CHAPTER 7 TANDA MULUT

4 1 0
                                    


Daun-daun kering masih saja berjatuhan. Angin berhembus sore itu sedikit dingin. Rian mengelus-elus kepalanya, merapikan rambutnya yang tertiup angin. Ku tatap lagi danau itu, sejuk meski tak seindah dahulu. Langit mendung mulai meneteskan air hujan.

Aku dan Rian segera beranjak. Istirahat dulu saja, pikir kami. Lagi pula, tenggat waktu telah kita sepakati. Biarkan malam ini kita rebahkan lelah tubuh. Memaksakan bukan pilihan yang tepat bukan ?

Baru saja Aku dan Rian yang berbalut jas hujan keluar dari parkiran kampus, sebuah mobil sport berwarna merah memasuki gerbang kampus. Sore menjelang malam ? kegiatan di kampus harusnya sudah berhenti bukan ? Atau dia datang membantu menyusun rekapitulasi ?

Hujan semakin deras, Aku dan Rian terpaksa segera memacu kendaraan untuk pulang ke rumah kami masing-masing. Siapa pemilik mobil mewah itu ? Apa ada petinggi kampus yang baru saja memiliki mobil sport ? Ahh ku pikir ini hanya kecurigaan tak mendasar dipikiranku. Lagipula siapa saya yang berhak menentukan orang mana yang boleh memiliki mobil sport ? Buang jauh-jauh curigamu, waktumu terlalu berharga untuk menilai semua orang, batinku pada diriku sendiri.

***

Aku dan Rian berdiri saling menatap. Qia harus menemui Wakil Rektor Bidang Keuangan hari ini.

"Sekarang bagaimana Rian, telepon Qia tidak bisa tersambung. Apa yang harus kita lakukan ?"

"Kita jemput Qia," jawab Rian singkat.

"Ke tempat pamannya ?"

"Ya tentu saja. Jaraknya kurang lebih 200 kilometer. Jika kita cepat, kita bisa tiba di sini sebelum pukul 17.00. Tak ada pilihan lain, ayo !!!" Rian berseru padaku. Dia telah melangkah beberapa meter di depanku.

Tak butuh waktu lama, ban motor kami sudah menggerus aspal jalan. Sempat ku lirik jam tanganku, pukul 08.40, kami masih punya cukup waktu. Segera ku pacu motorku secepat yang ia mampu, mengejar Rian yang telah berada di depan.

Beruntung bagi kami, kondisi lalu lintas seolah berpihak pada kami. Jalanan lengang tak seperti biasanya. Meski begitu kami tetap harus fokus. Jalan beraspal yang kami lalui tak mulus, efek tambal sulam yang seolah menjadi proyek tahunan. Ku rasa hampir semua kota di Negeri ini mengalami hal yang sama. Jalanan mulus hanya cerita. Kualitas jalan yang baik hanya isi kontrak, selebihnya deal-dealan antara oknum-oknum yang terlibat. Pelaksana tak bisa disalahkan juga sepenuhnya, karena "sistem" yang dibangun memaksa. Belum saja tender berjalan, pendekatan persuasif dengan metode "lama" sudah masif. Pilihan mereka dua, ikut arus atau terlempar dari daftar pemenang.

Matahari perlahan mulai meninggi, kami masih dalam kecepatan yang relatif tinggi. Ku lirik speedometer, 100 km/jam. Desa paman Qia masih terbayang jelas dalam ingatanku. Beberapa waktu lalu kami sempat berkunjung, tepatnya saat menghabiskan waktu liburan akhir semester kala itu.

Desa paman Qia berada di bawah kaki gunung. Tempat yang begitu asri, dimana hidup tak serunyam di kota. Pertama kali kami menginjakkan kaki di desa ini, senyum ramah masyarakat sekitar yang sedang menanam padi langsung menyambut dengan penuh kehangatan. Itu adalah ucapan selamat datang terbaik.

***

"Berapa lama kita di sini ?" kalimat itu terlontar seiring angin sejuk berhembus meniup daun padi yang hijau.

"Beberapa waktu lagi," jawab Qia dengan lugas.

"Aku lihat kau sangat menikmati tempat ini," celetukku sekali lagi.

Kami bertiga duduk menatap hamparan sawah yang hijau, tidak jauh dari kaki gunung. Kami duduk di teras sebuah rumah yang begitu asri, dengan view alam indah nan elok menemani sepanjang mata memandang.

"Ya aku menikmati. Tempat seperti ini selalu mampu membangkitkan energi. Jauh dari bisingnya deru kendaraan seperti di kota, jauh dari polusi udara yang setiap hari menyesakkan dada.

"Setiap hari harus berhadapan dengan orang-orang banyak. Beberapa tampil apa adanya, beberapa yang lain tampil dengan muka yang berbeda.

