73. Just Illusions

12.3K 2.5K 171
                                    

"Dia minta gue harus bertahan, wajib hidup untuk delapan puluh tahun ke depan, supaya gue bisa lihat cucu-cucu gue nantinya." Luka memberitahu datar, acuh tak acuh reaksi Cleo menyemburkan air minum di mulut kemudian.

Cleo terbatuk-batuk, melirik sekilas celana panjang Luka kenakan sedikit terciprat. Tertawa, Cleo benar-benar terhibur celetukan gadis itu entah sedang melakukan apa sekarang.

Lain halnya Gemala yang bersantai di kursi pijat berhadapan dengan jendela kamar perawatan, menoleh terkejut lalu kembali bersandar nyaman usai melempar senyuman pada sang anak dan Cleo.

Gemala berjanji dalam hati, jika bertemu Acasha maka dirinya akan mengucapkan terima kasih banyak-banyak sambil mengecup pipi gembil Acasha.

Jarang sekali menemukan Luka lebih dulu mengawali pembicaraan bersama seseorang, apalagi orang itu salah satu sahabat terbaik anaknya, pembicaraan mereka berdua sama sekali tidak membahas tentang pekerjaan.

"Terus Acasha minta gue
menghargai kehidupan dan menganggap kata kematian itu sesuatu yang mengerikan," lanjutnya.

"Serius?" Cleo terpana. Luka bergumam mengiyakan. "Kata-kata itu pasti cuma lo anggap sepele, tapi, Ka. Gue selalu berharap kali ini turutin yang Acasha minta, pada dasarnya dari dulu Acasha nggak pernah minta apapun sama lo ...." Cleo tersenyum tulus.

Luka terdiam.

Menghargai kehidupan dan menganggap kata kematian itu sesuatu yang mengerikan.

Apa dia pantas? Ada kalanya Luka merasa hatinya teramat kosong secara bersamaan menyimpan kegetiran.

Bertanya-tanya, mengapa selalu selamat setiap mencoba mengakhiri hidup, padahal yakin detik-detik sebelum kehilangan kesadaran, sayatan atau tusukan dia buat sudah terlalu parah.

Luka berbaring, menutup mata dengan lengannya. "Bakal gue coba." Luka berbisik, tampak tidak berharap banyak.

Jika kelak penyakitnya kambuh kembali, lebih baik Luka memutuskan terjun dari gedung saja.

"Jangan mikir aneh-aneh. Ini demi orang-orang di sekeliling lo termasuk Acasha." Cleo bersila di bangku, dalam pangkuan piring berisi potongan apel sekaligus mangga sesekali Cleo suapkan ke mulutnya sendiri.

Penampilan pria bermarga  Rageswara tersebut dengan jas dokter semakin menunjukkan karisma hangatnya.

"Gue mau ketemu Acasha." Luka mendadak merindukan ocehan gadis itu, selama dua hari belakangan mereka belum bertatap muka karena Acasha yang sibuk mengejar ketinggalan di mata pelajaran.

"Nanti sore Aca ke sini," sahut Cleo menghentikan gerakan Luka hendak mengambil ponsel di nakas.

Keheningan yang terjadi setelahnya hanya berlangsung lima menit. Brankar Luka agak berderit di susul Cleo sontak beranjak, piring Cleo pegang nyaris terjatuh.

Tindakan Luka secara tiba-tiba duduk, sungguhan mengagetkan Cleo. Raut wajah Cleo menyiratkan kekhawatiran, begitu pun Gemala yang berlari mendekat.

"Kenapa? Bagian mana yang sakit?!" Gemala bertanya panik.

Luka tidak mengatakan apapun, kepalanya tertunduk sambil menutup muka.

"Ka." Cleo memanggil, mencoba meraih tangan Luka berniat menjauhkan. Lewat tangan kosong Luka masih bisa menyakiti diri sendiri, entah itu mencakar kulit hingga mencekik leher.

Luka menepis, tetapi sebagai gantinya beralih mencengkeram punggung tangan kanan Cleo. Saling tatap, Cleo tercekat.

"Mungkin, Acasha itu ... Narasea." Luka berujar lirih.





The Secret Behind The Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang