"Dia minta gue harus bertahan, wajib hidup untuk delapan puluh tahun ke depan, supaya gue bisa lihat cucu-cucu gue nantinya." Luka memberitahu datar, acuh tak acuh reaksi Cleo menyemburkan air minum di mulut kemudian.
Cleo terbatuk-batuk, melirik sekilas celana panjang Luka kenakan sedikit terciprat. Tertawa, Cleo benar-benar terhibur celetukan gadis itu entah sedang melakukan apa sekarang.
Lain halnya Gemala yang bersantai di kursi pijat berhadapan dengan jendela kamar perawatan, menoleh terkejut lalu kembali bersandar nyaman usai melempar senyuman pada sang anak dan Cleo.
Gemala berjanji dalam hati, jika bertemu Acasha maka dirinya akan mengucapkan terima kasih banyak-banyak sambil mengecup pipi gembil Acasha.
Jarang sekali menemukan Luka lebih dulu mengawali pembicaraan bersama seseorang, apalagi orang itu salah satu sahabat terbaik anaknya, pembicaraan mereka berdua sama sekali tidak membahas tentang pekerjaan.
"Terus Acasha minta gue
menghargai kehidupan dan menganggap kata kematian itu sesuatu yang mengerikan," lanjutnya."Serius?" Cleo terpana. Luka bergumam mengiyakan. "Kata-kata itu pasti cuma lo anggap sepele, tapi, Ka. Gue selalu berharap kali ini turutin yang Acasha minta, pada dasarnya dari dulu Acasha nggak pernah minta apapun sama lo ...." Cleo tersenyum tulus.
Luka terdiam.
Menghargai kehidupan dan menganggap kata kematian itu sesuatu yang mengerikan.
Apa dia pantas? Ada kalanya Luka merasa hatinya teramat kosong secara bersamaan menyimpan kegetiran.
Bertanya-tanya, mengapa selalu selamat setiap mencoba mengakhiri hidup, padahal yakin detik-detik sebelum kehilangan kesadaran, sayatan atau tusukan dia buat sudah terlalu parah.
Luka berbaring, menutup mata dengan lengannya. "Bakal gue coba." Luka berbisik, tampak tidak berharap banyak.
Jika kelak penyakitnya kambuh kembali, lebih baik Luka memutuskan terjun dari gedung saja.
"Jangan mikir aneh-aneh. Ini demi orang-orang di sekeliling lo termasuk Acasha." Cleo bersila di bangku, dalam pangkuan piring berisi potongan apel sekaligus mangga sesekali Cleo suapkan ke mulutnya sendiri.
Penampilan pria bermarga Rageswara tersebut dengan jas dokter semakin menunjukkan karisma hangatnya.
"Gue mau ketemu Acasha." Luka mendadak merindukan ocehan gadis itu, selama dua hari belakangan mereka belum bertatap muka karena Acasha yang sibuk mengejar ketinggalan di mata pelajaran.
"Nanti sore Aca ke sini," sahut Cleo menghentikan gerakan Luka hendak mengambil ponsel di nakas.
Keheningan yang terjadi setelahnya hanya berlangsung lima menit. Brankar Luka agak berderit di susul Cleo sontak beranjak, piring Cleo pegang nyaris terjatuh.
Tindakan Luka secara tiba-tiba duduk, sungguhan mengagetkan Cleo. Raut wajah Cleo menyiratkan kekhawatiran, begitu pun Gemala yang berlari mendekat.
"Kenapa? Bagian mana yang sakit?!" Gemala bertanya panik.
Luka tidak mengatakan apapun, kepalanya tertunduk sambil menutup muka.
"Ka." Cleo memanggil, mencoba meraih tangan Luka berniat menjauhkan. Lewat tangan kosong Luka masih bisa menyakiti diri sendiri, entah itu mencakar kulit hingga mencekik leher.
Luka menepis, tetapi sebagai gantinya beralih mencengkeram punggung tangan kanan Cleo. Saling tatap, Cleo tercekat.
"Mungkin, Acasha itu ... Narasea." Luka berujar lirih.
***
Berjalan berdampingan di koridor, mengabaikan ributnya tiga orang di belakang tengah mendebatkan film yang akan kelimanya tonton nanti di akhir pekan.
Setiap Sashi bertanya sekedar Acasha jawab terserah. Acasha di situasi gugup bercampur cemas kini, jika sewaktu-waktu Yasa kembali membahas kejadian di taman belakang JHS beberapa jam yang lalu.
