29

40 6 0
                                    

Happy reading!

Arsen baru keluar dari area kampus sekitar pukul empat sore. Bisa dibilang hari ini cukup melelahkan karena ada tiga kelas yang harus ia ikuti secara berurutan. Ia merasa otaknya dikuras habis setelah menyelesaikan mata kuliah terakhir hari ini.

Jam lima sore ini, ia memiliki janji dengan seseorang untuk bertemu di sebuah cafe. Makanya, ia terlihat terburu-buru untuk keluar dari kampus. Sebenarnya tempat yang mereka janjikan tidak begitu jauh dari kampus, tapi mengingat jika jam-jam sekarang ini merupakan puncak kemacetan, Arsen jadi tergesa.

Arsen membuang napas kasar ketika melihat jalan raya dipadati oleh kendaraan, tidak sampai macet, tapi laju mobilnya menjadi pelan. Jujur, berkendara dengan kondisi seperti ini membuatnya kesal.

Arsen merasa jika akhir ini ia menjadi uring-uringan dan gampang emosi dengan hal sepele, ia tak tau apa penyebab pasti perubahan emosionalnya, tapi ia mengklaim jika tidak bertemu dengan Viola merupakan salah satu alasan utamanya. Selain itu, kedatangan Ervan tempo hari juga membuat Arsen tidak tenang.

Mama Arini tidak pernah membahas masalah itu pada Arsen, mungkin beliau sengaja tidak membahasnya sampai sang papa kembali ke rumah. Papanya memang belum kembali dari dinas sejak sepuluh hari yang lalu. Mamanya tidak akan membuat keputusan tanpa persetujuan sang suami.

Terhitung sudah seminggu lebih ia tidak bertatap muka langsung dengan Viola. Mereka hanya mengandalkan media sosial untuk bertukar kabar, sebenarnya jika Arsen nekat, ia bisa datang langsung ke fakultas Viola. Tapi Arsen takut ketahuan dan malah berimbas pada Viola.

Terkadang, Arsen ingin kembali ke masa sekolah dulu, kala itu ia masih bebas pergi ke mana pun bersama Viola tanpa harus mengemis izin dari keluarga Viola, dan Arsen masih sedikit tidak percaya jika keadaannya sudah berubah. Arsen yakin, jika ini semua merupakan proses pendewasaan yang harus ia lalui.

***

Arsen mengakhiri kegiatan makan dengan mengelap bagian mulut menggunakan selembar tisu. Kemudian mengubah duduknya dengan bersandar pada badan sofa, matanya menatap lurus ke arah cowok seusianya yang duduk di seberang meja.

"Lo beneran nggak lagi sibuk kan, Kris?" tanya Arsen pada teman SMA-nya, Kristo.

"Nggak. Gue perginya masih ntar malem."

Arsen terdiam sejenak sembari memperhatikan Kristo yang tengah menyulut batang rokok dengan korek elektrik. Ada rasa ketertarikan ketika melihat seseorang menyalakan benda bernikotin itu, tapi Arsen tidak memiliki minat untuk mencobanya.

"Gue mau minta pendapat lo, Kris. Gue bener-bener bingung sekarang," ujar Arsen.

"Lo lagi ada masalah sama Viola?" tebak Kristo.

"Jago banget lo nebaknya."

"Ya karena kalo lo ada masalah, pasti nggak jauh dari Viola," celetuknya.

Arsen mengangguk menyetujui. "Sebenarnya bukan sama Viola, tapi keluarganya."

Kristo mengerutkan dahinya, merasa keheranan dengan penuturan Arsen. "Keluarga Viola? Kok bisa?"

Selanjutnya mengalir lah cerita perihal kejadian yang ia alami kepada ketua kelasnya saat SMA dulu.

".... Puncaknya, seminggu yang lalu gue sama Bang Ervan saling pukul, dengan alasan yang sama, nggak suka gue bareng sama Viola. Lebih parahnya lagi, sehari setelah kejadian itu dia datang ke rumah, dia ngomong secara to the point ke gue dan nyokap kalo dia nggak suka gue deket sama Viola. Dia melarang gue main sama Viola apapun alasannya. Sejak itu, gue udah nggak ketemu sama Viola, kita cuma tuker kabar via medsos aja. Satu hal yang masih janggal menurut gue adalah kenapa Bang Ervan bisa sebenci itu sama gue? Padahal sepanjang gue sama Viola, gue memperlakukan dia dengan baik. Gue kehilangan fokus gara-gara terlalu dalam mikirin masalah ini, Kris."

YOU ARE MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang