37. Prabu Kana

6 4 0
                                    

Nyatanya kita tidak bisa memaksa untuk selalu dicintai.

* * *


Satu bulan kemudian, aku mulai disibukkan dengan berbagai ujian dan les sore di sekolah. Aku berusaha untuk benar-benar fokus mengejar nilai maksimal agar bisa masuk ke kampus favorit. Aku bahkan sudah berpikir prodi apa yang akan aku ambil. Tentunya yang sesuai minat dan benar-benar bisa menunjang kehidupanku selanjutnya.

Terkait dengan Prabu, aku tetap menyempatkan diri untuk menemuinya. Walaupun obrolan kami berjalan sangat singkat, tapi itu cukup buatku. Seolah beban yang kupikul enam hari sebelumnya terangkat begitu saja hanya dengan bercerita kepadanya.

Bagiku, Prabu masih menjadi sosok misterius. Aku pernah meminta nomor ponselnya, tapi tidak diberikan. Dasar pelit, aku sampai marah dan langsung meninggalkannya waktu itu. Tapi Rabu berikutnya, aku sendiri yang datang dan minta maaf. Sudah kubilang, 'kan? Arini yang ini bukan lagi remaja dengan emosi labil. Walau sesekali memang cepat meledak, tapi aku selalu berusaha berpikir secara dewasa. Jika keseringan marah-marah, seseorang bisa cepat bosan dan berakhir meninggalkan. Dan aku tak mau kalau Prabu sampai melakukan itu.

Aku membangun hubungan ini dengan berani. Karena membiarkan Prabu tahu tentang diriku bukanlah satu hal yang mudah. Bagaimanapun caranya, aku berusaha untuk terus mempertahankan. Baiknya, Prabu juga melakukan hal yang sama.

Sementara di sisi lain, Abhi benar-benar memenuhi keinginanku. Sekarang bukan aku yang harus jaga jarak dengannya. Tapi dia sendiri yang sering menghindariku. Laki-laki baik hati itu memberikan ruang yang begitu kosong dan lapang. Aku bebas berjalan ke semua arah tanpa dihantui rasa bersalah. Karena ini adalah pilihan, maka rasa-rasanya aku memutuskan satu hal yang benar.

Karier mama di butik milik temannya juga berkembang pesat. Setiap hari, mama semakin sibuk saja. Dia memang tidak ada di rumah saat aku pulang sekolah. Tapi malamnya kami selalu bersama. Entah itu menonton film, membuat cupcake, atau sekadar maskeran ala-ala anak muda. Di semua kesempatan bahagia itu, aku berharap papa bisa hadir di tengah-tengahnya. Bukan untuk alasan itu, hanya saja supaya bisa ikut merasakan kebahagiaan yang sama. Saat papa masih ada, dia terlalu sibuk bekerja sehingga sulit menghabiskan waktu bersantai dengan keluarga. Maka dari itu, setiap hari Jumat aku dan mama akan selalu mengunjungi makam papa. Sudah menjadi kebiasaan tak tertulis, siap berdoa kami gantian bercerita.

Berbicara tentang keluarga, wanita tua yang sempat kukutuk keadaannya benar-benar hanya bisa terbaring di rumah. Dia memilih metode berobat jalan, yaitu menjalani pengobatan secara teratur tanpa harus dirawat di rumah sakit. Alasannya dia bosan dan sering kali merasa sedih. Karena disuguhkan fakta bahwa kelakuan buruk akan selalu berpengaruh pada kehidupan kita. Dari obrolan yang sempat kudengar saat berkunjung ke rumahnya bersama mama, dia mulai menyesal dengan semua sikap buruknya. Katanya, ini adalah karma. Ada banyak manusia yang direndahkan olehnya, tapi tak sadar bahwa dia jauh lebih rendah di mata Tuhan. Alhasil, dia menangis dan mama memeluknya waktu itu. Dan kalimat yang kudengar berikutnya, dia ingin meminta maaf kepadaku. Memang belum ada kalimat nyata darinya. Tapi aku yakin wanita tua itu benar-benar menyesal dan malu.

Aku memang tidak berharap apa-apa darinya selain satu hal. Jika hari itu terjadi, aku ingin dia ke makam papa dan mengakui seluruh kesalahannya. Pada pusara yang kering dan dipenuhi banyak bunga, aku ingin dirinya mengatakan kalau papaku bukanlah pria rendahan. Papaku tinggi derajatnya, hanya saja keadaan mengubah segalanya. Jika hari itu terjadi, aku baru merasa tenang.

Tentang ketenangan, hari ini merupakan bagian terdamai dalam hidupku. Bagaimana tidak? Ini hari Rabu, tapi ajaibnya tidak ada kesialan untukku. Aku juga tidak merasa sedih atau harus menahan tangis. Tak sedikit pun kabar buruk sampai ke telingaku.

LostWhere stories live. Discover now