"Arloji di pergelangan kamu enggak aktif, kan?" Yasa sedikit menunduk. "Kalau aktif, aku bakal babak belur lagi."
Acasha berdehem. "Sama sekali nggak aktif, makanya kalau ngomong itu mikir dulu."
Yasa tertawa pelan. "Aku punya firasat bakal punya saingan, jadi lebih baik mencegah sebelum terjadi. Teman kamu, yang kamu kenal pas masih cebol banget itu, namanya Yoga, kan?"
Acasha mengeplak pundak Yasa seraya mencibir. "Kamu juga cebol."
***
Tiba di depan gerbang menjulang JHS, Acasha justru di sambut oleh mobil mengkilap lumayan familiar baginya. Menghampiri, di ikuti Sashi yang memekik tertahan saat kaca mobil terbuka sebagian.
Kallen melambai. "Hai, kepompong sayang!" sapanya riang.
Acasha membalas dengan senyuman tipis. "Hai juga, belalang sembah." Acasha buru-buru menahan pintu mobil yang hendak terbuka.
Menyadari pria tampan itu ingin keluar. Bisa kacau, jika Kallen menampakkan diri di ruang publik, mengingat fans fanatik Kallen berada di mana-mana, termasuk Sashi sudah tersipu-sipu.
"Ayah, ngapain di sini?" Acasha berkacak pinggang. Sashi di samping Acasha spontan mendelik mendengar nada suara ketus gadis itu.
Kallen sama sekali tak tersinggung justru tergelak halus. Tangan Kallen meraih sejumput helaian rambut Acasha. "Siang terik begini, rambutnya di kucir biar nggak panas," ujarnya.
"Iya, Ayah." Acasha berbalik, menghadap Janu dan Sakti. "Gue pulang, sampai nanti para babu."
Keduanya kompak berdecak dongkol.
"Sebentar." Giliran Kallen menghentikan gerakan Acasha, air muka Acasha langsung datar. Acasha sengaja cepat-cepat pergi, karena sedari tadi Acasha merasa Yasa terus menatapnya.
"Apalagi, Ayah? Aku cape berdiri." Acasha bertanya gemas.
"Kasih undangan ini dulu sama temen-temen lo, di dalam undangan juga udah terselip nama butik yang harus mereka datangin." Kallen menyerahkan paper bag berukuran sedang pada Acasha.
Sashi, Janu, serta Sakti yang diam-diam memasang telinga sontak melongo, hanya Yasa bersikap paling tenang.
"Yasa, bisa berhenti liatin Aca? Nggak mau, kan, biji mata hilang." Meskipun Kallen mengatakan sambil tertawa kembali, Acasha dan Yasa mengetahui itu adalah sebuah ancaman serius.
***
Langit belum sepenuhnya menjingga, tirai jendela tidak tertutup dengan salah satu jendela di biarkan terbuka. Di kamar luas, interior mewah tersebut terjadi kesenyapan yang panjang.
Acasha terdiam kaku, melirik jemari pucat Luka yang mengelus tepian wajahnya.
"Ayah..." Acasha memanggil hati-hati, "Kenapa?" Lama-lama Acasha risih oleh perlakuan Luka terus-terusan memandanginya bahkan tanpa berkedip.
"Gue kira lo Narasea." Luka bergeser menjauh.
Tubuh Acasha menegang, buku jari di atas paha mengepal kemudian.
"Sebelum kehilangan kesadaran di dapur waktu itu, ada yang aneh." Luka memijit pelipisnya. "Wujud lo berubah."
Acasha bangkit dari kursi, Luka sampai mendongak kaget dibuatnya.
"Wujud berubah gimana maksud, Ayah?! Itu cuma ilusi, halusinasi!" Acasha tanpa sadar meninggikan intonasi suara.
"Maaf." Luka menyambar pergelangan Acasha. "Jangan marah. Lo benar, itu cuma halusinasi, gue gila."
Mata Acasha berkaca-kaca walaupun Luka tampak biasa-biasa saja, Acasha tahu ucapannya telah menyakiti Luka.
Acasha lalu memeluk erat Luka, sepasang tangan Acasha menempel di punggung tegap Luka.
"Lupain Narasea, Ayah. Narasea itu nggak ada. Aku mohon." Acasha berbisik sungguh-sungguh.
****
Fyi, rencananya aku mau cerita ini tamat harus sebelum pertengahan bulan juli, semoga bisa :) intinya siap-siap aja ya...
Kalo part ini votenya bisa 800 atau 850, aku langsung update part selanjutnya!
Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.
Terima kasih❤