1. Conditional Friendship

9 3 0
                                    

"Lo mau gak gue ajak main? Kalau mau, turutin dulu apa yang gue bilang. Beliin donat di kantin, ntar kembaliannya buat lo deh"

"Eh gue males ke kantin, beliin ya?"

"Ck, ayolah. Kantin gak sejauh itu kok"

"Kerjain pr gue dong, lo kan baik hehe"

"Dikit lagi selesai nih, bantu gue dong nulis"

"Eh lo kenapa duduk sama dia gak bilang gue dulu? Lalu gue duduk sama siapa kalau lo sama dia? Kita teman bukan?!"

"Jangan temanan sama dia ya! Dia fake! Masa bantuin temannya nugas aja gak mau"

Selalu saja begitu, sedari kecil Charmaine menanamkan dalam pikirannya sendiri bahwa berteman itu harus ada syaratnya. Tidak ada pertemanan tanpa syarat.

Suka atau tidak suka, ia harus rela berkorban agar punya teman. Sedih atau marah, ia harus rela menyembunyikannya agar tak dianggap keberatan.

Memang benar apa kata teman masa kecilnya itu, Charmaine disebut fake. Ia tak bisa bersikap jujur pada dirinya sendiri bahwa ia sebenarnya terluka diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya. Ia jadi terbiasa menutup luka dengan rapat dan mengunci mulutnya serta membuang kuncinya sejauh mungkin.

Charmaine ingin terlihat selalu baik-baik saja agar tak ada yang menjauh. Sedikit saja ia menunjukkan bahwa ia tak suka akan sikap temannya, maka ia akan dijauhi satu kelas. Sangat berbahaya, begitu pikirnya.

Hingga ketika menginjak bangku smp, lingkaran pertemanannya pun berubah dan dikelilingi orang yang baru. Semua pun sama saja, ia tak benar-benar nyaman dengan circlenya. Ah, bisakah disebut masuk circle ketika ia bahkan kurang dihargai keberadaannya?

Terlalu lama memendam berbagai macam emosi, suatu ketika Charmaine meledak. Ia menangis dan tanpa sadar bertingkah sedikit kekanak-kanakkan dan meniru apa yang dilakukan teman di bangku sd nya dulu. Ia kebingungan akan bagaimana seharusnya ia bersikap. Akhirnya, pertemanannya pun kembali merenggang.

Singkat cerita, ia pun menjadi semakin menutup diri dan tidak lagi memiliki minat untuk punya banyak teman. Mencari satu yang tulus saja ia kesulitan. Jika di luar ia memang masih welcome ke orang lain, maka jauh dilubuk hatinya ia diam-diam menaruh curiga pada orang tersebut. Berakhir hanya menjadi pendengar, Charmaine hampir tak pernah cerita soal dirinya.

Satu, karena ia tak pernah ditanya.

Dua, karena ia tak percaya orang lain.

Charmaine begitu naif, padahal sudah banyak pengalaman pahit yang ia dapat di masa lalu. Ia sendiri pun tak mengerti bagaimana hal itu bisa terus terulang kembali, dengan orang yang berbeda.

"Gue kurang baik ya?"

"Gue salah dimana lagi sih?"

"Salah gue juga kah kalau sesekali menolak?"

"Gue boleh nolak sesuatu yang sebetulnya gak pengin gue kerjakan gak sih?"

Pertanyaan itu terus berputar tiap malam, menemaninya hingga kelelahan dan berakhir ketiduran setelah menangisi nasib pertemanannya.

***

"Hey! Hati-hati! Lo bisa aja mati tenggelam selangkah lagi!" teriak seorang gadis heboh sembari menarik Charmaine untuk menjauh dari sungai dengan arus deras di depannya.

Dia..tampak seumuran denganku -batin Charmaine.

"Fiuh..hampir saja! Lo ada masalah apa coba cerita, ya walaupun kita gak saling kenal tapi bukankah lebih baik menuangkan keluh kesah bersama orang tak dikenal?" sambung gadis itu lagi panjang lebar.

Terlihat jelas ia baru saja berlari dengan napas ngos-ngosan. Charmaine hampir terkikik pelan kalau saja tidak merasa kasihan dengan ekspresi kelelahan gadis tersebut yang berniat baik padanya.

"Hey, sebentar..sepertinya lo udah salah paham. Gue gak ada niatan buat bunuh diri, gue cuma memandangi gelang gue yang jatoh ke sungai, tadinya memang berniat ambil tapi karena arus airnya deras gue urungkan niat itu" jelas Charmaine masih berusaha menahan tawa.

Mata gadis itu membulat, pipinya sedikit memerah karena malu. Ia telah salah sangka dengan orang asing yang tampak seumuran dengannya.

"Be-benarkah? Ah..begitu ya, maaf karena udah salah paham" ujarnya kikuk.

Charmaine menggeleng pelan "tidak apa-apa, terimakasih sudah berniat untuk menolong" lanjutnya dengan senyum tipis.

Melihat gadis itu mengangguk, Charmaine pun berpamitan untuk pergi. Setelah menghilang dari pandangan gadis tadi, barulah ia menertawakan kejadian barusan. Namun, sedetik kemudian setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Charmaine menghela napasnya perlahan dan mendongak ke atas melihat langit beserta awannya yang masih begitu cerah.

"Ternyata, masih ada yang peduli sama gue" gumamnya dengan tatapan terharu.

"Ah, ngomong apa sih? Ck, jangan berlebihan..sadar Charmaine..siapapun yang ada diposisi lo tadi, orang pasti juga akan menolong walau salah paham sekalipun"

Gadis itu mengalihkan pandangannya pada pergelangan tangannya, menatap sendu sembari berucap "gelangnya..udah gak ada, orangnya juga..udah lupain gue kan?"

Jujur saja, Charmaine merasa sedih karena harus kehilangan gelang pemberian teman sdnya dulu akibat kecerobohannya sendiri. Walau temannya itu sering menyuruh-nyuruhnya, tetap saja Charmaine menganggap ia sebagai temannya. Charmaine jarang diberikan sesuatu, oleh sebab itu ia sangat menghargai pemberian temannya itu.

Awalnya, ia berpikir temannya akan tetap menghubunginya walau sudah berpisah sekolah tetapi kemarin waktu berpapasan dijalan saja begitu disapa, temannya berkata bahwa ia sudah lupa pernah kenal dengan Charmaine. Entah benar-benar sudah lupa atau bagaimana, yang jelas hati Charmaine cukup sakit mendengarnya.

"Akh!" ringisnya mendapati rintik hujan mulai turun dan begitu mendongak ke atas, langit yang semula begitu cerah menjadi sangat gelap dan diselimuti awan mendung yang amat tebal. Seperkian detik, hujan berubah menjadi sangat deras.

Terpaksa, Charmaine harus berlari untuk sampai di rumahnya. Beruntung ia hanya membawa sebuah tas yang tidak terlalu berat karena belum berisi buku-buku pelajaran. Wajar saja, ini dikarenakan Charmaine baru saja sehari berada di bangku SMA. Sekolah baru, ia tak berharap apapun lagi. Termasuk mendapatkan teman yang memperlakukannya tulus. Ia hanya ingin cepat lulus dan bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya.

TaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang