"Pakeeet eh suraaat!" teriak seseorang di depan pintu pagar rumah Aya.Kity berlari keluar menyambutnya dengan wajah cerita. Ia membuka pintu pagar dan memberikan senyuman terbaiknya. Pria itu memberikan sepucuk amplop warna biru dilapis plastik dengan tulisan warna emas. Setelah menerimanya, Kity masuk ke dalam. Ia sembari membaca namanya, "Nur-ha-ya-ti dan pa-sang-ngan."
"Apa itu dek?" tanya Aya.
"Ini ada surat untuk Nurhayati, Mah. Mama kenal?" Kity berikan amplop itu pada Aya.
"Ini nama Mama. Nurhayati. Masa kamu ngga tau?" Aya bertanya lagi.
"Ooo..." Bibir Kity meng-O.
"Ih, Kity. Masa nama Mama aja ngga tau? Dasar anak durhaka," celetuk Chika.
"Yaaa ngga semuanya aku harus tau. Yang penting kan aku tau kalo Mama itu Ibu aku."
"Good answer!" Aya mencolek pipi Kity.
"Ih..." Chika mengernyitkan dahinya. Kesal Kity bisa menjawabnya lugas.
Aya membaca isi surat itu dan tertegun. Ternyata sebuah surat undangan pernikahan seseorang. Hatinya terpukul dan kaget. Matanya berkaca kaca dan tangannya gemetar. Surat itu adalah undangan nikah Abi Puchi dengan jamet komplek berambut aromanis. Aya terduduk dengan jantung yang berdetak kencang. Emosinya bisa terkontrol dengan baik, ia malu jika menangis di depan anak-anaknya hanya untuk meratapi seseorang yang sudah tidak mungkin ia gapai lagi. Jadi Aya memilih menahan isakan tangisnya meski matanya berair.
"Itu surat apa, Mah?" tanya Chika, "...tumben dapet surat. Biasanya surat tagihan kartu kredit tapi kayaknya bukan!" Chika terkekeh lepas.
"Ini death note."
"Serius, Mah?" Chika sampai bangkit dari kursi, penasaran dengan suratnya. Ia membolak balik amplopnya dan menautkan alisnya lagi, "...ini mah undangan."
"Iya, undangan Papa kamu nikah lagi," jawab Aya dengan wajah tegang dan emosional.
"Hah?!" Wajah Chika pun berubah jadi tegang.
"Papa nikah?" tanya Kity, suasana sudah kacau balau, anak itu muncul dan bertanya pada Ibunya, "...kok Papa jahat sih sama Mama?"
Tangan Aya mencengkeram keras, Kity yang melihatnya jadi takut. Raut wajah Mamanya berubah jadi kesal dan geram. Chika pun mundur dan duduk lagi di sofa, ia menarik tangan adiknya agar menjauhi Mamanya.
"Pasti lagu itu lagi yang disetel sama Mama deh, Dek," bisik Chika.
"Ho oh. Bosen, galau mulu."
"Kita harus balas dendam sama Papa!" sahut Aya dengan gigi gemeretak.
"Caranya, Mah? Mama mau kawin?" tanya Chika.
"Kalo jodohnya Tom Holland, ya. Tapi kalau bukan, Mama ngga mau," jawab Aya tegas.
"Dih, ngimpi," gumam Chika pelan, pelan sekali. Takut dikutuk jadi rantang.
"Caranya gimana, Mah? Pukulin Papa? Atau culik istri Papa minta tebusan?" celoteh Kity.
"Hush. Itu Papa kamu, bukan kriminal. Kita buat lebih menyakitkan. Tapi nanti Mama kasih tau. Ini melibatkan kalian juga," papar Aya.
"Papa kita mutilasi?" celetuk Kity polos.
"Astaga dek. Bukan gitu maksudnya. Tapi boleh juga idenya," tandas Chika.
"Heh, itu terlalu sadis. Ngga boleh, nanti kita dihukum melanggar undang undang, masuk penjara. Kalian mau?"
"Engga!" Kity dan Chika kompak menjawab.
"Terus harus gimana, Mah?" tanya Chika.
"Gini..." Aya kemudian membisiki Chika dan Christy. Kalimat itu agak lanjang tetapi mereka memagamin, "...besok kita jalanin rencana awal kita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CRIKAYA [One Shot]
FanfictionCerita tentang seorang Ibu yang menjadi single parent mengasuh dua orang anaknya yang masih belia.