Pintu Peluang

43 9 4
                                    

Pemasangan palang baru dilakukan oleh beberapa tukang. Yang dulunya sebuah butik, tertulis "Sanggar Menjanji 'Kitjaoe Merdoe' Nona Menoer (khoesoes gadis)" dengan cat warna hijau dan merah.

Mailera, sekretaris Bu Menur yang sudah bekerja dengannya sejak awal tokonya dibuka, menggenggam tangan Laksmi dengan antusias. Ia adalah seorang gadis kuliahan berbadan kurus dan tinggi dengan kulit gelap. Rambut ikal yang ia gelung dengan rapi terkadang jatuh menutupi kacamatanya yang selalu menebal — Laksmi pikir ini disebabkan oleh hobi Mailera untuk membaca sampai larut malam.

Mailera nyengir, "Bagus ya, Bu. Senang aku ke sini lagi. Kalau nggak kerja, tuh, rasanya bosan saja."

Laksmi membelai lengan Mailera, lalu mengangguk ke arah ruko, "Mikrofon dan gramofon sudah ada, tikar juga sudah digelar. Apa lagi yang kurang?"

Mailera mengeluarkan papan jalannya dan membaca dokumennya. Ia menyipitkan mata,
"Kaset vinyl dari rumah Ibu saja yang belum. Kurir dari Yogyakarta baru berangkat siang ini."

"Baiklah," Laksmi melihat jam dinding, lalu menghadap Mailera. "Tolong tuliskan undangan ke setiap taman kanak-kanak di Jakarta yang kamu tahu. Buatlah dalam bentuk surat pendaftaran — apabila mereka mengirimkan kembali dengan tanda tangan, bertambah satu murid kita. Mudah-mudahan lebih."

Mendengar ini, Mailera bergegas menuju ruang tik dan Laksmi pun bergegas menelpon Pak Koes. Siang itu, keluar lah Mailera mendekap dua puluh amplop surat dan menumpahkan semuanya ke keranjang sepeda Pak Koes. Pak Koes bersiul kagum melihat Mailera yang ngos-ngosan,

“Selesai ini semua sehari?”

Mailera mendorong kacamatanya ke posisi yang betul, “Ya. Tolong antar ini semua. Kau urus sendiri urutannya, alamat semua sudah kutaruh di depan surat. Kata Ibu sebelum petang kau harus kembali. Bisa?”

“Bismillah.”

Mailera menghentakkan kakinya dan Pak Koes terloncat kaget. “Aih, jangan gitu saja jawabnya! Sudah ngetik buru-buru aku — bisa atau tidak?”

“Bisa, bisa! Galak amat,” Pak Koes mulai menggowes, “kabur, ah.”

Mailera mengelus dada dan masuk ke dalam kiosk. Bu Menur butuh bantuan banyak, dan Ia akan memastikan semuanya berupaya sebaik mungkin.

Matahari hendak tidur dan burung hantu sudah bertengger di atas pohon, namun Pak Koes belum juga kembali. Bu Menur duduk menunggu di teras toko, memandang ke kejauhan dan berdoa berkali-kali sehingga, baik kurirnya maupun surat-suratnya, kembali dalam kondisi yang aman.

Ia merasakan seseorang menyelimutinya dengan kain sarung tebal, dan tentunya Mailera hendak duduk menemaninya dengan sepasang cangkir teh panas. Laksmi mengucapkan terima kasih, dan meneguk teh tersebut bersamanya.

“Ibadah saja dulu, Ibu,” ucap Mailera, “nanti juga Ia akan pulang.”

Laksmi mengangguk seraya merapikan sanggulnya sedikit. Ketika Ia hendak menuju toko, nyaring terdengar kerincing bel yang membuatnya berbalik badan. Dan betul pula dugaannya, terlihat Pak Koes mengendarai sepedanya dengan senyuman yang lebar.

“Bagaimana? Dapat?,” seru Mailera.

Pak Koes memarkirkan stan, dan mengeluarkan lima buah amplop dari tasnya.

“Lima murid sudah terdaftar.”

Laksmi dan Mailera menjerit senang. Pak Koes tertawa, dan Laksmi pun menjabat tangan Pak Koes dengan penuh syukur. Mailera menampar punggung Pak Koes di tengah semangatnya. Pak Koes meringis, namun terlalu dipenuhi syukur untuk kesal.

Karena sungguh, hari yang sibuk itu pun berakhir dengan hasil yang menyenangkan.

Orkes Cilik Bu LaksmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang