༺Agmission༻
-𝓓𝓾𝓪 𝓐𝓽𝓶𝓪 𝓟𝓮𝓶𝓫𝓮𝓷𝓬𝓲 𝓢𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪-
"Mengenal diri sendiri aja susah, apalagi orang lain, 'kan?"
Mita, gadis yang memiliki self esteem rendah ingin mencoba mengenal dirinya sendiri. Dibantu dengan wish in bottle pemberian...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
M
ata Mita membelalak. Jantungnya mencelos, air matanya turun tidak bisa terkontrol.
Wanita paruh baya yang tadi mencerca Mita menjadi luluh dan ikut menangis bersamanya. Ia mendekat, lantas mendekap erat anaknya seraya menangis dalam pelukan itu. Ia hanya menggumamkan kata bahwa ia menyayangi Mita.
Hal itu membuat Mita melemas, tubuhnya melemas, pusing benar-benar mengacaukan semuanya. Tubuhnya sudah hancur bersama raganya.
Ibu dengan sigap menahan Mita, dibantu dengan Ayah dan Kak Aldino, mereka mengistirahatkan Mita.
"Ibu ... Mita pusing."
Ibu tak kuasa menahan tangisnya. Ah, anaknya sudah bisa mengeluh padanya. Ibu mengecup lembut kening gadis itu. "Kalau dicium pasti sembuh, ya?"
Mita merasakan sdsuatu yang berhamburan di dada. Ia tidak bisa menahan tangisnya, kembali mrnangis dan memeluk erat wanita paruh baya itu. "Ibu," panggil gadis itu meraung-raung.
"Iya, Ibu di sini." Wanita paruh baya dengan daster batik itu mengusap punggung Mita. Suara yang terdengar tak sekuat tubuh yang bergetar hebat untuk menunjukkan bahwa dirinya kuat.
"Ini Ibu, 'kan? Mita kangen Ibu yang kayak gini!"
Ucapan itu seolah memghunus jantung sang ibu, serindu itu, ya? Selelah itu? Nyatanya, ia baru sadar bahwa dirinya jarang memerhatikan anak gadisnya lagi. Lihat, gadis itu terasa lebih ringan dan mudah untuk direngkuh, tubuhnya rapuh untuk sekadar disentuh. "Maaf, maaf, sayang. Ibu nggak pernah ada buat Mita."
Mita melonggarkan pelukan, ia masih merasa begitu pusing. Ibu menggenggam tangan Mita, dan sang empu mengaduh kesakitan.
"Bentar." Ibu hendak beranjak pergi.
Mita menahan pergelangan sang Ibu. "Mau ke mana?"
Ibu lekas tersenyum. "Kita obatin lukanya sama-sama, ya?"
Mita melonggarkan genggamannya, Ibu lantas keluar dan diikuti Kak Aldino dan Ayah.
Di luar kamar Mita, Ibu sudah tidak tahu lagi harus apa. Wanita itu kimbung dan ditahan oleh dua laki-laki yang menjaganya.
"Aku nggak tau, Mita harus menjalani hidup kayak gitu ... gara-gara aku." Ibu berujar penuh dengan penyesalan.
Kak Aldino menggeleng. "Enggak, Bu. Ini salah Dino."
Ayah menggeleng. "Kita keluarga, kita kurang berkonunikasi. Kita senua salah di sini." Suara berat itu membuat ketiganya menunduk dalam.
Ibu memantapkan tegaknya. "Aku adalah seorang Ibu. Ibu nggak bakal biarin anaknya terluka, aku nggak bakal bikin Mita terasa dikekang. Mita perlu disembuhin."
Kak Aldino mengangguk. "Kita semua perlu sembuh, agar tidak saling menyakiti satu sama lain, Bu."
Mereka bertiga saling menguatkan. Akhirnya, dengan tekad bulat karena luapan emosi Mita, mereka sepakat untuk sembuh bersama-sama.
***
Ibu datang dengan sekotak obat di genggaman. Ayah dan Kak Aldino mengekor untuk membersihkan kekacauan di kamar Mita.
Ibu duduk di ranjang tempat Mita menangis sendu. "Mita ... sini tangannya." Ibu mengulurkan tangan dengan suara yang lembut, membuat Mita tidak bisa menolaknya.
Ibu mengusap darah yang menempel di pipi sebelumnya, kemudian membersihkan tangan Mita. Beberapa kali sempat terdengar Mita meringis kesakitan, tetapi Ibu memberi kecupam pada luka itu agar terasa lebih nyaman.
Ayah dan Kak Aldino selesai membersihkan, mereka keluar membiarkan dua wanita itu saling bercengkerama. Hanya berdua saja.
Mita membuka suara terlebih dahulu. "Maaf, dan makasih, Bu."
Ibu menggeleng. "Enggak, Ibu yang harusnya minta maaf. Maaf untuk hal yang Mita terima. Mulai ke depannya, Ibu nggak mau ngekang lagi."
Mita terisak, masih membiarkan ibunya membersihkan luka yang dibuatnya.
Ibu ngilu sendiri ketika mengobati luka sayatan Mita. "Mita ... sakit nggak sayang?"
Mita menangis, hatinya luluh. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.
Ibu selesai membersihkan luka, kemudian membalut perban pada tangan gadis itu. Selepasnya, hal yang tak terduga terjadi. Ibu mengecup luka itu, dan menatap Mita penuh penyesalan. "Sembuh, ya, sayang? Gadis Ibu kuat! Ibu yakin itu."
Mita mengangguk dengan air mata yang luruh membasahi pipi. Langsung memeluk sang ibu. "Makasih, Bu. Mita ... sayang Ibu."
Ibu tak kuasa menahan tangisnya. Ia balas pelukan itu. "Iya. Ibu lebih sayang sama Mita. Maaf, nggak bisa jadi Ibu yang baik buat kamu."
Mereka berdua terus memeluk, kemudian Mita merasa bahwa ia ingin beristirahat. "Ibu ... Mita ngantuk, besok sekolah."
Ibu mengusap air matanya. "Ah, iya. Besok Mita sekolah. Em ... pengen sarapan apa buat besok, sayang?"
Untuk pertama kalinya Mita ditanyai keinginannya. Gadis itu hanya mengulas senyum tipis. "Apa pun, asalkan bisa makan bersama."
Ibu mengangguk, membereskan obatnya. Wanita paruh baya itu menunduk, kemudian mengecup kening Mita lembut. "Malem, sayang."
Mita terkekeh mendengarnya, mebuat Ibu ikut terkekeh juga. Lampu dimatikan, sorot cahaya bulan perlahan memasuki kamarnya ketika hujan yang awalnya mendera tiba-tiba melengos entah ke mana.
Detik jam yang berbunyi menjadi iringan ketika Mita terlelap. Beberapa jam kemudian, gadis itu terbangun karena merasakan seseorang yang datang membuka pintunya.
"Kak Aldino?" Mita menyipitkan mata, gelap kamarnya membuat ia tidak bisa melihat jelas.
Aldino membawa lilin dan menghidupkannya. "Iya, ini mati listrik, Mit." Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sebelah ranjang Mita, mengelus lembut pucuk kepala adiknya. "Aku minta maaf, ya?"