Ada yang Sadar, Ada yang Terluka

885 171 64
                                    

"Gue sudah di sini, Ta. Lo tenang, ya. Semua aman. Om sama Tante juga bentar lagi sampai."

Arletta mengebus napas seraya meremas selimut. Pelipis kirinya berdenyut-denyut gila. Lambungnya mual bergejolak saking pusingnya. Entah sudah berapa lama dirinya terisap di dunia antah berantah, tapi rasanya menyiksa sekali.

Sejak membuka mata dan mendapati ruangan serba putih di hadapannya, sekujur badannya seperti remuk. Sakit di semua titik. Yang paling menyiksa hingga membuat air matanya menitik adalah kepala dan bahu kiri.

Setelah membuka mata, butuh beberapa menit untuknya menyadari keadaan. Ia di rumah sakit. Perawat dan dokter langsung memanggil namanya beberapa kali ketika matanya terasa berat. Mereka terus memaksanya tetap terjaga apapun yang terjadi, padahal saat itu Arletta ngantuk luar biasa. Itu adalah rasa ingin tidur terberat seumur hidupnya.

"Kami sudah memberitahu keluarga Ibu. Mereka dalam perjalanan ke sini."

Butuh setengah jam tambahan baginya bisa melihat orang yang dikenal. Marshal, sepupunya, dia yang muncul duluan. Lelaki itu melesat dari kantor polisi. Orang tua Arletta masih terjebak macet. Dan Qwin ... ——oh, di mana si cantik itu? Kenapa dia tidak menungguinya seperti di mimpi?

"Qqq qwin ... " Arletta merasa kaku ketika lidahnya digerakkan. Ia tidak menyangka tidurnya bisa mengendurkan fungsi tubuh. Semoga hal itu, juga kesakitan yang mencekam sisi kiri badannya tidak mengindikasikan hal buruk apapun.

"Qwin dalam perjalanan ke sini, gue sudah bilang Sagan tadi."

Perut Arletta makin bergejolak saat Marshal mengucapkan satu nama. Tidak bisa ditahan lagi, ia muntah ke samping kanan. Cairan putih mengotori seragam dinas Marshal.

Arletta sudah mengucapkan maaf tapi sepertinya Marshal tidak mengerti. Sensasi menjijikan, marah, dan jengkel tiba-tiba menggelora. Sungguh, ia tidak paham kenapa hatinya sepanas ini. Entah marah karena badannya sakit semua. Atau kesal karena mualnya membumbung. Atau gerah lantaran ia harus menunggu satu jam lebih untuk bisa melihat orang yang dikenalnya sejak membuka mata. Ia benar-benar tidak paham.

"Mual banget, Ta?" tanya Marshal senewen. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, mencari petugas medis. Menyadari tindakannya sia-sia ——lantaran dirinya berada di ruang rawat inap khusus satu orang—— ia lantas beringsut ke tepi kasur. Siap menekan tombol panggilan.

Sebelum Marshal menekan tombol, Arletta menjeda gerakannya. Perempuan itu menggeleng dengan wajah meringis.

"Ppp... ppusing," kata Arletta pendek. "Ttii... ttiii. Dur."

"Tidur yang nyenyak, Ta. Jangan terlalu maksain mikir ke mana-mana."

Arletta memejamkan mata. Rasa sakit ini amat menyiksa. Ditambah rasa mual yang tidak tertahankan, ia harap segalanya segera membaik.

*
*
*

"Red velvetnya enak banget, ya. Tapi bukan best seller. Ini yang dibilang paling laku justru standar saja rasanya."

Sagan mengimani pendapat Malvi. Kue beludru merah yang mereka pesan rasanya fantastis. Tidak terlalu manis tapi rasa krimnya kuat. Dalam hati Sagan berniat, kapan-kapan ia akan pesan lagi. Tapi Malvi jangan sampai tahu.

Mereka sedang berada di kafe yang letaknya berseberangan dengan The Kevik. Sagan cukup terkejut ketika tahu-tahu ada kompetitor baru di depan sana. Kemarin-kemarin ia terlalu sibuk dengan Qwin, sehingga menganggap kehadiran kafe ini sebagai angin lalu. Ketika Malvi menunjukkan adanya penurunan omzet di satu bulan terakhir, barulah alarm peringatannya berbunyi.

Kepala Malvi mengitari sekeliling. Sejak tadi tempat ini ramai dikunjungi. Bukan saja pada waiting list, tapi juga antrian ojek daring. Sementara itu, kafe miliknya tampak sepi di seberang sana. Cuma si kurus Mylo yang tertangkap mata, sedang khusyuk membersihkan kaca jendela. Benaknya bertanya-tanya, apa yang bikin kafe ini lebih ramai dari The Kevik?

"Diskon by one get one memang nggak pernah gagal," kata Sagan seperti paham kegusaran kekasihnya. "Menunya juga unik-unik."

Malvi tidak langsung menjawab. Sambil menahan tangan di dagu, ia mengetuk-ngetuk jari pada meja. Sagan tersenyum sumir tanpa disadarinya. Baginya, wajah Malvi yang serius begini tampak menggemaskan. Daripada kebingungan menganalisis bisnis, ia lebih cocok disebut kewalahan mencari cara menjadi Hokage kesembilan. Pfft, bercanda, ya.

