Takdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...
BAIK minggu-minggu saat tahu Shafira akan menikah, maupun hari-hari menjelang Shafira resign, perasaan gue makin nggak karuan. Gue nggak mau dia pergi, tapi nggak ada cara yang bisa gue lakukan untuk membuatnya tetap tinggal. Minggu ini menjadi minggu terakhir Shafira bekerja. Siang itu sudah memasuki hari Kamis, gue ada meeting bareng klien bertepatan dengan jam makan siang.
Seperti biasa, gue dan Shafira selalu datang lebih awal dibandingkan klien. Karena kami nggak melakukan reservasi tempat sebelumnya, saat jam makan siang itu tempatnya penuh sekali, sehingga kami nggak bisa memutuskan tempat yang pas untuk dipakai meeting dan memilih kursi yang memang masih tersedia.
Karyawan kantor Nata Adyatama itu lebih dari seribu, bahkan mungkin dua ribu orang. Gue nggak bisa mengenali mereka satu per satu. Orang-orang yang duduk di samping kanan meja kami, bertepatan di belakang Shafira, ternyata orang Nata Adyatama juga. Mereka banyakan, namun nggak ada satu pun yang gue kenali. Gue malah mengenali mereka dari obrolannya.
"Yang mana sih orangnya? Ada sosial medianya nggak? Gue jadi penasaran sama perempuan yang namanya Shafira itu, tapi kan nikahnya ujung-ujung dibatalkan juga. Ketahuan topeng aslinya kali." Obrolan mereka jelas terdengar sampai ke meja kami.
"Itu loh, perempuan yang selalu pakai kerudung panjang banget yang sering dijemput bapaknya yang pincang." Lagi-lagi gue perlu mendengar pembicaraan seperti ini. Sekarang gue paham kenapa pergaulan itu perlu dikontrol. Kebanyakan hal-hal rusak dalam diri, bermula dari rusaknya pergaulan.
"Oh, bapak-bapak yang pegawai ekspedisi itu, ya? Yang sering nunggu di depan pos sekuriti? Wah, parah sih bisa-bisanya dia dapat anak Nata Adyatama sama anak Astra Land sekaligus. Curiga." Gue kira rumor kayak gini udah lama reda, ternyata malah makin menjadi-jadi saat informasi Shafira batal nikah itu juga tersebar.
"Curiga ketahuan bekas dipakai bosnya. Makanya nggak jadi dinikahin, ditinggal deh." Gue yakin Shafira juga mendengarnya, mengingat kursinya lebih dekat dengan meja orang-orang itu.
"Mana Pak Athaya ganteng banget lagi. Wajar sih, hijab nggak berhijab bisa menaruh minat ke dia. Gue pengen banget jadi salah satu stafnya atau minimal kerja satu gedung lah sama dia. Lo kalau lihat dia sekali, dijamin nggak mau ngedip." Gue tersenyum tipis mendengar bagian ini. Ternyata genetik Papa ikut jadi buah bibir juga. Sepertinya baru-baru ini mereka tahu gue anak Andreas Yudistira Adyatama, soalnya beberapa orang mendadak ramah ke gue ketika mengetahui fakta tersebut.
"Dulu mereka aja berani datang bareng ke undangan pesta pernikahan anaknya Pak Jo. Padahal kondisinya mereka sama-sama punya tunangan waktu itu. Beberapa saat dari itu, Pak Athaya putus sama tunangannya." Mereka nggak tahu aja, gue perlu minta izin dulu ke bapaknya Shafira hanya untuk membawa dia pergi. Dia juga pada akhirnya pulang sama temannya karena gue ada pekerjaan mendadak. Harusnya mereka juga tahu kalau Pak Jo memberikan satu undangan untuk dua orang.
Shafira terlihat tidak terusik dan tidak berminat merespons pembicaraan mereka. Malah gue yang geram mendengarnya.
"Kita mau makan siang apa makan bangkai saudara sih? Beneran baik-baik aja kali orangnya. Makanya pada disukai orang-orang papan atas. Jangan sembarangan ngomong dulu. Kalau ternyata salah, berabe lo semua entar. Ganteng nggak bikin kenyang, belum tahu aja Pak Athaya tegasnya kayak apa masalah kerjaan." Ternyata masih ada yang waras di antara mereka. Jiwa-jiwa ingin menaikkan jabatan orang tersebut memberontak. Kayaknya gue perlu nyari tahu nama orang itu nanti.
"Catatan keuangan, laporan produksi, kualitas layanan, kepuasan pelanggan, sama catatan operasional lainnya yang Anda minta, udah saya arsipkan dalam satu folder. Link-nya nanti saya kirimkan lewat pesan chat aja, ya?" Shafira masih bisa-bisanya fokus pada kerjaan di saat telinga gue panas dan hampir terbakar. Sepertinya dia mengatakan itu untuk pengalihan pikiran.
Cerita yang dipromosikan
Kamu akan menyukai ini
"Iya, Sayang." Gue sengaja menjawab itu untuk membuat mereka sadar kalau gue lah orang yang mereka sebut tampan. Gue cukup usil untuk membuat mereka panik, sama seperti di food court saat bersama Mas Dean waktu itu.
Gue sudah berpikiran untuk memberikan SP, namun perlu banyak pertimbangan ketika melakukannya. Pertama, mereka akan semakin mengira rumornya benar. Kedua, gue masih berbaik hati menganggap memutus rezeki orang lain itu nggak baik. Jadi ya sudah lah, gue mending panen pahala aja. Sama seperti apa yang Shafira lakukan.
"Hah?" tanya Shafira.
"Iya, kirimkan aja lewat chatlink-nya, Shafira sayang." Gue dengan sengaja mengeraskan suara dan menyebutkan nama Shafira biar mereka panik sekalian, dan ya, sesuai dugaan. Mereka memutuskan untuk langsung pindah tempat dan membubarkan diri saat menyadari gue dan Shafira berada tepat di belakang mereka.
Heran sekali, kenapa ada orang sejahat itu. Berani mengatakan hal buruk tentang orang yang bahkan mereka nggak kenal, dan kenapa hanya nama Shafira yang jelek, padahal kelakuan gue lebih jelek dulu, atau karena mereka tahu gue anak pemilik Nata Adyatama, mereka nggak berani ngomong jelek tentang gue. Entahlah, semuanya tetap menyebalkan. Gue nggak suka orang bersikap baik ke gue hanya karena privilege dari bokap.
"Kamu nggak marah mereka ngomong hal-hal yang jelek tentang kamu? Parah banget lagi pembicaraannya," tanya gue pada Shafira setelah mereka benar-benar hilang dari pandangan.
"Saya lebih marah dengan panggilan yang baru saja Anda gunakan," katanya dengan suara yang sangat-sangat tegas hingga membuat gue agak merinding mendengarnya.
"Mereka membicarakan hal buruk tentang saya, sementara saya sibuk memperbaiki diri. Kira-kira siapa yang dirugikan? Dan yang Anda lakukan barusan, Anda sengaja melakukannya karena mereka ikut membicarakan buruk tentang Anda, kan?"
"Saya memang sengaja melakukannya supaya mereka menyadari kalau orang yang mereka bicarakan itu berada tepat di belakang mereka, tapi untuk ikut marah pada mereka... actuallyno. Setidaknya mereka bilang saya ganteng," jawab gue dengan percaya diri.
"Tapi dengan perkataan Anda tadi, rumor-rumor buruk bakal makin banyak beredar di kantor. Bukannya meredam isu, Anda malah membuatnya makin panas. Anda juga harusnya nggak sembarangan menggunakan kata 'sayang' pada perempuan. Bagaimana reaksi Anda ketika ada laki-laki asing yang tiba-tiba memanggil Sheina menggunakan kata sayang?" Dia langsung membuat gue kehabisan kata-kata dengan menggunakan Sheina sebagai analoginya.
"Sekali lagi saya minta maaf soal yang tadi. Saya janji, saya nggak akan mengulanginya lagi." Gue mengulang maaf dengan lebih tulus.
