SEQUEL OF 'Astagfirullah, sabrina!'
‼️ baca dulu cerita emak bapaknya, biar paham sama alur. konflik mereka masih berkaitan
.
Tentang sepasang insan yang terjebak dalam perasaan yang mereka buat sendiri.
Ungkapkan atau tetap diam tanpa bersuara. Ha...
Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
Tiga hari berlalu, tidak terasa hari ini mereka akan kembali ke pondok pesantren setelah menghadiri acara festival. Semua berjalan lancar dan mereka bersyukur akan hal itu. Ditambah, banyak pujian yang ditujukan pada mereka setelah kemarin mereka naik ke panggung menampilkan skill hadrah sebagai bentuk pembukaan acara.
Tiga hari yang sangat berkesan.
"Tos dulu dong, tos!" Sakha mengangkat telapak tangannya dan ber tos ria dengan anggota hadrah yang lain sebagai bentuk apresiasi terhadap usaha juga hasil yang mereka dapat.
Tidak berhenti di situ, Sakha kembali mengulurkan tangan kanannya. Paham akan maksudnya, semua mengikuti dengan posisi tangan saling menumpuk dan posisi mereka yang melingkar. Dengan senyum lebar di bibir masing-masing, semua langsung berteriak kencang.
"AHABBARAI'UNJIDDAN, JIDDAN, JIDDAN!"
"Wohoo!"
Arkan juga beberapa ustadz yang lain tertawa melihatnya. Mereka juga ikut memeluk satu persatu santri. "Barakallahu fiikum."
"Gak sia-sia juga kemarin full latihan sampe muka lo pucet, Sakh."
Sakha terkekeh mendengar penuturan Dean. Ia merangkul temannya itu. "Kalian juga usaha ampe engap-engap, bukan cuma gue. Ini karena usaha kita sama doa kita semua," ujarnya sedikit meralat.
"Yoi. Usaha gak akan mengkhianati hasil," sahut Faris yang diangguki yang lain.
"Yaudah, sekarang kita turun. Mobilnya udah nunggu di bawah. Ayo." Ucapan Arkan berhasil mengambil atensi mereka. Semua mengangguk lalu mulai melangkah ke arah lift untuk turun ke lantai utama hotel.
Dengan kacamata yang bertengger di hidung, kaos putih polos yang dibalut outer hitam juga celana putih dan ransel yang tersampir di bahu kanannya Sakha melangkah.
Laki-laki itu menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan lalu mengedarkan pandangan saat sudah tiba di lobi. Ia tersenyum ramah pada setiap orang yang menyapa maupun yang ia sapa.
"Sakh, itu si Gladis, kan?" Abra menepuk bahu Sakha dan menunjuk ke arah satu arah dengan dagunya.
Abra, bahkan teman yang lain memang sudah dikenalkan dengan Adam. Hubungan mereka selama tiga hari ini pun terbilang akrab. Makanya tidak heran kalau Abra tau tentang Gladis yang bernotaben sebagai adik Adam, karena saat mereka bertemu Adam, Gladis selalu ada bersama kakaknya.
"Kok dia sendirian sih? Si Adam kemana?" Suara Abra kembali terdengar.
Memang benar, Gladis terlihat duduk seorang diri di depan lobi. Biasanya selalu menempel pada Adam, kali ini tidak. Gadis itu terlihat kebingungan membuat Sakha juga Abra berjalan menghampiri setelah meminta izin pada salah satu ustadz. Arkan tengah mengobrol dengan pemilik acara, makanya mereka meminta izin pada salah satu ustadz.
"Assalamualaikum. Gladis?" Sakha berhenti tepat satu meter dari tempat Gladis. Begitupun dengan Abra.
Saat tatapan Sakha bertemu dengan Gladis, binar ketakutan dari mata gadis itu bisa Sakha tangkap. Sakha menaikkan kedua alisnya. "Kamu kenapa? Adam mana?" tanyanya.
Gladis bangkit dari duduknya. Ingin menggerakkan tangan memberi isyarat, tapi urung saat mengingat kalau orang-orang di depannya tidak akan paham. Alhasil, Gladis menuliskan sesuatu pada buku mini yang selalu ada di ransel mininya.
Sakha dan Abra menunggu.
Tidak sampai tiga menit, Gladis menyodorkan buku mini itu yang diterima oleh Sakha. Di sampingnya, Abra ikut melihat isi dari buku itu.
'Aku gak tau bang Adam kemana. Tadi aku di suruh tunggu di sini, tapi Bang Adam belum balik-balik lagi.'
Reflek, Sakha dan Abra saling melempar tatap. Tidak mungkin Adam meninggalkan adiknya, kan?
Membalikkan bukunya lagi, kemudian Sakha mengeluarkan ponsel berniat menghubungi Adam. Tapi belum benar-benar terlaksana, pandangannya langsung jatuh pada pesan yang masuk beberapa jam lalu. Pesan dari nomor yang berniat ingin ia hubungi tadi.
Tanpa menunggu lama, Sakha membukanya.
lagi sama Gladis? Sakh, gue titip dia ya. Gue bukan tinggalin dia, gue bukan ngebuang dia, gue cuma gak mau dia luka kalau ikut pulang sama gue. Gue titip dia di lo karena selama tiga hari ini gue liat dia nyaman sama lo. Tolong jaga Gladis ya? Secepatnya, kalau masalah ini benar-benar selesai, gue bakal jemput Gladis lagi.
📌 pesan suara 📌 pesan suara
rekaman suara gue yang kedua, tolong suruh Gladis denger. Yang pertama, penjelasan gue ke lo.
Tubuh Sakha membeku melihat deretan pesan itu. Ia menatap tidak percaya layar ponselnya. Sakha terkekeh hambar lalu menggeleng.
Setega itu?
"Sakh?"
"Gila! Adam gila!" umpat Sakha. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran laki-laki itu. Mencoba menghubungi nomornya, tapi operator yang menjawab. Sakha berdecak.
"Kenapa, Sakh? Ada kabar dari Adam?" Abra bertanya yang mungkin mewakilkan pertanyaan Gladis. Gadis itu terlihat menatap Sakha penuh harap.
Sakha memejamkan mata seraya mengatur napasnya. Ia berusaha mengontrol emosinya pada laki-laki itu. Pandangan Sakha berpindah pada Gladis. Diam beberapa detik kemudian Sakha memberikan ponselnya pada Abra. "Lo baca sendiri!"
Abra mengikuti ucapan Sakha. Ia fokus membaca deretan kalimat di ponsel Sakha. Tidak beda jauh dengan respon Sakha, setelah selesai membaca, Abra menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ia memberikan ponsel itu pada pemiliknya lalu tatapannya berpindah pada Gladis yang masih terlihat bingung.
"Gladis, lo—" Abra menggantung ucapannya. Ia memejamkan mata sekilas kemudian menghela napas kasar.
"Sakha, Abra! Ayo balik! Mau ketinggalan pesawat?!"
Teriakan yang berasal dari Aarav mengambil atensi mereka bertiga. Abra mengacungkan ibu jarinya, lalu Sakha berpindah atensi pada Gladis. Dengan pelan, Sakha bertanya. "Glad, maaf sebelumnya, tiket pesawat buat pulang ada?"
Gladis mengangguk.
Membuat Sakha kembali bersuara. "Alhamdulilah. Yaudah, sekarang kamu ikut saya sama yang lain, ya? Adam nitipin kamu sama saya."
Tidak langsung percaya, Gladis tetap diam di tempat. Lewat tatapannya ia seakan meminta penjelasan.
Sakha menghela napas panjang. "Adam tadi ada urusan jadi duluan dan dia nitipin kamu ke saya. Percaya, kan? Nanti di sana, kita hubungin Adam. Yang penting sekarang, kita gak ketinggalan pesawat."