"Di sana kita sering melihat orang berbicara tentang penyelamatan lingkungan, tetapi berkali-kali pula tandatangannya menyetujui pembalakan hutan. Penuh kemunafikan. Lihat saja banjir bandang yang menghayutkan puluhan orang, memaksa ribuan yang lain untuk mengungsi. Ada saja yang tampak peduli, namun selalu menyetujui perusakan ekologi. Kau tau, hutan dibabat habis tampak jelas di depan mata, namun pemangku kebijakan tampak merasa tak berdosa. Berkali-kali menyatakan "berdamai" dengan alam, namun kapak dan gergaji mesin masih saja menyerang dibantu oleh tinta pulpen yang menggores secarik kertas berstempel," Qia menghentikan celotehannya sejenak. Binar matanya tampak serius mengenang berbagai kejadian. Aku tau dia sangat antusias dalam masalah lingkungan.

"Di sini, di bawah kaki gunung, tempat ini asri. Oksigen tidak perlu berbagai ruang dengan gas beracun di dalam sistem pernafasan. Kau tak melihat pabrik-pabrik mengepulkan asap hitam pekat di sini bukan ?

"Kau lihat sungai yang mengalir di belakang rumah ini ? Airnya jernih tak terkontaminasi hasil-hasil buangan pabrik, atau kasur rusak yang sering hanyut di sungai-sungai kota yang kian hari kian menyempit," Qia melanjutkan sementara aku menyimak tanpa memotong.

Mendengar akan memberi pengetahuan baru ataupun sudut pandang baru atau setidaknya belajar menghargai orang lain, itu prinsip yang ku pegang selama ini .

"Kau bukannya sering mandi di aliran sungai yang kotor itu ?" Rian berseloroh.

"Itu dulu. Bocah mana paham. Sing penting happy bro," Qia mendengus.

"Di sungai ini, aku bahkan berani bertaruh. Lempar kailmu, tunggu beberapa menit ikan akan menyambar," Qia menunjuk sungai di hadapan kami. Kaki kami telah melangkah ke teras belakang rumah.

"Tapi kau tentu tak akan mengajakku untuk bertaruh kan?" aku memastikan.

"Tentu saja tidak. Untuk apa menghabiskan waktu untuk hal yang tak bermanfaat. Lagian aku percaya dosa Rian," Qia tersenyum.

"Aku kira kau akan mengajakku bertaruh seperti orang-orang saat pemilu," Rian tertawa pelan.

"Aku tak sebodoh itu kawan. Kau harusnya sudah paham itu," kata Qia sembari melangkah memasuki ruang dapur rumah. Tantenya telah menyiapkan sarapan.

Paman dan sepupu Qia telah menunggu di meja makan. Kami segera bergabung dalam hangatnya obrolan pagi sembari menikmati sarapan. Kehangatan yang jarang dirasakan oleh anak-anak yang tak sempat bercengkrama dengan orang tuanya dikala pagi. Kesibukan pekerjaan telah merampas satu titik kebahagian dalam keluarga sebagian orang.

***

Gas motorku masih saja berada pada tarikan yang cukup tinggi. Berkilo-kilometer telah kami tempuh. Ku lirik jam pukul 09.25. Tiba-tiba saja lampu rem Rian yang berada di depanku menyala. Ah sial ada razia lalu lintas. Dua orang oknum polisi menghentikan kami. Setelah melirik ke plat motor Rian yang tentu saja menandakan kami berasal dari kota tetangga, dua polisi itu saling bersetatap.

"Selamat pagi. Mohon maaf Pak, boleh tunjukkan surat-suratnya ?" bahasa umum petugas saat razia.

Rian merogeh dompet di sakunya, sementara aku sedikit menggerutu. Bagaimana tidak, di tikungan jalan seperti ini, ada razia tanpa rambu. Bukan perkara lengkap atau tidaknya surat-surat pengemudi, tapi bahaya yang bisa ditimbulkan dari hal-hal semacam ini. Kita disuruh taat rambu lalu lintas, tapi masih saja ada oknum yang tak paham prosedur penggunaan rambu dalam bertugas. Aku kudu piye..'

Setelah beberapa lama berbicara sembari memperhatian kendaraan kami dengan sangat teliti, kami akhirnya dipersilakan untuk melanjutkan perjalanan. Beruntung saja, kami berdua lengkap tanpa ada kekurangan pada kendaraan sehingga sulit "mencari" kesalahan kami.

Waktu menunjukkan pukul 09.45 tatkala ban motor kami mulai menggerus perkerasan jalan bermaterial kerikil khas jalan-jalan pedesaan. Laju kendaraan kami tak lagi secepat saat melintas di aspal jalan. Kerikil lepas tentu tidak bersahabat dengan ban motor kami, salah sedikit malah bisa mengakibatkan ban menjadi selip.Di kiri kanan jalan sawah masih terhampar dengan cukup luas. Warna hijau memanjakan sejauh mata memandang. Awan-awan menutupi langit biru siang itu. Ingin rasanya sejenak berhenti di salah satu gubuk yang banyak di sisi-sisi persawahan, sembari menikmati udara segar. Namun ucapan wakil rektor bidang keuangan pagi tadi membuat kami mengurungkan niat itu. Qia kami datang membawa kabar gembira....

***

SEMANIS GULALIWhere stories live. Discover now