Zio pulang sekolah. Dan untuk pertama kalinya ia langsung menuju rumah, karena biasanya Ia mampir untuk nongkrong bersama komplotannya.
Zio mencoba menarik napas panjang sebelum masuk ke rumah. Tangannya gemetar. mendorong pintu dengan sangat pelan. Berharap tak terdengar. Namun keadaan rumah tampak sangat sepi.
Dengan berjalan mengendap seolah akan masuk ke rumah maling, Zio berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu dan langsung merebahkan diri di kasur nya.
Tok... tok.. tok...
Tanpa persetujuan, pintu terbuka setelah tiga kali ketukan selesai. Zio terbangun. Disana lah ia lihat wajah garang ayah nya sudah melotot ke arah Zio saat itu juga.
"Zio, ada yang harus papa omongin sama kamu." ucap lelaki bertubuh besar bernama Cakra itu.
Mampus gue.
Zio menunduk dalam - dalam karena sudah tau apa yang akan di katakan oleh Ayahnya. Cakra melempar kertas putih yang sudah setengah teremas ke arah Zio.
"Kamu... KAMU DI KELUARKAN DARI SEKOLAH?! SUDAH BERAPA KALI KAMU MELAKUKAN PERKELAHIAN SAMPAI DI KELUARKAN HAH?! KAMU PUNYA OTAK?!" hardik Cakra dengan emosi berapi - api.
Zio terdiam. Tak berani menjawab. Ia memilih diam. Meremas baju nya kuat - kuat berusaha menahan amarah.
"ARGHH... KENAPA PAPA HARUS PUNYA ANAK SIALAN KAYA KAMU HAH?!" nada Cakra bertambah tinggi.
Cakra menarik napas dalam - dalam. Mengingat kembali kejadian yang baru saja terjadi. Ketika ia harus menyetir jauh - jauh dari kantor hanya untuk memenuhi panggilan kepala sekolah dan menerima surat yang berisi pengeluaran Zio dari sekolah.
"Mulai besok kamu akan masuk satu sekolah sama Azriel!" ucap Cakra membuat Zio tertegun.
"Zio ngga mau, pa!" berontak Zio bangkit dari duduk nya.
"Ga usah banyak omong! Memang sekolah mana lagi yang akan menerima murid bandel kaya kamu selain di sekolah tempat om mu menjadi kepala sekolah?!" hardik Cakra.
Cakra segera keluar dari kamar Zio dengan membanting pintu. Sedangkan kemarahan Zio belum terlunasi karena ayahnya yang tiba - tiba saja memasukkannya satu sekolah dengan Azriel.
Anak itu.
Zio menggeram. Dia melempar bantal kemana - mana. Melampiaskan amarahnya.
Azriel yang melihat raut wajah Ayahnya tidak enak setelah keluar dari kamar Zio sudah cukup memberitahu apa yang baru saja terjadi.
Azriel mendekati pintu kamar Zio. Mengetuk perlahan. Terdengar di dalam suara geraman dan barang - barang yang di lempar kemana - mana. Suara musik yang sengaja di putar keras - keras. Entah memang ketukannya tak terdengar atau memang Zio enggan membuka pintu kamarnya.
Tapi Azriel berusaha menahan diri. Setidaknya kakaknya itu hanya menghamburkan barang - barang dan tak akan berbuat lebih. Azriel memundurkan langkahnya dan pergi dari depan pintu kamar Zio.
21:11
Zio terbangun. Di luar jendela sudah tampak gelap. Zio melirik jam. Ia pasti tertidur tadi. Zio mengendap keluar ruangan. Tak ada siapa - siapa. Apakah orang tua nya sudah tidur?
"Bang... "
Terdengar suara seseorang memanggilnya. Zio menoleh. Melihat Azriel dengan sepiring makanan di tangannya.
"Gue tau lo belum makan. Gue bawain makanan buat lo." tawar Azriel dengan tangan menyodorkan piring itu ke arah Zio.
Zio melirik makanan itu. Perutnya memang keroncongan tapi ia terlalu gengsi untuk menerimanya.
"Ga usah. Buat lo aja. Gue mau beli makanan di luar. " tolak Zio lalu pergi meninggalkan Azriel berdiri mematung.
Azriel hanya menghela napas. Ia sudah terbiasa melihat abangnya seperti itu. Mereka memang tak pernah akur dan Azriel selalu berusaha memakluminya.
Zio pergi keluar dengan motornya. Udara dingin merayapi pungggungnya. Berusaha lupa tentang apa yang baru saja terjadi. Ia memilih menyetir motornya menuju markas Andalas.
Disana sudah ia temui beberapa kawannya. Anan, Narel, Hugo, Albi dan Edgar.
Albi melirik raut wajah Zio yang tampak kusut dan seolah sudah bosan hidup.
"Lo kenapa? Kurang asupan?" tanya Albi.
Zio menggeleng. Ia menyambar sebatang kretek dan menyalakannya. Kepulan asap keluar dari mulut nya.
"Lo banyak masalah ya?" Anan yang mencoba menguak. Dari dulu mereka tau Zio selalu di belit oleh masalah.
"Gue di keluarin dari sekolah. Dan mulai beaok gue harus satu sekolah bareng Azriel." ucap Zio dengan penuh penekanan.
"Hah? Seriusan? Berarti lo juga bakal satu sekolah bareng gue, dong?" celetuk Edgar yang tadinya tidak peduli. Zio mengangguk.
"Ya udah terima aja, bro. Jarang ada sekolah mau nerima murid pindahan karena bermasalah." timpal Edgar.
"Tenang aja. Disana banyak cewe cakep." gelak Anan.
"Halah. Dasar fakboi kelas rendahan." ejek Albi membuat Anan kesal.
"Dih, gue tuh setia cuma belum nemu yang cocok aja." sangkalnya.
Zio memilih mengacuhkan perdebatan kedua temannya itu. Ia mengambil sebatang kretek untuk kedua kalinya, dan menyalakannya. Beberapa saat kemudian, asap mengepul dari mulutnya.
Pikirannya mulai sedikit tenang. Dengan harap - harap cemas. Menjadi murid dengan serentetan kasus memang tak mudah bagi Zio. Bukan keputusan yang salah apabila sekolah mengeluarkannya.
Tapi, Zio berkelahi karena ia harus membela anak - anak korban perundungan. Ia hanya berusaha menolong meski orang mengatakan jika caranya salah.
Zio berharap semoga sekolah barunya tidak terlalu buruk. Terlepas dari urusan Azriel. Ah, bisa kah ia membuang anak itu jauh - jauh dari hidupnya?
***
Elzio Pramesta Biru
Kira - kira nanti gimana ya Zio dan sekolah barunya? Ini baru prolong. Dibutuhkan dukungan berupa vote dan komen. Apabila ada kritik dan saran maka akan di terima dengan baik.
See you in the next chapter👋🏻👋🏻
YOU ARE READING
Elzio
Teen FictionSerentetan kasus perkelahian menbuat Zio di keluarkan dari sekolah dan pindah satu sekolah dengan Azriel, adik angkat yang tak pernah Ia akui. Namun, hari - hari berjalan tak seperti hari biasa bagi Zio sejak saat itu. Memiliki julukan 'Nightmare'...