru kuantar pulang."

"Aku bawa mobil kalau kau lupa."

"Aku juga bisa mengendarai mobilmu kalau kau tahu."

Irene memelototi Junmyeon, tapi lelaki itu segera mendekapnya. "Aku masih ingin bersamamu, Sayang. Aku bisa pulang naik taksi setelah mengantarmu."

Memang tidak ada ruginya membiarkan Junmyeon mengantar pulang. Sistem keamanan di apartemennya juga termasuk yang paling aman di lingkungannya. Irene hanya perlu berhati-hati agar tidak sampai ketahuan anggotanya. Maka seusai mengisi lambung dan merapikan penampilannya yang acak-acakan akibat kegiatan tadi, mereka bertolak hampir pukul setengah sebelas.

"Kapan kita bisa bertemu lagi?" Junmyeon membuka pembicaraan di sela perjalanan.

"Belum bisa kupastikan. Kami mulai sibuk mempersiapkan tur konser. Agensiku juga sudah mengambil proyek drama untukku, jadi aku mungkin akan lebih sibuk dari biasanya," tutur Irene.

Raut Junmyeon melesu seiring memutar stir untuk berbelok ke kanan jalan.

"Tenang saja, aku tetap bisa curi-curi waktu menemuimu," tambah Irene, berusaha menghibur.

"Sebenarnya aku ingin mengundangmu makan malam di rumah orang tuaku." Ucapan Junmyeon sontak membuat tenggorokan Irene kesat. "Aku ingin sekali mengenalkanmu pada mereka. Kalau kau tidak keberatan, tolong luangkan salah satu malammu untukku."

"Aku sangat senang kau ingin mengenalkanku ke orang tuamu, tapi sepertinya sulit melakukannya dalam waktu dekat, Sayang," kata Irene hati-hati, takut menyinggung perasaan kekasihnya.

Junmyeon meraih tangannya dan menggenggam erat meski padangannya fokus ke jalan. "Aku serius ingin menikahimu, Irene. Aku ingin kau menjadi istriku, ibu dari anak-anakku nanti."

Sebagai perempuan normal, Irene tentu menginginkan sebuah pernikahan. Membayangkan hidup seatap bersama lelaki yang dicintai dengan anak-anak yang lucu dan menggemaskan saja sudah membuat hatinya mekar. Namun, angan-angan itu masih terlampau jauh di depan. Masih ada kontrak beberapa tahun dengan agensi. Masih ada keinginan untuk bersinar bersama rekan-rekan grupnya. Berat untuk merelakan karirnya karam ditelan sebuah ikatan suci pernikahan.

"Aku juga, Junmyeon, tapi tidak segampang itu. Tolong mengerti pekerjaanku."

"Aku mengerti, Sayang." Junmyeon menoleh sekilas, menunjukkan sinar matanya yang penuh harapan. "Kita bisa menjalaninya pelan-pelan dimulai dengan mengenalkan hubungan kita ke keluarga masing-masing."

Irene manggut-manggut, "Itu ide yang bagus, tapi bersabarlah dulu. Agensi baru saja memberiku kesempatan kembali berakting. Aku takut akan ada rumor kalau hubungan kita sampai diketahui yang lain dan itu tidak akan bagus untuk proyek dramaku mendatang."

Suasana berubah senyap. Junmyeon menarik tangannya kembali ke kemudi. Irene paham kekasihnya sedang mencoba menunjukkan ketidaksenangannya, maka ia berinisiatif menggenggam tangan Junmyeon lagi.

"Maafkan aku, kuharap kau bisa mengerti kali ini," ujarnya lemah lembut.

Namun, Junmyeon hanya mengangguk dalam diam. Irene pun tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berharap kekecewaan lelaki itu bisa menguap seiring berjalannya waktu.

____

No One KnowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang