Ayana Rumaisha Anindya, gadis yang baru saja lulus SMP dari pondok pesantren itu harus melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri. Tentu tidak mudah untuk beradaptasi, mulai dari pelajaran hingga pergaulan yang berbeda jauh dengan lingkungan asrama.
Tak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Satu piring mendarat ke lantai dan pecah, berserakan begitu saja. Kaki Ayana terkena sedikit pecahan piring tersebut dan berdarah, ia menahan kesakitan. Namun, jauh lebih sakit tamparan Hilmi, Aba-nya.
"Sudah berani sekarang kamu, Ayana! Apa yang kamu lakukan itu melanggar aturan Allah!" bentak Hilmi ke sekian kalinya.
"Aku udah coba buat hubungin orang rumah, nungguin dua jam lebih sampe kedinginan, tapi kalian semua gak aktif termasuk Aba," terlontarlah kata-kata itu dari mulut Ayana yang dulunya hanya diam saja. Ia mencari pembelaan. Sementara Naya, ia mencuri-curi kesempatan untuk naik ke atas. Setibanya di atas, gadis kelas 6 SD itu mendengar suara hape Ayana yang berdering. Diambilnya hape tersebut karena kamar Ayana tak terkunci, tertulis di layar ponsel "Zidan".
Naya mengangkatnya, ia mengira itu teman sang kakak. Tanpa bersuara, ia berjalan ke arah bawah, mendekatkan hape tersebut ke sumber suara tak mengenakkan di bawah sana, agar Zidan mendengarnya.
"Apakah itu termasuk udzur syar'i hah?! Gak usah sok nyari alasan kamu! Kamu pasti kegirangan dibonceng laki-laki non mahram-kan?!" semprot Hilmi, ia sangat murka mengetahui putrinya yang telah berboncengan dengan lelaki lain.
"Aku gak pegang-pegangan, Ba. Gak seperti yang Aba bayangin...." lirih Ayana menahan tangis, ia sangat merasa bersalah.
"PLAK!" tampar Hilmi mengenai pipi kanan Ayana yang masih biru bekas tamparan kemarin.
"Masih berani bicara kamu?! SUDAH TAHU ITU SALAH, TERUS SAJA MENGELAK?!"
"Aba... udah, Ba... udah," Lina, alias Uma, sedari tadi mencoba untuk melerai.
Ayana sudah lelah membela dirinya, apa yang Aba katakan memang benar. Walaupun masih terasa gamang di kepala Ayana, tetapi intinya lebih baik ia diam menyudahi perdebatan ini dan segera bertaubat kepada Allah.
"Hiks...hiks...hiks..." Ayana tersedu-sedu hebat. Jempol kakinya bercucuran darah tertancap pecahan piring, pipinya semakin membiru, hatinya terasa sakit sekali.
"Jangan pernah anggap hal seperti ini sepele! Aba marah karena Aba gak mau kamu terkena pergaulan bebas!" jelas Hilmi.
"Tapi caranya salah, Mas... sudah, kasian anak kita... ini bisa dibicarakan dengan kepala dingin," ucap Lina, ia tahu tujuan Hilmi tidak salah, sangat baik malah. Hanya saja, caranya yang salah, Hilmi selalu menggunakan cara amarah, bentakan, dan tamparan.
"Kamu ini, terus saja membela anakmu yang salah! Kalau tidak dengan cara ini, gak akan mempan! Lihat, dia dibentak saja makin hari makin ngeyel dan nakal, apalagi tidak-"
"Astaghfirullah!" kaget Lina saat melihat Ayana tiba-tiba tersungkur di lantai, tubuhnya jatuh di antara pecahan piring yang tadi, otomatis pecahan-pecahan itu tertancap di pundak Ayana. Lina segera menghampiri Ayana.
"Teteh!" Naya ikutan kaget, ia mematikan ponsel dan berlari ke bawah. Hilmi pun kaget, namun lelaki itu hanya berdiri menatap anak gadisnya yang sangat mengenaskan.
