TL : 14. Flashback

389 77 16
                                    

Abikara merenung seorang diri di dalam wismanya, saat ini dia sedang bergelut dengan pikiran juga hatinya mengenai suatu hal.

"Bagaimana ini? Raka Wistapati dan Nyi Dahayu sudah membuat rencana licik untuk menghancurkan Pajajaran." Abikara bergumam dalam hati.

Tadi, gurunya yaitu Nyi Dahayu datang ke kerajaannya dan meminta mereka untuk berbicara serius.

Abikara tau, kedatangan Nyi Dahayu ke sana pasti memiliki maksud tertentu. Dan dugaannya benar. Ketika mereka sudah mulai berdiskusi, gurunya itu kembali meminta mereka untuk membiarkan para golongan hitam membantu mereka. Atau lebih tepatnya, memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan balas dendam mereka.

Namun kali ini ada yang berbeda, Nyi Dahayu merencanakan siasat lain. Apabila ada kemungkinan jika rencana utama yang mereka siapkan akan gagal.

Abikara merasa buntu, dia memang sengaja ikut dalam perundingan kakak dan gurunya itu untuk mengetahui rencana mereka untuk menjatuhkan Pajajaran.

"Aku harus apa?" Tak pernah sekalipun Abikara merasakan perasaan seperti ini. Gelisah dan takut menyerbu dirinya, sehingga dia tidak tau harus bagaimana menyikapinya.

Karena biasanya, dia akan menganggap peperangan yang selalu dimulai oleh Rakanya itu akan dimenangkan oleh kerajaan Pajajaran. Namun entah kenapa, perasaan Abikara saat ini mengatakan hal lain?

Kemudian mata yang biasa menampilkan sorot dingin itu menatap dinding wismanya dengan penuh keyakinan,
"Tak ada pilihan lain, aku harus memberitahukan hal ini pada Kian Santang."

Jika memang tak ada cara lain untuk membuat Pajajaran kembali memenangkan peperangan ini, Abikara harus memberitahukan rencana mereka pada anggota Pajajaran.

Supaya Kian Santang dan yang lain membuat rencana yang dapat memutar keadaan.

Dia tidak perduli, jika perbuatannya akan mendapat murka dari guru maupun kakaknya. Dia hanya melakukan apa yang ingin dia lakukan, meskipun keluarganya menentang tindakannya.

...........

Ketika Subang Larang melihat kehadiran putra bungsunya, dia segera memanggilnya membuat Kian Santang yang ingin pergi ke halaman belakang berhenti.

"Ada apa ibunda?" Kian Santang menatap ibunya dengan bingung ketika dia telah berhadapan dengan Subang Larang.

"Apakah kau sedang sibuk, nak?"

Kian Santang menggeleng,
"Tidak ibunda. Memangnya kenapa?"

"Ada yang ingin ibunda berikan padamu." Kening Kian Santang mengkerut.

"Apa itu ibunda?" Tanya Kian Santang dengan rasa penasaran.

"Ayo, sekarang kita ke wisma ibunda. Ibunda meletakkannya di lemari." Kian Santang hanya mengangguk paham sembari mengikuti langkah ibunya.

Ketika anak dan ibu itu sudah sampai di wisma Subang Larang, istri kedua Siliwangi itu mulai membuka lemarinya dan mengambil sesuatu dari dalam.

Subang Larang membawa sesuatu di tangannya ke hadapan putra bungsunya,
"Ibunda membuatkanmu penutup kepala. Lihatlah."

Subang menyodorkan kain hasil buatannya pada Kian Santang yang langsung diterima oleh sang empu.

"Kapan ibunda membuatnya?" Seingatnya, tak sekalipun dia melihat Subang Larang menyelesaikan jahitannya. Lantas, kapan ibunya itu menuntaskan pekerjaan ini?

"Tiga hari yang lalu. Setiap malam, ibunda meluangkan waktu membuatkan penutup kepala untukmu putraku." Jawab Subang Larang sembari tersenyum hangat.

"Kenapa ibunda repot-repot? Ibunda bisa sakit jika tidak beristirahat." Kian Santang merasa kurang setuju dengan apa yang dilakukan oleh Subang Larang.

Raden Kian Santang -Two Lives-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang