Satu piring mendarat ke lantai dan pecah, berserakan begitu saja. Kaki Ayana terkena sedikit pecahan piring tersebut dan berdarah, ia menahan kesakitan. Namun, jauh lebih sakit tamparan Hilmi, Aba-nya.
"Sudah berani sekarang kamu, Ayana! Apa yang kamu lakukan itu melanggar aturan Allah!" bentak Hilmi ke sekian kalinya.
"Aku udah coba buat hubungin orang rumah, nungguin dua jam lebih sampe kedinginan, tapi kalian semua gak aktif termasuk Aba," terlontarlah kata-kata itu dari mulut Ayana yang dulunya hanya diam saja. Ia mencari pembelaan.
Sementara Naya, ia mencuri-curi kesempatan untuk naik ke atas. Setibanya di atas, gadis kelas 6 SD itu mendengar suara hape Ayana yang berdering. Diambilnya hape tersebut karena kamar Ayana tak terkunci, tertulis di layar ponsel "Zidan".Naya mengangkatnya, ia mengira itu teman sang kakak. Tanpa bersuara, ia berjalan ke arah bawah, mendekatkan hape tersebut ke sumber suara tak mengenakkan di bawah sana, agar Zidan mendengarnya.
"Apakah itu termasuk udzur syar'i hah?! Gak usah sok nyari alasan kamu! Kamu pasti kegirangan dibonceng laki-laki non mahram-kan?!" semprot Hilmi, ia sangat murka mengetahui putrinya yang telah berboncengan dengan lelaki lain.
"Aku gak pegang-pegangan, Ba. Gak seperti yang Aba bayangin...." lirih Ayana menahan tangis, ia sangat merasa bersalah.
"PLAK!" tampar Hilmi mengenai pipi kanan Ayana yang masih biru bekas tamparan kemarin.
"Masih berani bicara kamu?! SUDAH TAHU ITU SALAH, TERUS SAJA MENGELAK?!"
"Aba... udah, Ba... udah," Lina, alias Uma, sedari tadi mencoba untuk melerai.
Ayana sudah lelah membela dirinya, apa yang Aba katakan memang benar. Walaupun masih terasa gamang di kepala Ayana, tetapi intinya lebih baik ia diam menyudahi perdebatan ini dan segera bertaubat kepada Allah.
"Hiks...hiks...hiks..." Ayana tersedu-sedu hebat. Jempol kakinya bercucuran darah tertancap pecahan piring, pipinya semakin membiru, hatinya terasa sakit sekali.
"Jangan pernah anggap hal seperti ini sepele! Aba marah karena Aba gak mau kamu terkena pergaulan bebas!" jelas Hilmi.
"Tapi caranya salah, Mas... sudah, kasian anak kita... ini bisa dibicarakan dengan kepala dingin," ucap Lina, ia tahu tujuan Hilmi tidak salah, sangat baik malah. Hanya saja, caranya yang salah, Hilmi selalu menggunakan cara amarah, bentakan, dan tamparan.
"Kamu ini, terus saja membela anakmu yang salah! Kalau tidak dengan cara ini, gak akan mempan! Lihat, dia dibentak saja makin hari makin ngeyel dan nakal, apalagi tidak-"
"Astaghfirullah!" kaget Lina saat melihat Ayana tiba-tiba tersungkur di lantai, tubuhnya jatuh di antara pecahan piring yang tadi, otomatis pecahan-pecahan itu tertancap di pundak Ayana. Lina segera menghampiri Ayana.
"Teteh!" Naya ikutan kaget, ia mematikan ponsel dan berlari ke bawah.
Hilmi pun kaget, namun lelaki itu hanya berdiri menatap anak gadisnya yang sangat mengenaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive Me: I'm Just in Love
Teen FictionAyana Rumaisha Anindya, gadis yang baru saja lulus SMP dari pondok pesantren itu harus melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri. Tentu tidak mudah untuk beradaptasi, mulai dari pelajaran hingga pergaulan yang berbeda jauh dengan lingkungan asrama. Tak...