Cerita yang dipromosikan
Kamu akan menyukai ini
🌷🌷🌷
Zidan menutup mulutnya yang menganga, ia sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hatinya sakit sekali, mengetahui orang yang ia cintai dibentak dan ditampar habis-habisan. Seketika air mata Zidan tumpah, Ayana kuat sekali. Ingin rasanya ia berada di sana, menolong Ayana, membela Ayana. Namun apa dayanya? Kini ia tengah terkurung di penjara suci, lagipula usia mereka belum cukup untuk menjalin sebuah ikatan halal.
"Ya Allah... tolong jangan lukai Ayana, kuatkan dirinya. Tolong bahagiakan Ayana dengan cara-Mu, Ya Allah... aku tak mungkin bisa ada di sisinya saat ini, dan bahkan aku tak akan pernah mungkin mengajaknya berada di hubungan yang Engkau larang, pacaran. Walaupun terasanya sangat indah, aku bisa terus menjaga Ayana tanpa perlu khawatir ada orang lain yang mengambil hingga melukainya, aku bisa terus membahagiakan Ayana, bersama Ayana selalu dengan cara berpacaran. Tapi itu jelas-jelas cara yang salah... aku sangat menghormati Ayana sebagai wanita, wanita yang sangat Engkau muliakan, Ya Allah... hanya do'a-do'a yang bisa aku panjatkan saat ini. Tolong jaga dirinya, lindungi dan bahagiakan dirinya, Ya Allah... Semoga Aba-nya gak bersikap kasar kayak tadi lagi, kuatkan Ayana, Ya Allah..." Zidan berdo'a di sepertiga malamnya, ia menangis dalam balutan tahajud.
Andai saja tadi ia tak bisa mengontrol diri, tentu sudah pasti Zidan akan segera berlari mengetuk pintu Ustadz Ahmad, lalu meminta izin agar bisa keluar dari pondok, menghampiri Ayana yang akan dibawa ke rumah sakit.
Tapi Zidan menarik nafas, menenangkan dirinya usai sambungan telepon terputus. Meletakkan hapenya dengan sangat hati-hati, lalu keluar dari sana. Menuju masjid, mengambil air wudhu, lalu menjalankan sholat tahajud.
🌷🌷🌷
Arka bangun dari tidurnya, ia terkaget ketika melihat jarum jam yang sudah ke angka 5. Arka telat, ia tidak bisa sholat shubuh berjama'ah di Masjid.
"Astaghfirullah!" istighfar Arka sambil bergegas bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu.
Tak pernah Arka meninggalkan sholat berjamaah di Masjid, baru kali ini saja. Tadi malam, Arka sulit tidur karena memikirkan Ayana yang baru ia bonceng kemarin sore. Ya, Arka overthinking. Takut jika Ayana dimarahi oleh orang tuanya, di sisi lain hatinya diliputi kupu-kupu.
"Ya Allah, maafkan saya..." lirih Arka sangat menyesal usai mengerjakan Sholat Shubuh.
"Ya Allah, saya telah lalai. Saya salah, saya bersalah..." isak Arka, terus menangis. Ia tak mengerti dengan perasaannya sekarang, bercampur aduk. Hatinya bergemuruh, batinnya berdebat.
Selepas berdo'a, Arka membaca Al-Qur'an sampai pukul 6. Lalu mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Saat menghidupkan motor, seseorang datang dan menyapa dirinya.
"Assalam'alaikum, numben lo gak ke Masjid tadi?" salam Semesta. Ya, orang itu adalah Kakaknya Nitha.
Semesta dan Arka memang sudah dekat sejak dua tahun yang lalu, tempat tinggal mereka berdekatan, namun Nitha tidak pernah tahu bahwa kakaknya berteman baik dengan Arka.
"Eh, wa'alaikumussalam. 'Afwan, Mas, tadi terlambat bangun," respon Arka sambil berjalan mendekati Semesta.
Selain kenal dan dekat, Semesta adalah orang yang sangat berjasa bagi Arka. Pemuda berusia 19 tahun itu tak pernah pelit membagi ilmu agamanya kepada Arka, hampir setiap pagi atau malam, Arka berguru kepada Semesta.
