35. Penuh

5.3K 533 14
                                    

"Apa aku harus memberimu ucapan selamat?" tanya Gama sinis.

Saat ini di ruang tamu kantornya ada Raja yang baru beberapa saat lalu terpilih menjadi CEO baru Raharja Grup. Entah sudah berapa kali dia menekankan kepada dua sekretarisnya agar tidak menerima sembarang tamu masuk.

"Kamu datang ke sini mau pamer, kan? Sayang sekali aku nggak merasa iri."

Raja tersenyum. Tidak heran dengan sikap Gama yang satu ini. "Kenapa kamu nggak datang ke rapat direksi?"

"Apa itu masih perlu?"

"Aku kehilangan 10 persen vote. Itu merugikan."

Gama tersenyum sinis. "Sepuluh persen itu nggak ada pengaruhnya sama sekali. Lagi pula impianmu sudah terwujud tanpa vote 10 persen."

Raja tampak menghela napas dalam. Rasanya percuma dia selalu bersikap baik selama ini pada pria di hadapannya. Kalau tidak memandang ayah yang selalu memberi nasehat padanya untuk bersabar menghadapi Gama, mungkin sudah dari dulu dia bertindak kejam.

"Nanti malam datanglah ke syukuran yang ayah adakan," ucap Raja seraya berdiri dan membenarkan jas. "Hari ini ayah ulang tahun. Kamu lupa?"

Gama tidak menjawab dan hanya menatap tanpa ekspresi kepada kakak tirinya itu.

"Sudah aku duga. Kamu memang nggak pernah ingat. Ayah masih hidup, jangan sampai baru merasa kehilangan setelah ayah nggak ada," ujar Raja sebelum melangkah menuju pintu. Dia menghampiri Kirana sebelum benar-benar keluar.

"Nona Kirana sampai saat ini saya masih membuka lowongan buat kamu. Kapan pun kamu mau, cukup telepon saya," ucapnya sembari mengedipkan sebelah mata, lalu beranjak membuka pintu, dan pergi.

Di tempatnya, Gama masih duduk termenung. Dia benci ayahnya, tapi juga tidak suka kalau lelaki tua itu cepat mati. Ayahnya harus  melihat bagaimana Gama mendirikan perusahaan sukses tanpa embel-embel Raharja. Jadi, tua bangka itu harus hidup lebih lama lagi.

"Kirana, masukan jadwal untuk syukuran nanti malam," ucapnya kemudian. "Dan buatkan saya kopi."

"Baik, Pak." Kirana segera beranjak dari kursi menuju mini bar di ruangan itu. "Bapak mau tambahan sedikit krimer?"

"Hmm." Hanya gumaman kecil sebagai jawaban. Kepalanya mendadak penuh, lalu matanya terpejam.

Di balik mini bar, Kirana menakar bubuk kopi dan memasukannya ke dalam keranjang penyaring yang sebelumnya sudah dia masukkan kertas penyaring. Tangannya bergerak mengambil teko kopi dan mengukur kembali air yang akan digunakan. Dia meletakkan kembali teko kopi ke atas tatakan setelah menuang air ke dalam mesin.

Hanya perlu menunggu selama beberapa menit, mesin kopi itu akan mengekstrak dengan sendirinya. Cukup mudah. Sekretaris Gama yang mengajarinya menggunakan mesin kopi. Sekretaris itu juga bilang harus segera membuang ampas kopi di kertas penyaring secepatnya setelah proses pembuatan kopi selesai.

Di tengah proses menunggu itu Kirana menoleh ke arah Gama yang tampak tertidur dengan posisi kepala menengadah.

Matanya mengerjap pelan, menyaksikan wajah Gama dari samping. Hidung pria itu mencuat tinggi, tulang pipi sedikit panjang dan tidak terlalu menonjol. Sangat pas, tidak ada cela sedikit pun. Tuhan menciptakan manusia itu dalam keadaan senang sepertinya.

Kirana kembali melihat mesin kopi. Tekonya sudah terisi, dia hanya perlu membuat krimer untuk menyiram kopi di cangkirnya nanti.

"Wangi sekali," gumam Gama, saat hidungnya mencium aroma kopi yang kental. "Jangan beri krimer, Kirana."

Mendengar itu, tangan Kirana yang sedang menuang krimer ke dalam cangkir berhenti bergerak seketika.

"Pak, kopinya sudah dicampur krimer," ucap Kirana sedih.

Gama yang masih dengan posisi anehnya itu mengibaskan tangan. "Itu buat kamu saja, bikin yang baru lagi."

"Baik, Pak."

Kirana melakukan ulang kegiatan mengekstrak kopi. Dan menyuguhkan satu cangkir kopi baru untuk Gama.

"Kopinya, Pak," ucapnya seraya menaruh cangkir di atas meja.

Gama langsung membuka mata, dan bergerak membenarkan posisi duduknya. "Kopi kamu mana?"

"Itu ... Oh, itu ada di meja bar," sahut Kirana menunjuk ragu meja bar. Satu cangkir dengan sedikit krimer yang pertama dia buat tadi masih ada di sana.

"Ambil kopimu dan minum bersama saya."

Meskipun bingung, Kirana menurut saja. Dia memutar langkah ke mini bar lagi lalu mengambil kopinya. Dalam diam, dia duduk di seberang Gama. Memperhatikan lelaki itu menyeruput kopinya dengan hati-hati.

"Nanti malam ikut bersama saya ke rumah keluarga Raharja," ujar Gama lalu kembali menyesap kopi itu.

"Bapak ingin memberikan kado untuk ayah Bapak?" tanya Kirana, dan itu malah membuat Gama kebingungan.

"Kado?"

"Bukannya ayah Bapak ulang tahun?" Mata Kirana menyipit ketika melihat gestur ragu dari tubuh Gama.

"Itu ..."

"Bapak tidak pernah memberikan kado di hari ulang tahun ayah Bapak?" tebak Kirana dengan nada hati-hati.

Gama melirik wanita di hadapannya. "Dia tidak membutuhkan apa pun dari saya. Dia sudah memiliki segalanya."

"Meskipun begitu orang akan senang jika menerima hadiah. Apalagi di hari ulang tahunnya. Bukan seberapa mahal yang diberi, tapi soal ketulusan dan doa di dalamnya."

Tiba-tiba Kirana teringat ayah dan ibunya. Dia tak pernah melewatkan hari ulang tahun mereka tiap tahunnya. Meski sekarang dia jauh, biasanya dia akan mengirimkan kado ulang tahun.

Gama berdecih, merasa ucapan Kirana tak berguna. Untuk apa dia memberi perhatian buat orang yang sudah tidak menyayanginya? Dia bangkit berdiri dan menenggelamkan tangan ke saku celana.

"Kalau begitu kamu saja yang melakukannya, saya tidak ingin memberinya kado ulang tahun atau sejenisnya. Itu buang-buang waktu," ujarnya lantas beranjak pergi menuju pintu keluar.

"Bapak mau ke mana? Sebentar lagi ada meeting, Pak." tanya Kirana cepat-cepat berdiri dan hendak menyusul.

"Saya tau. Saya akan kembali sebelum meeting dimulai."

Kirana membiarkan pria itu meninggalkan ruang kerja, lalu dia sendiri kembali duduk untuk menikmati kopi.

"Woah. Rasanya enak," seru Kirana menatap  cangkir kopinya dengan tatapan takjub. "Aku nggak nyangka bisa membuat kopi ala-ala kafe," gumamnya, lalu kembali menyeruput kopi itu.

***

Angin berembus menerbangkan helaian rambut Gama yang sudah kehilangan pomade. Rambutnya yang sudah agak panjang berayun, seiring embusan angin yang makin kencang. Saat ini dia sedang berada di rooftop gedung, memandang hamparan kota yang luas dan tampak penuh.

Di sisinya Sukma berdiri. Tubuh tinggi besar makhluk itu menenggelamkan tubuh Gama. Tangan besarnya bersedekap di depan dada.

"Anda kenapa melow begini, Tuan? Kedatangan Raja mengganggu Anda?" tanya Sukma seraya memandang lurus ke landskap alami kota di bawah sana.

Gama menggeleng. "Aku sudah malas berurusan dengan ayah sebenarnya. Hanya saja ... tiba-tiba aku berpikir tentang kematiannya."

Sukma menoleh dan terperangah. "Tuan ingin ayah Tuan mati?"

"Bukan, Bodoh. Aku memikirkan jika dia mati, apa aku akan merasa kehilangan?"

Sukma mulai tahu ke mana arah pembicaraan Gama. "Anda takut menyesal?"

Gama mengedikkan bahu. Tidak yakin juga apa dia akan menyesal jika ayahnya pergi. Namun, yang jelas jika ayahnya pergi itu artinya dia sebatang kara. Tidak ada orang lain yang bisa dia anggap sodara.

"Aku tidak tau."

"Saya sarankan sebelum penyesalan datang. Lakukan sesuatu menurut kata hati Anda saja, Tuan."


________
Cie, Mas Gama sedih nih, Gaes. Hibur dong.

The Devil inside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang