"Inara mau nikah sama Naka, kan?" tanya Leo pada putri tersayangnya itu.
Inara menatap sang ayah dengan bingung. "Aku emang pengen terus sama-sama sama Kak Naka, tapi bukan berarti aku mau jadiin dia suamiku, Papa," ucap Inara santai.
"Tapi kalau seandainya dia ngelamar kamu, kamu mau, kan?" tanya Leo sekali lagi.
Inara mengangguk pelan. "Lagian siapa yang gak mau sama Kak Naka, coba? Udah baik, ganteng, mapan, bertanggung jawab lagi. Pokoknya paket lengkap, deh!" ucap Inara tersenyum kecil.
"Kamu suka gak sama Naka?"
"Suka, sebagai Kakak," jawab Inara sembari terus melanjutkan makannya.
"Kalau sebagai pasangan, suka?" tanya Leo lagi membuat Inara benar-benar jengah.
"Maksud Papa nanya gitu buat apa, sih? Iya, aku cinta sama Kak Naka. Terus kenapa?" tanya Inara yang akhirnya jujur juga.
"Tapi kayaknya Kak Naka udah punya pasangan, kau liat ada cincin di jari manisnya. Siapa tau dia udah nikah, kan? Jadi lebih baik aku pendem aja perasaan aku buat dia," ucapnya dengan penuh kedewasaan.
"Tapi kalau Papa bisa bikin kalian bersatu, apa Inara akan bahagia?" tanya Leo membuat Inara terdiam.
"Jangan ngomongin hal yang mustahil, Pa. Aku gak mau jadi perusak hubungan Kak Naka sama pasangannya," ucap Inara kemudian memilih menyudahi kegiatan makannya karena sudah tidak berselera.
Leo memandang kepergian sang putri dengan helaan napas kasar. Pria itu tidak akan menyerah untuk mendekatkan putrinya dan juga Naka. Naka sangat membawa pengaruh besar bagi kesehatan putrinya, maka dari itu Leo ingin mereka menikah dengan harapan putrinya bisa benar-benar sembuh total.
Ia akan mencari tau apakah Naka benar-benar sudah memiliki pasangan atau belum. Kalaupun sudah ada, akan Leo usahakan menghancurkan hubungan mereka agar Naka bisa bersama dengan Inara.
Terdengar gila, tapi beginilah kenyataannya. Leo tidak menerima kekalahan ataupun kegagalan, apapun yang ia inginkan harus didapatkan meski menggunakan cara kotor sekalipun.
***
"Kamu demam, kenapa memaksa untuk memasak?" tanya Naka pada perempuan yang saat ini tengah ia pangku usai kedapatan hampir terjatuh ketika membantu bi Tina memasak. Setelah di cek, ternyata suhu tubuhnya tinggi.
Marsya mengalungkan kedua tangannya di leher Naka dan memejamkan matanya sejenak. "Jangan marah-marah, kepala aku makin pusing kalau kamu marah," ucapnya pelan.
"Bi, nanti tolong bawain air hangat sama handuk kecil buat kompres, ya. Saya tunggu di kamar," ucap Naka pada sang art.
"Iya, Mas. Nanti Bibi bawakan ke atas,"
Naka menatap Marsya yang kini kembali memejamkan matanya. Lelaki itu menghela napas kemudian menggendong sang istri dan membawanya ke kamar mereka. Baru bangun tidur tadi Hana menanyakan kondisi sang menantu, dan sekarang ternyata istri kecilnya itu demam. Sepertinya Hana benar-benar sepeka itu pada Marsya.
Hana sedang berada di luar kota, jadilah dia tidak bisa mengunjungi putra dan menantunya saat ini.
"Saya ini dokter, apa susahnya bilang ke saya kalau kamu ada keluhan?" tanya Naka usai meletakkan Marsya di kasur.
"Kamu dari semalem kayak ngejauhin aku, aku takut ngadu ke kamu," ucap Marsya begitu kecil.
Naka terdiam dan seketika merasa bersalah pada perempuan itu. Ia ikut berbaring di samping Marsya dan memeluknya erat.
"Maafin saya, ya. Saya gak bermaksud jauhin kamu, kok. Kemaren saya terlalu capek, enggak sama sekali bermaksud cuekin kamu," ucap Naka dengan lembut.
Marsya mengangguk kecil kemudian semakin mengeratkan pelukannya sampai leher Naka terasa panas karena bersentuhan dengan keningnya. Bahkan hembusan napasnya di dada Naka pun terasa panas.
"Demamnya pindah ke kamu aja, aku nggak suka," ucap Marsya yang sekarang sudah menangis.
Naka terkekeh kecil mendengar ucapan lugu istri kecilnya itu. "Iya, kalau bisa sakit yang kamu rasakan biar saya yang menanggungnya," ucapnya seraya mengecup kening hangat Marsya.
Marsya merengek kecil, kemudian tanpa aba-aba perempuan itu menghantamkan kepalanya ke kepala Naka.
"Hei, kenapa di hantam?" tanya Naka mengusap kening Marsya.
"Biar pusingnya ilang," jawab Marsya enteng.
"Mana ada istilahnya ngilangin pusing di hantam ke kepala orang, Marsya," ucap Naka gemas. Kepalanya tidak sakit, malah ia khawatir kepala Marsya yang tambah sakit.
"Enak, kok. Nyut-nyutan di kepalaku jadi putus-putus gitu," ucap Marsya membuat Naka mengernyit bingung.
"Maksudnya? Putus-putus gimana?" tanya Naka tidak mengerti dengan ucapan Marsya yang tidak mampu dicerna oleh otaknya.
"Nyut-nyutannya jadi konslet gitu, Naka. Kan sebelum aku hantam ke kepala kamu, nyut-nyutannya kerasa banget. Nah, sehabis aku seruduk kepala kamu, nyut-nyutannya jadi dateng sebentar-sebentar," ucap Marsya berbelit.
"Ah, gitulah pokoknya," imbuhnya berharap Naka mengerti.
"Iya-iya, saya ngerti," balas Naka yang akhirnya mengerti walaupun ucapan istrinya itu sangat berbelit dan sulit dipahami.
Tok! Tok! Tok!
"Saya ambil kompres yang di bawa bi Tina dulu, kamu tunggu di sini," ucap Naka mengecup puncak kepala Marsya sebelum beranjak membukakan pintu kamar.
"Ini, Mas. Semoga demamnya Mbak Aca cepet sembuh, ya," ucap Tina mengangsurkan baskom berisi air hangat dan juga handuk kecil di tangannya.
"Aamiin, terima kasih, Bi," balas Naka dengan sopan. Lelaki itu menutup pintu usai melihat bi Tina pamit ke bawah untuk melanjutkan pekerjaannya.
Baru saja meletakkan baskom tersebut di atas nakas, ponsel Naka bergetar menampilkan notifikasi pesan singkat yang ternyata dikirim oleh Leo, ayahnya Inara.
Om Leo : Naka, bisa ke rumah sekarang? Kondisi Inara drop.
Naka terdiam, bimbang pergi ke rumah Leo untuk memeriksa Inara atau merawat istrinya yang sedang sakit juga. Merawat Inara adalah tugasnya dan tanggung jawabnya sebagai seorang dokter, namun merawat Marsya adalah kewajibannya sebagai seorang suami. Sekarang, Naka tidak dapat memilih antara tugas dan tanggung jawab atau kewajiban.
Katakan, Naka harus menjalankan tugas yang mana?
TO BE CONTINUED
CERITA INI DALAM PROSES PENERBITAN
TIDAK AKAN BENAR-BENAR SELESAI KARENA LENGKAPNYA ADA DI NOVEL NANTI🙏🏻
INFO LEBIH LANJUT JANGAN LUPA FOLLOW
WATTPAD : @Maresa17_ (AKUN INI)
INSTAGRAM : @_maresa17
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir (tak) Berjodoh [TERBIT]
Romance[PART MASIH LENGKAP-SUDAH TERBIT] *** Marsya mencintai Naka sepenuh hati, sedangkan Naka membenci Marsya setengah mati. Keduanya menikah karena di jodohkan oleh ibundanya Naka. Marsya yang semula hidup dengan pergaulan bebas, kini berusaha menjadi...