28. Beda Cara, Sama Rasa

546 79 70
                                    

"Daniel."

"Loh, Putri?"

Bentuk panggilan dan jawaban yang langsung membuat Clarissa jadi bergumam seorang diri di dalam hati, "Mantannya Om Buaya lagi nih pasti."

Clarissa jelas tak ingin ikut campur dan berencana untuk segera pergi, tapi genggaman tangan erat Daniel pada tali tas kuning kesayangan Clarissa membuat putri tunggal keluarga Tanuwijaya jadi tak bisa melarikan diri.

"Kamu, pulang dan pergi, harus sama aku, Cil. Jadi, kamu nggak boleh kabur-kaburan."

Berontak supaya Daniel mau melepaskan tali tas milik Clarissa, tapi usaha pemberontakan Clarissa jadi terasa sangat sia-sia, karena Daniel malah makin menarik Clarissa supaya tetap berdiri di sisinya. "Tetap di sini, sama aku."

Merasa percuma, akhirnya, Clarissa memilih diam tanpa suara. Apalagi saat seorang perempuan berambut coklat yang tadi memanggil Daniel sudah mendekat dengan senyum merekahnya. Maka Clarissa seperti sudah langsung bisa menebak bagaimana kelanjutan adegannya, bahwa perempuan berpakaian modis ini pasti juga deretan mantan sang buaya darat kelas kakap yang terkenal sekali di kota Yogyakarta.

"Di sini, lagi apa, Dan? Mau ketemu sama aku ya?"

Bahkan nada suaranya sungguhan sudah sangat mendayu-dayu. Maka Clarissa semakin yakin bahwa ini memang pertemuan dengan mantan seperti yang lalu-lalu. Yang pasti akan banyak mengungkit kejadian yang dulu. Juga seolah ingin menjadikan Clarissa seperti pihak ketiga yang ingin segera dipukul mundur supaya tak mengganggu.

Baiklah.

Biarkan jadi urusan Daniel untuk mengatasi semua kisah masa lalunya. Kita jadi penonton saja yang menikmati acara.

"Ngapain? Baru ketemu, kok udah langsung ngarep begitu ya." Respon terlampau pedas dari Daniel yang membuat Clarissa jadi sedikit tersenyum di dalam hatinya.

Apa Clarissa sedang sangat bahagia karena Daniel tegas sekali dengan batasannya?

Sepertinya, memang begitu. Meski jawaban pastinya, hanya Clarissa yang tahu.

"Ya kan, siapa tahu, kamu memang mau ketemu sama aku." Jawaban genit yang membuat bulu kuduk Clarissa jadi bergidik ngeri seperti dilewati gerombolan hantu.

Merinding.

Karena kenapa seorang perempuan berani sekali terang-terangan ingin ditunggu?

Dan sepertinya, pendapat Clarissa juga langsung disetujui oleh Daniel yang jawabannya tetap begitu tajam seperti sebelumnya.

"Sebelum ini, aku aja nggak pernah mencari tahu tentang kabar kamu kaya gimana. Jadi, jelas nggak mungkin kalau aku datang ke sini karena kamu."

Jawaban Daniel sudah terlampau tegas dan penuh penekanan. Tapi seorang wanita yang sejak tadi telah berani mendekati Daniel dengan penuh senyuman, tetap percaya diri sekali menampilkan lenggak-lenggok tubuhnya untuk menarik perhatian.

"Iya. Oke deh. Emang ya, Pak Bos Dewantara Medika, kalau ngomong, masih suka frontal banget."

"Ya memang harus begitu. Biar aku nggak kena modus sama-sama cewek-cewek kaya kamu."

Tertawa karena sindiran pedas yang Daniel berikan, seorang wanita yang sejak tadi telah diberikan tanda penolakan, malah makin maju untuk meneruskan obrolan.

Bagai semua tanda sengit dari Daniel hanya angin lalu yang tak perlu dipedulikan.

"Iya deh. Percaya banget. Soalnya, kamu cuma diem, cewek juga udah pasti banyak banget yang ngantri. Iya, kan?"

"Aduh. Pembahasannya, kok jadi ke sana ya?" Daniel mulai paham bentuk serangan seperti apa yang akan ia terima. Oleh karenanya, genggaman tangan semakin Daniel eratkan pada tali tas kuning kepunyaan Clarissa. Supaya Clarissa tak bisa melarikan diri dari pengawasan putra sulung keluarga Dewantara.

