Entah bagaimana ceritanya, Pakde Bas - begitu aku memanggilnya - si kakek penggali kubur ikut ke rumah sakit. Pria nyentrik itu hanya memakai kemeja usang dengan celana hitam polos juga sendal jepit, tak ketinggalan cincin akik di jari-jarinya yang berwarna warni.
Di pemakaman tadi, kami saling bicara. Termasuk ceritaku yang mengalir begitu saja. Pria tua ini mendengarkan dengan tenang selama aku bertutur sambil sesekali melirik kebelakang punggungku dengan tatapan kebencian.
Menurutnya saat ini aku tak bisa merasakan Nyi Ireng karena Raden Setya memaksa menutup kemampuanku. Pakde Bas bisa saja membukanya. Tapi melihat beratnya perjanjian ini, pria itu mengurungkan niatnya.
Mas Bambang memutar setir, mengarahkan panther hitam, masuk ke pelataran rumah sakit, tempat Adis di rawat. Sudah lebih dari seminggu, tapi tak ada kemajuan sedikitpun. Wanita itu masih menutup matanya. Kedua mertuaku yang datang sehari setelah musibah itu terjadi, masih setia menunggu sampai sekarang.
Kami berjalan di lorong rumah sakit yang panjang, melewati beberapa pasien dan perawat yang berpapasan. Mas Bambang menyusul sambil berlari kecil dibelakang setelah memarkirkan mobil hitam.
Di ujung lorong sepasang pria dan wanita paruh baya duduk di kursi tunggu, sesekali si ibu akan mengusap wajahnya yang basah. Saat aku mendekat Bapak bangkit menyambutku, tapi kebencian ibu masih belum berubah, bahkan wanita itu semakin tak menyukaiku.
"Andra kue ngengkel tenan. Wes dikandani, ojok lungo karo Adis. Nekat ae ..." Berulang kali menyalahkanku sambil menangis, kata-katanya semakin menyakitkan.
Wanita itu mengabaikan kenyataan bahwa aku baru saja kehilangan Aji, belum lagi keadaan Adis yang tak kunjung membaik membuatku semakin bersedih. Ibu tolong mengerti aku sedikit saja! Nanti dulu kalau mau mencerca.
Bapak terus menerus menenangkan ibu yang menangis tersedu-sedu. Sekalipun aku sudah meminta maaf tapi wanita itu tetap menyalahkanku sepenuhnya, itu juga tidak salah jadi aku hanya bisa mendengar dengan hati nyeri yang diremas berulangkali.
Bapak segera membimbing Ibu pergi menjauh. Wanita itu masih tergugu, wajar saja putri tunggalnya belum juga sadar. Adis, dia tidak hidup tapi juga tidak mati.
"Sabar le," Pakde Bas hanya menepuk punggungku lembut.
Aku menghempaskan diri di kursi kayu putih yang keras, mengangkat wajah yang panas. Air mataku kembali menggenang. Menghela napas, menenangkan gelombang kesedihan yang menghantam. Mau tak mau air mata itu lolos juga, mengalir dari sudut mataku.
Beberapa perawat keluar masuk dari pintu putih tepat di hadapanku. Lorong ini berada di ujung tepat bersebelahan dengan ruang operasi, terkadang beberapa dokter dan perawat berpakaian hijau keluar masuk tergesa-gesa. Kami sudah hampir satu jam di sini, mematung tanpa ada yang bicara sedikitpun.
"Le? Firasatku dari tadi kok ndak enak ya?" Pakde Bas akhirnya membuka suara.
"Ndak enak gimana Pakde?"
"Boleh aku jenguk Istrimu?"
Firasat seorang titisan tak bisa dianggap remeh, aku yakin! Sebab aku sudah membuktikannya berulang kali, jika Pakde Bas berkata seperti itu, mungkinkah terjadi sesuatu pada Adis?
"Ya Pakde, saya bilang dulu sama perawat!" Aku bergegas bangkit tapi Pakde Bas menahan bahuku.
"Sek! Tunggu ojo grasa grusu. Rene ..."
Entah kenapa pria dihadapanku ini tiba-tiba berbaring terlentang di lantai rumah sakit yang kotor, Pakde Bas memang sedikit nyentrik tapi yang benar saja? Ini tempat umum. Mas Bambang saja sampai melotot.
"Le, rogoh bawah pinggangku, cepet!" Ucapnya sambil terlentang. Meski ragu dan tak mengerti aku menurut saja.
"Sudah Pakde!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TEBU MANTEN (SELESAI)
HorrorODOC WINNER SUJU XIII 2023 Warning : Gore and Explicit Content Tahun 1996, PT. Segoro Legi (PT.SL) sebuah perusahaan di pedalaman Lampung tempat Andra mengadu nasib demi istri tercintanya yang kadang ngeyel dan menyebalkan. Gaji dan tunjangan yang b...