"Saya menyadari kalau saya banyak dosa, ghibah itu cara kerjanya transfer pahala, kan? Awalnya saya berpikiran kalau makin banyak orang ngomongin jelek tentang saya, makin sedikit dosa saya. So, biarin aja mereka ngomong jelek tentang saya. Biar dosa saya ditransfer semua ke mereka."
Ternyata pikiran kami tidak sejalan. Shafira memiliki pandangan yang berbeda.
"Saya nggak tahu apakah memancing orang lain untuk ghibah itu dicatat sebagai sebuah dosa juga atau enggak. Rasanya seperti saya menarik diri sendiri untuk masuk surga, dengan cara mendorong orang lain masuk neraka. Memang surga nerakanya orang lain bukan urusan saya, tapi memberikan teguran secara nggak langsung kayak tadi, justru nggak membuat mereka berhenti untuk ghibah."
Iya juga. Ghibah dosa, membuat orang ghibah juga tetap berpeluang menjadi sebuah dosa. Gue tersenyum tipis merasa kalah telak.
"Saya setuju dengan itu. Ngomong-ngomong, kamu orang pertama yang bersikap biasa aja, setelah saya panggil sayang..." Waktu gue mengatakan itu, barulah pertama kalinya gue melihat Shafira salah tingkah. Namun dia selalu berhasil memanage dirinya dengan baik.
"Kenapa kita nggak coba bikin gosip itu jadi beneran? Kayaknya seru juga kalau kantor lagi panas begini, terus tiba-tiba kamu sebar undangan, tapi nikahnya sama saya. Maybe they'll speculate that the marriage happened by accident."
Sebenarnya gue mengatakan itu karena gue tahu kendala yang sedang dihadapi keluarganya Shafira setelah batal menikah. Finansial mereka menjadi nggak stabil setelah pernikahannya dibatalkan. Gue pernah punya pikiran kalau mungkin Shafira mau nerima gue, gue bersedia menggantikan Rafif untuk menikahinya, dengan begitu mereka nggak perlu lagi memikirkan soal finansial.
Namun gue cukup tahu diri, Shafira nggak mungkin mau menikahi pria seperti gue yang minim ilmu agama. Gue juga nggak tahu perasaannya ke gue kayak gimana. Jangankan membimbingnya menjadi seorang istri, membimbing diri sendiri aja gue masih perlu banyak belajar.
"Married isn't a drama. Bukan untuk ditonton orang-orang, bukan permainan juga," katanya jelas akan menganggap pembicaraan gue tidak serius sama sekali. Sepintar dan cerdas apa pun seorang perempuan dalam urusan agama, dia tetap punya sisi ingin dibimbing, dan gue nggak punya kapasitas untuk melakukan itu.
"Saya nggak lagi main-main, Ra." Dia tiba-tiba saja berhenti dari kegiatannya.
"It's just 'if', right? Saya nggak menganggap Anda sedang mengajak saya untuk menikah sungguhan."
"Why not?" tanya gue. Dia mendekikkan mata malas.
"Batal menikah dengan Kak Afif aja udah bikin saya kayak gini. Saya nggak kebayang aja kalau harus menikahi anaknya pemilik Nata Adyatama yang mantan tunangannya aja sekelas putri menteri ATR."
"Jadi daripada bercandain saya dengan ngajakin saya nikah, mending beliin saya cermin besar supaya saya tahu porsi saya di mana." Harusnya perkataan tersebut gue rekam dan gue sebar di forum Nata Adyatama, biar mereka tahu boro-boro menjalin hubungan terlarang. Mengajak menikah saja, gue ditolak mentah-mentah.
"Jadi saya ditolak nih?"
"Jelas. Anda ditolak."
────୨ৎ────
To be continued.
Satu episode lagi, mereka berpisah untuk dua tahun. 🥲
Yuk, 1K komen aku update lagi besok malam. Btw, aku mau menyampaikan sekilas infohhh~
Ini opini pribadi ya, Mils. Nggak usah menyangkut pautkan dengan penulis lain. Kalau penulis lain pada bikin RP, ya silakan. Itu juga hak pribadi mereka. ✨
Semoga berkenan dan berterima 🙏🏻🙏🏻
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Make the Quran as your main reading.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.