You'll also like

          

Harus tetap waspada.

Jangan sampai benalu yang tiba-tiba datang jadi menghancurkan semua usaha keras yang telah Daniel kerahkan untuk bisa meluluhkan hati Clarissa.

"Iya, Dan. Soalnya, kalau ketemu sama kamu, bawaannya, jadi pengin langsung dandan cantik biar dilirik."

Clarissa makin buang muka. Karena perempuan yang sedang berbicara dengan Daniel kentara sekali sedang melirik sinis ke arah Clarissa. Dan Daniel yang begitu peka, jelas langsung menyadarinya.

"Kamu, ke sini, mau ngapain, Put?"

Daniel bukan ingin meneruskan bahan obrolan. Tapi Daniel sedang ingin menghalau supaya keberadaan Clarissa bisa tetap aman dalam perlindungan.

Begitu.

"Ini, aku mau jemput keponakanku. Anaknya kakakku, Dan."

"Oh, gitu. Aku kira, kamu kerja di sini."

"Nggak lah. Aku masih tetap buka klinik estetika, Dan. Soalnya, aku nggak sesabar itu buat jadi Guru. Apalagi, kalau buat anak-anak SD. Nanti, aku takut jadi banyak ngomel. Nggak kuat aku kalau denger ada yang nangis."

"Wah, konsisten ya."

"Iya dong. Kerja keras banget nih. Biar aku bisa makin sukses juga kaya perusahaanmu. Soalnya, berita tentang Dewantara Medika, beneran santer banget ada di mana-mana loh. Jadi, selamat ya, Dan. Makin kaya. Lancar terus untuk semua usahanya."

"Aamiin. Alhamdulillah. Makasih, Put. Sukses dan lancar juga buat usaha klinik kecantikan punyamu."

Daniel kira, obrolannya sudah aman tanpa cela. Tapi ternyata, lontaran kalimat selanjutnya membuat posisi Daniel jadi bahaya sekali dalam lirikan tajam yang sudah dikeluarkan oleh Clarissa.

Gawat.

"Aamiin. Terimakasih, Dan. Kalau kamu butuh perawatan, atau lagi capek dan butuh relaksasi, datang aja ke tempatku. Sekarang, aku bukan cuma buka klinik estetika aja, tapi juga ada salon dan spa. Jadi, kalau kamu yang datang, khusus buat kamu, pasti aku sendiri yang akan kasih pelayanan. Kalau perlu, aku kasih yang plus deh. Siap banget."

Mendengar bentuk rayuan yang begitu kentara, Clarissa jadi langsung membulatkan kedua mata. Dan Daniel yang akan jadi sasaran empuk amarah yang Clarissa punya, berubah jadi sedikit kikuk dan lekas bergerak cepat memutar otak untuk mencari bahan obrolan lain supaya Clarissa tak semakin murka.

"Aduh. Ngeri banget ya tawarannya."

"Masih usaha ini. Jadi, sini, Dan. Kasih ucapan salam dulu karena kita lagi ketemu."

Daniel masih kalang kabut karena ingin meredakan amarah Clarissa. Tapi seorang perempuan bernama Putri malah mendekati Daniel dengan kedua tangan yang terbuka.

"Eh, Putri. Stop ya. Jaga jarak aman."

"Maksudnya?" tanda tanya dari Putri yang masih teguh ingin memberikan pelukannya.

"Iya. Nggak boleh peluk-peluk."

"Kenapa gitu?" rasa penasaran Putri dengan tatapan yang termangu.

"Ya iya dong. Soalnya, kita, jelas bukan mahram."

Daniel sudah serius sekali memberikan peringatan. Tapi Putri malah tertawa begitu senang, seolah kalimat tegas dari Daniel adalah bahan candaan. "Sejak kapan kamu jadi golongan akhi-akhi kaya gini, Dan?"

"Ya pokoknya, nggak boleh sembarangan peluk aku. Pelanggaran."

"Oke. Kalau nggak mau peluk, salaman, masih mau, kan?" Putri belum mau menyerah dalam memberikan godaan.

Tobatnya 'Seorang' Buaya ✔Where stories live. Discover now