Perempuan itu makin memberontak, berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari jeratan tali yang kuat meliliti tubuh beserta kaki dan kedua tangannya. Aku membungkukkan badan ketika berhadapan tepat di depannya, sambil tersenyum semanis mungkin, aku mengangkat dagunya. Sehingga wajahnya jadi terdongak ke atas, ku lihat matanya berair.
Menangis.
Tak ada siapapun yang bisa menolongnya, ku rasa dia nampaknya sudah pasrah sama hidupnya yang sebentar lagi akan berakhir, makanya dia hanya bisa menangis tersedu-sedu seperti itu. Kasian? Sudah pasti jawabannya tidak, walaupun aku muak karena tiap korban yang ingin kujadikan bahan permainan pasti kedua matanya berkaca-kaca. Hah, tapi apa boleh buat? Mari ku selesaikan hari ini juga.
"Seharusnya kau bangga karena hari ini aku 'lah yang dipilih bermain denganmu, asal kau tahu, aku hanya hari ini berada disini, melayani dengan sepenuh hati. Jadi seharusnya kau itu senang, karena kedapatanku, bukan malah menujukkan ekspresi menjijikan seperti itu. Baiklah, sepertinya kau tidak sabar bukan? Ayo kita bermain." Aku melepaskan cengkraman dari dagunya, lalu berdiri seperti semula, mengabaikan jeritan dehemannya.
Semisal lakban yang menutupi mulutnya itu dilepaskan, sudah pasti suara teriakannya terdengar sangat nyaring. Selain berusaha berteriak minta tolong, dia juga tak lelahnya memberontak agar bisa terlepas dari lilitan tali yang mengikat tubuhnya itu.
Aku membuka laci dari kunci yang diberikan oleh Reina tadi. Isi didalamnya hanya ada palu, pisau, sekotak paku dan jarum, benang, obeng, kapak dan silet. Ku kira ada banyak benda tajam yang disediakan, ternyata hanya ini? Ya sudahlah, tidak ada waktunya juga aku protes. Dari alat-alat ini aku mengambil pisau lebih dulu, dilihat-lihat ternyata tajam juga. Aku melirik ke arah cewek yang belum ku ketahui namanya itu, pupil matanya melebar melihat benda yang tengah ku pegang kini. Aku berjalan mendekatinya yang kini kedua matanya tertutup rapat. Sepertinya dia menghindarinya.
Secara paksa aku membuka matanya, sehingga mau tidak mau dia bertatap langsung denganku. Aku menyeringai kearahnya, sambil menunjukkan pisau lebih dekat ke arah wajahnya. Dia memberontak makin liar, sampai kursi yang didudukinya terjatuh bersama dengan dirinya. Dia menangis sejadi-jadinya, meski mulutnya masih ditutup, tapi suara erangannya dapat didengar. Aku menjongkokkan diri, lalu membantunya dengan membetulkan kursinya seperti ke bentuk semula. Lihatlah, betapa baiknya aku, jarang-jarang ada yang mau menolong korbannya sepertiku walau sekecil itu.
Lagi dan lagi, dia mengatup kedua matanya, begitu enggannya menatap diriku yang anggun. Senyum sungging terpatri di bibir, sepertinya tidak masalah bermain dengannya lebih lama lagi. Aku meletakkan pisau tadi ke lantai, lalu mengambil jarum beserta benang berwarna merah. Dia masih belum mau juga membuka matanya, nampaknya dia minta tolong dibukakan olehku. Baiklah kalau itu maunya, akan ku kabulkan. Terlebih dulu aku memasukkan benang ke dalam lubang kecil jarum ini sepanjang mungkin, lalu dipotong setelah kurasa cukup.
Tanpa pikir panjang, aku memegang mata kanannya, baru saja disentuh dia langsung membuka matanya. Dia terbelalak kaget saat melihat jarum lancip ini sangat dekat sekali dengan matanya. Dia memandang ke arahku dengan sorotan mata meminta dilepaskan. Air matanya juga kian deras mengalir. Menyedihkan.
"Tutup kembali matamu, ini tidak akan menyakitkan," pintaku, dia lekas menggelengkan kepalanya.
"Terserah kau saja." Beberapa kali dia berusaha menghindar agar aku tak bisa menggapai matanya.
"Jangan membuatku jengkel sialan." Terpaksa aku memegang wajahnya lebih kuat, dia tetap berserikeras tidak membiarkan matanya ditutup.
Bagaimanapun juga dia tidak bisa berbuat banyak, aku mengatup paksa salah satu matanya lalu mulai menjahit. Tetesan demi tetesan darah segar mengalir hingga mengenai pipinya. Dia menjerit sambil melakukan perlawanan, namun tidak ada gunanya.
Secara perlahan namun pasti sudah dua jahitan dimatanya, dia menangis sejadi-jadinya. Air mata yang awalnya berwarna bening sekarang sudah berubah jadi warna merah. Aku tetap meneruskan jahitan dimatanya sampai selesai. "Sekarang cobalah buka matamu." Berbekal mata satunya yang masih normal, dia memandangku penuh kebencian serta dendam.
"Mau melotot setajam apapun itu, kau tidak bisa berbuat apa-apa." Aku tertawa meremehkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan menanti pertolongan yang tidak mungkin ada.
"Sebenarnya aku ingin menjahit matamu yang satunya lagi, tapi jika aku melakukannya, maka kau tidak dapat melihat apa yang ku lakukan padamu nantinya. Sungguh baik sekali bukan, membiarkan kau menyaksikannya semuanya?" tanyaku kepada dirinya, diselingi tawa kecil.
"Ah, maaf, aku terlalu banyak bicara." Terlebih dulu aku memotong tali benangnya, lalu meletakkan kembali jarum itu ke dalam laci. Pisau yang ku taruh di lantai tadi diambil, kemudian menodongkannya tepat di depan wajahnya.
"Coba tebak akan kugunakan dimana benda ini?"
Beberapa kali dirinya menggeleng tanda tak mau benda tajam ini menyentuh area kulitnya yang mulus. Tak ada kata-kata lagi, aku segera menancapkan pisau ke tenggorokannya sedalam mungkin, memutar-mutarnya di dalam bagaikan penggiling. Dia mengeluarkan suara seperti hewan yang di gorok. Matanya yang tersisa sebelah berubah jadi tegang, dimana bola matanya tertarik ke atas, sehingga matanya seperti warna putih secara keseluruhan. Badannya pun menjadi kejang-kejang, sekarang nyawanya sudah berada di ujung tanduk.
"Nikmat bukan? Apa kau menyukainya?" Sambil terus memutar pisau di dalam tenggorokannya, aku tertawa puas seperti orang gila. Belum juga setengah jam, badannya berhenti bergerak dengan mata terbalik ke atas. Sebelum membuka lakban di mulut serta tali yang mengikat tubuhnya, aku memeriksa denyut nadi ditangannya. Ternyata dia sudah mati. Aku mencabut pisau yang kini sudah dipenuhi oleh darah darinya.
Di saat aku ingin melepaskan lakbannya, dari luar terdengar suara perempuan menjerit minta tolong, penasaran apa yang terjadi aku mendekati pintu, terus menempelkan telinga ke daun pintu. Suara perempuan itu makin lama makin terdengar jelas dan nyaring, sepertinya dia akan melewati ruangan ini.
Aku sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang akan lewat sini. Tak lama kemudian aku mulai melihat ada dua bayangan orang hampir mendekat. Bayangan itu kini berubah jadi bentuk orang, ternyata orang yang menjerit tadi adalah hasil dari buruan dari orang di rumah ini.
Aku memperhatikan seorang pria dengan wajah yang ada cipratan darah itu begitu kasar menyeret perempuan tersebut seperti layaknya hewan. Di kepala perempuan itu terdapat lumuran darah, tanpa sengaja dia melihat ke arahku dengan tatapan meminta kasihan, dimana mulutnya bergerak tanpa suara, walaupun hanya menggerakan mulutnya saja aku bisa menangkap artinya. Dia mengatakan "tolong aku" tetapi aku hanya diam sambil terus memandang kearahnya tanpa ekspresi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession [End]✓
Mystery / ThrillerStory 5 "Berwajah bidadari tapi berhati iblis adalah gelar yang pantas didapatkan oleh seorang Gladis Zannisa Violetta." Gladis Zannisa Violeta dilahirkan dalam keluarga sama-sama para pembunuh berantai. Menyiksa orang-orang yang suka mencari masala...