"Tapi emang promosi online-nya bagus, sih," Malvi menegakkan kepala. "Coba Mas lihat, deh."

Sagan mendongak ke arah ponsel yang disodorkan Malvi. Selain aktif di media sosial, kafe yang sedang mereka kunjungi ini juga menggaet konten kreator terkenal untuk endorsement. Banyak kawula muda yang terpengaruh. Bukan lagi mulut ke mulut, melainkan jari ke jari.

Secara rasa dan ragam menu, Sagan bisa menjamin The Kevik lebih baik. Masakan Malvina adalah yang terbaik sejagat raya. Kalau dari sisi harga sepertinya standar, alias sebelas dua belas. Tapi berhubung si kompetitor sedang mengadakan diskon, jadinya kelihatan lebih murah.

Malvi mengembus napas sambil menarik kembali ponselnya. Semua menu pesanannya telah tandas. Ia juga sudah mencatat hal-hal penting untuk dijadikan referensi. Well, saatnya kembali ke The Kevik. Berpikir keras bagaimana caranya menarik kembali para konsumen.

"Pergi sekarang?"

Malvi mengangguk atas pertanyaan itu. Sagan ikut beringsut. Setelah menyelesaikan transaksi pesanan, barulah keduanya keluar.

Matahari cukup terik siang itu. Malvi dan Sagan sama-sama mengernyit saat menginjakkan kaki di luar. Sambil berlari-lari mencari jalan teduh, mereka perlu menghindari lalu lalang manusia juga.

"Na, kita balapan. Yang duluan sampai The Kevik boleh ngajuin satu permintaan."

Belum sempat Malvi menjawab, Sagan sudah lari duluan. Gadis itu menyahut protes sementata cowok itu terkekeh sambil bergegas. Tidak mau kalah, Malvi cepat bergerak. Badannya lincah dan lentur menghindari orang-orang.

Senyum Malvi merekah perlahan. Gadis dengan tahi lalat di bawah bibir kiri itu tahu Sagan sedang berusaha menghibur. Dan kalau boleh sok bijak sedikit, sebenarnya ada hal baik mengenai kemunculan kafe baru di seberang The Kevik. Bukan saja ia dan Sagan jadi lebih intens berhubungan, kerinduan lelaki itu terhadap anaknya pun bisa teralihkan.

"Mas Sagan curang!" kata Malvi, entah terdengar atau tidak. Mereka berada di pinggir jalan. Klakson, kecrikan pengamen, dan tawaran penjual asongan bersemarak.

Sagan sepuluh meter jaraknya di depan sana. Tertahan oleh lampu merah. Seperti memanfaatkan kesempatan, Malvi menambah laju dengan langkah panjang-panjang. Naas, belum sempat dirinya sampai di tempat sang kekasih, kakinya terantuk sesuatu sehingga dia meluncur jatuh. Telapak tangan sukses mencium trotoar terlebih dahulu.

"Na!"

Sagan buru-buru menghampiri. Tangannya cekatan membantu Malvi bangkit. Cowok itu bertanya panik perlukah mereka ke dokter, tapi gadis itu menggeleng sambil menempelkan wajah di lengan Sagan.

Beberapa orang sempat terdistrak oleh gedebuk tubuh Malvi tadi. Sebagian mengerubungi, hendak membantu. Tapi sebagian lain mematung bingung.

"Sakit banget, ya?" bisik Sagan sambil membuka kedua telapak tangan Malvi. Ada segores darah di bagian kiri, berbaur dengan kerikil dan kulit yang terkelupas.

Malvi meringis. Telapaknya memang super perih, tapi tidak seberapa dengan harga diri. Malu rasanya jatuh seperti Superman tadi. Ia buru-buru beringsut, tapi malah kembali jatuh. Baru ia sadari kakinya juga terluka.

Melihat hal itu Sagan lantas berjongkok dan memposisikan Malvi di punggung. Dalam sekali gerakan, ia berhasil menggendong gadis itu. Pasang-pasang mata kali ini benar-benar terdistrak sepenuhnya. Apalagi saat Sagan bicara dengan lantang.

"Mbak-Mas-Ibu-Bapak, silakan lanjutin kesibukannya. Jangan dilihatin terus, saya sebenarnya malu juga ini."

Malvi menempelkan muka ke bahu kekasihnya. Tolong jangan ada yang tanya semerah apa wajahnya sekarang. Ia berbisik, "Mas, aku nggak apa-apa. Turunin saja."

"Iya, nanti Mas turunin di kafe."

"Tapi aku berat. Mas nggak pegel?"

Sagan tidak langsung menjawab. Ia menyeberangi jalan dengan hati-hati. "Pegel sebenarnya. Nanti kamu diet, ya." Sebelum Malvi menjawab Sagan sudah menambahkan. "Tapi bohong. Hehehe."

Baik Sagan maupun Malvi tidak sadar, sejak tadi sepasang mata memperhatikan mereka dengan hati terluka.

-bersambung

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now