"Oh, udah sarapan belum? Ayo ke rumah gue," ajak Semesta, ia juga sering menawarkan Arka untuk makan bersama di rumahnya, namun Arka selalu menolak. Pernah beberapa kali, hanya saja kebetulan setiap Arka datang ke rumah, Nitha tidak pernah ada.
"Nggak usah, Mas, syukron. Gue ntar sarapan di sekolah aja, takut telat, ada kerjaan juga yang belum diselesaikan," tolak Arka. Dengan Semesta, Arka tidak begitu cuek, justru seringnya Semesta dijadikan tempat curhat.
"Ya sudah, gak papa, semangat sekolahnya, gue duluan ya, assalamu'alaikum," pamit Semesta sambil berlalu dari halaman kosan Arka.
Arka mengacungkan jempolnya. Setelah Semesta pergi, Arka membuang nafas kasar, memejamkan mata sebentar. Arka masih sangat merasa bersalah, sepertinya ia harus membincangkan soal ini kepada Semesta.
К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
🌷🌷🌷
Lina dan Naya terduduk lesu di samping ranjang rumah sakit yang ditiduri oleh Ayana. Sampai pagi ini, gadis malang itu belum juga membuka kelopak mata. Terpasang selang infus di tangan miliknya, kedua kakinya diperban, beberapa bagian daerah lengannya pun demikian. Dokter bilang, Ayana terkena tipes. Mungkin sudah beberapa hari ia menahan rasa sakit itu, sehingga gadis itu bisa terbaring sangat tak berdaya hari ini.
Sementara Hilmi, sudah pulang ke rumah untuk siap-siap bekerja. Padahal ia bisa saja izin karena anaknya sedang sakit. Tak mengerti jalan pikiran bapak anak dua itu, semakin hari semakin cuek dan sering marah-marah. Seakan lupa, bahwa Ayana juga anak perempuan dari darah dagingnya, titipan Allah yang harus ia jaga dan sayangi dengan sepenuh cinta.
"Kamu udah izin ke wali kelas kan, Dek?" tanya Lina memastikan putri bungsunya. Naya mengangguk. Ia tampak sangat sedih melihat sang kakak terbaring lemas tak berdaya.
"Tetehmu kuat sekali, Dek," ujar Lina sembari memandang Ayana yang pucat pasi.
"Iya, Ma, teteh pasti bakal bangun dan sembuh," respon Naya lesu. Jika Ayana tiada, dirinyalah yang akan menjadi orang paling merasa bersalah dan menyesal.
Lina memeluk Naya dari samping. Wanita berkepala tiga itu hanya bisa bersabar dan berdo'a yang terbaik untuk anak-anaknya. Hilmi sudah sulit dikendalikan oleh dirinya lagi, entah hal apa yang membuat Hilmi berubah hampir 360 derajat dari awal pernikahan mereka.
"Syafaakillah ya Ayana, la ba'sa thahurun, Insya Allah," do'a Lina, begitulah yang diajarkan Rasulullah ketika hendak mendoakan orang yang sakit.
"Maafin Naya ya, Teh, Naya gak bisa jadi adek yang baik buat Teteh," batin Naya.
Dalam dinginnya ruangan rumah sakit, dalam baringnya Ayana. Terdapat satu sosok yang sangat mengkhawatirkan gadis itu. Mati-matian ia mengusir rasa sedih, gelisah, dan perasaan-perasaan tak enak yang mengganggu belajarnya di pondok. Susah payah pemuda itu meyakinkan hatinya bahwa Ayana telah dijaga oleh keluarganya dan baik-baik saja. Sulit sekali jika jiwa dan batinnya tak berperang di bawah atap kelas 10, di depan seorang Ustadz yang sedang memaparkan materi. Siapa lagi kalau bukan Keenan Zidan Adhyaksa?
К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
🌷🌷🌷 𝙻𝚊𝚖𝚙𝚞𝚗𝚐, 𝟺 𝙼𝚎𝚒 𝟸𝟶𝟸𝟹️🖍️
Keep strong, Ayana😿
-- Vote nya yaa janlupp, lop lop😀💘 -- See u di bab berikutnyaa!