39. Sampai Kapan

492 56 4
                                    

"Rin, lo masih bisa nyanyi, enggak?"

Pertanyaan Bayu yang tiba-tiba itu sukses membuat Karin menoleh dengan kernyit dalam. Ia memberi Bayu pandangan mencela, seolah kalimat Bayu barusan adalah hal paling tidak penting yang pernah ia dengar.

"Pertanyaan lo enggak ada yang lebih berbobot, Bay? Masih pagi, nih."

Bayu tergelak mendengar respons Karin. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di bangku Agni yang masih kosong, tepat di depan Karin. "Maksud gue, lo masih mau enggak kalo dapet tawaran nyanyi?"

"Tawaran?" Karin memandang heran. "Maksudnya?"

"Storyteller kemungkinan diminta ngisi di acara perpisahan kelas dua belas," jelas Bayu. "Belum tahu, sih, beneran jadi apa enggak. Tapi gue sounding aja ke lo sama yang lain. Biar kalo jadi, kalian enggak merasa dadakan banget."

Karin diam. Bukan, bukan perihal tawaran menjadi pengisi acara yang membuatnya bungkam. Melainkan acara yang Bayu sebutkan tadi.

Acara perpisahan kelas dua belas.

Sudah sedekat itukah acara tersebut hingga persiapannya mulai dilakukan? Karin tahu kakak-kakak kelasnya memang sudah melewati Ujian Sekolah serta Ujian Nasional. Bahkan, beberapa sudah jarang muncul di sekolah karena lebih memilih menyibukkan diri dengan bimbel persiapan seleksi masuk perguruan tinggi. Hanya sekian murid kelas dua belas yang masih datang ke sekolah, itu pun biasanya hanya mengurus satu-dua hal, lalu kembali pulang saat hari masih siang. Karin tahu. Ia juga sudah jarang melihat Izar dan gerombolannya di sekolah.

Tapi perpisahan, berarti melepaskan lelaki itu secara utuh. Tidak ada jaminan mereka masih akan bertemu lagi setelah Izar lulus dari sekolah. Karin sendiri tidak berniat melanjutkan pendidikannya di kampus yang sama dengan tujuan Izar. Meski Karin masih suka mengomentari unggahan Izar dan membuat mereka kembali saling berbalas pesan, tidak ada jaminan lelaki itu akan terus mengingatnya. Izar mungkin akan menemukan dunia baru di kampusnya kelak. Memiliki kisah baru dan kesibukan baru. Jauh dari Karin yang, lagi-lagi, tidak memiliki hak apa pun untuk mengetahui keseharian lelaki itu.

"Woe, Karin! Malah bengong!"

Suara Bayu mengembalikan Karin pada kenyataan. Ia mengerjap sebentar. Memandang Bayu yang masih lurus menatapnya, dengan raut setengah gusar karena sempat diabaikan.

"Emang kapan acaranya?" tanya Karin, berusaha menyembunyikan lesu dalam suaranya.

"Awal bulan depan," sahut Bayu. "Harusnya, sih, minggu ini kita dapet konfirmasi jadi apa enggaknya. Biar bisa mulai latihan. Gila, sih, kurang dari sebulan kita mau nyiapin apaan?"

Kurang dari sebulan.

Sesedikit itukah waktu yang tersisa?




***



"Gila, berasa sepi banget, ya, sekolahan sejak anak kelas dua belas udah pada jarang masuk," keluh Fira sembari mendudukkan diri di sebelah Karin.

Empat remaja putri itu tengah menempati salah satu meja di kios favorit mereka di kantin. Suasana kantin sedikit lengang. Masih terlihat banyak meja yang kosong. Berbeda dengan beberapa bulan lalu, ketika tiga angkatan masih lengkap mengikuti jam pelajaran sekolah sesuai jadwal.

"Sebenernya masih ada yang suka masuk, sih." Agni turut bersuara, kepalanya mengedik samar ke arah satu meja di kios sebelah yang diisi oleh siswa-siswi dari kelas dua belas IPS. "Tapi, ya, emang enggak sebanyak biasanya."

"Gue kalo jadi mereka juga males masuk sekolah lagi, orang udah enggak ada urusan," timpal Tasya. "Mendingan intensif bimbel atau banyakin belajar buat SBMPTN."

Under the Spotlight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang