LOUDER THAN BOMBS

124 22 7
                                    


LEVI MELLIO

Aku dan Vion berjalan bersisian setelah pulang dari pasar untuk menjual tanaman obat. Kami cukup banyak mendapat koin perunggu, sehingga Vion mengoceh karena terlalu senang. Ia terlalu banyak bicara, menurutku, atau mungkin aku yang terlalu banyak diam. Ia juga sangat berlawanan dengan adiknya yang pemalu. 

"Hei, Levi. Boleh aku minta sedikit uang ini untuk membelikan Aurum sesuatu?" tanyanya tiba-tiba. "Aku mau menabung."

"Jangan banyak-banyak. Kita butuh untuk membeli senjata dan makanan."

"Kau menyebalkan sekali," gerutunya. "Tapi, kumaafkan karena kau sudah menjaga adikku dengan baik."

Aku hanya terdiam saat ia bicara tentang Aurum. Andai ia tahu apa yang dialami adiknya saat itu, Vion pasti tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Andai aku tidak menyelamatkan Aurum, Vion gagal lagi meski sudah memakai sihir terlarang.

"Aku harusnya mengucapkan terima kasih padamu," lanjutnya sedikit canggung.

Ia bilang tak mengingat banyak tentangku. Yang diingatnya dari kehidupan sebelum sihir waktu adalah aku tertangkap dan dihukum mati. Katanya, ia sempat melihatku saat penyerangan Desa Viore, juga ibuku yang diseret paksa oleh prajurit bernama Jean yang telah kubunuh sebelumnya. 

Keheningan tercipta beberapa detik. Vion menatap ujung sepatunya dan terus melangkah. Namun, ia kemudian berhenti. Aku sedikit mendahuluinya, tapi akhirnya berhenti juga dan menoleh padanya.

"Terima kasih pun tidak cukup untuk membalasmu."

"Jangan berterimakasih. Kau sudah banyak berkorban. Bahkan jika harus, akulah yang pantas berterimakasih padamu," kataku.

"Hei, jangan bicarakan soal sihirku lagi. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

Bohong jika aku tidak khawatir. Bahkan sampai saat ini banyak sekali hal yang telah hilang darinya. Dia pikir aku tidak tahu? Ia bisa kehilangan apapun, bahkan kebahagiaannya sendiri. Yang jelas bayaran itu jauh lebih mahal karena dia telah mendapatkan kembali sebagian ingatan yang seharusnya hilang.

Kami memandangi salah satu papan kayu yang ditempeli poster kami. Jelas sekali, Vion dan aku memang aktor utama bagi Lucas. Lucas memang ingin menggulingkan dan memusnahkan Reich, tapi ia dibuat ketar-ketir oleh keberadaan Vion dan aku. Apakah Viore sangat menakutkan baginya? 

Aku membelikan nasi kepal untuk Vion. Dia selalu menolak saat aku menawarinya sesuatu, tapi perutnya yang kerocongan bisa kudengar jelas. Aku memaksanya makan nasi kepal yang kubeli di warung. Katanya, ia tidak suka makanan pedas. Jadi, kubelikan nasi kepal isi ayam teriyaki.

Aku senang melihatnya makan dengan lahap. Ada sesuatu darinya yang sangat mirip dengan Aurum, mungkin cara makannya atau caranya menatapku dengan lucu. Aku jadi merasa bodoh karena sebelumnya tidak menyadari kalau mereka bersaudara.

"Aku ingin mendengar banyak cerita tentang adikku," kata Vion tiba-tiba membuat kami berdua malah saling bertatapan erat. 

Aku memutuskan tatapan itu dengan cepat. Anak itu lalu sibuk memakan nasi kepalnya sambil menungguku angkat bicara. Aku ingat Aurum selalu menceritakan padaku banyak hal tentang kakaknya. Ia juga senang melukis sesuatu yang berhubungan dengan kakaknya. Tapi, sepertinya pertemuan mereka malah menjadi masalah.

"Malam itu hujan deras, tapi kobaran api besar tak kunjung padam. Aku menemukan Aurum yang menangis ketakutan di dalam sebuah gudang penyimpanan milik koperasi desa Viore. Anak itu basah kuyup karena hujan deras. Gudang itu terbakar, tapi anak itu masih berada di dalam sana," kataku menceritakan bagaimana aku bertemu dengan Aurum. "Dia lucu, matanya besar dan badannya gempal."

Behind The Story of King's Diary (Brothership)Where stories live. Discover now