33. Mempersiapkan Masa Depan

145 38 8
                                    


Di kehidupan setelah menikah, Anin merasakan kebahagiaan yang tidak ada tandingannya dengan kehidupan sebelumnya. Setelah dia melihat suaminya selesai mandi dan mengeringkan rambutnya, Bima langsung menghampirinya yang ada di atas ranjang sambil memainkan ponselnya.

Bima langsung memeluknya dan mencium perutnya. "Anak-anak sudah pulang?"

Anin meletakkan ponselnya dan menyentuh kepala suaminya, dia mengusap kepala itu dan tersenyum. "Sudah, Mas. Tadi abis makan terus langsung ke kamar. Kayaknya sih mau istirahat."

Bima mengusap perut Anin yang buncit. "Bicara pada anak-anak nanti, Sayang. Tanyakan kepada mereka, Universitas mana yang mereka inginkan."

"Kenapa nggak Mas aja yang ngomong?"

"Kamu jauh lebih didengarkan sama mereka berdua. Tanya sama mereka, mana yang mereka mau. Nanti kamu tinggal kasih tahu aku. Aku lagi nggak pengen debat sama mereka."

Anin merasakan kasih sayang yang begitu mendalam dari Bima kalau pria itu seperti ini. Bima manja, Bima juga seperti enggan untuk bersama untuk urus hal lain selain fokus pada kandungan Anin dan juga cintanya yang terus bertambah. Kadang, sikap manja dan cemburunya Bima sering sekali dimunculkan. Entah itu kalau Anin perhatian pada anak-anak, atau juga sibuk dengan kehidupan lain.

Bima yang dulu memang masih sama kalau soal manja, tiba-tiba sering memeluk. Tiba-tiba kadang marah kalau Anin mulai sibuk.

"Sayang." Panggilnya Bima sambil memeluk perutnya Anin semakin erat. "Semoga nanti melahirkan normal, ya."

"Nggak mungkin normal, Mas. Ada dua soalnya."

"Hmm, tapi aku tetap temani kamu melahirkan kok nanti. Sekarang gimana perasaan kamu, senang setelah kita ketemu?"

Anin hanya bisa tersenyum, bahagia juga setelah pertemuannya dengan Bima. Pria yang dia harapkan untuk tetap hidup. Tapi ternyata memang masih ada di sisinya. Soal kasih sayang, Bima memang tidak dia ragukan. Dulu, ketika Anin mengaku hamil. Bima sama sekali tidak menolak kehadiran Cassandra, justru menerimanya dan menyadari kalau itu adalah kesalahannya. "Aku senang, apalagi kalau kita sebagai suami istri selalu dukung keputusan anak-anak. Entah itu Saddam maupun Cassandra."

"Kehamilan mana yang paling menyakitkan, Sayang. Ini atau Cassandra?"

"Ini, Mas. Kalau Cassandra dulu kecil banget. Kayak nggak ada di perut aku."

"Aku pernah dengar, anak yang nggak diharapkan itu sembunyi di rahim ibunya."

"Tapi aku nggak pernah ngerasain nggak harapin Cassandra, Mas."

Bima mendongakkan kepalanya. Pria itu kemudian tidur di sebelahnya Anin. Dia mengakui kalau kehamilannya kedua ini sangat berat sekali, bau menyengat paling dia benci. Terutama pakaiannya Bima yang baru selesai disetrika, dia akan berusaha untuk meminta suaminya maupun anaknya untuk memasukkan ke dalam lemari.

"Besok aku berangkatnya cepat, Sayang."

Anin mengangguk. "Oke, mau bekal apa besok?"

"Apa aja, yang penting kamu masakin."

Bima tidak pernah pilih-pilih kalau soal makanan, sangat mudah bagi Anin untuk memenuhi keinginan sang suami yang sederhana tapi sangat menyenangkan.

Keesokan harinya, anak-anak ada di rumah. Bima sudah berangkat terlebih dahulu. "Kalian nggak sekolah?"

"Nggak, Ma."

"Nggak, Kak. Ada acara di sekolah."

Pantas mertuanya juga sudah berangkat pagi-pagi sekali. Anin yang sedang sarapan dengan dua anak itu mulai bertanya perihal kampus. Karena Bima memintanya semalam. "Kalian udah putuskan mau ke kampus mana?"

Kado Untuk CassandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang