"Apa kita sudah boleh keluar?" tanya Verena berjam-jam setelah gelombang raksasa itu berlalu.
"Ya, sepertinya sudah aman." Anne berdiri dan membuka pintu rumah kaca. Di depan pintu itu banyak sekali barang-barang yang berserakan. Pasti barang-barang itu terbawa gelombang tadi dan lajunya tertahan oleh rumah kaca.
Verena berdiri di belakang Anne. Ia memperhatikan bagaimana robot wanita itu membersihkan pintu. Ia tahu kalau Anne mamang kuat, tapi Verena tetap takjub saat melihat Anne mendorong sebuah snowcar agar benda itu tak menghalangi jalan.
Jika tidak ada Anne mungkin Verena akan terjebak selamanya di dalam sana sampai bantuan tiba atau memutuskan untuk memecahkan salah satu dinding rumah kaca.
Meski tak benar-benar bersih, beberapa menit kemudian pintu rumah kaca sudah bisa kembali digunakan untuk keluar masuk. Snowcar yang tadi menghalangi, terdorong beberapa meter. Verena mengerutkan dahi. Rasanya ia begitu familiar dengan snowcar berwarna bitu tua itu.
Verena melangkah mendahului Anne dan memeriksa bagian depan snowcar yang sudah setengah hancur. Kini ia bisa melihat seseorang yang duduk di atas kursi kemudi, dan orang itu adalah orang yang kemarin membuat Verena menangis tanpa henti.
Ya, dia Gareth Northug. Pria itu duduk dengan kepala terkulai ke depan, masih dengan sabuk pengaman yang menahan tubuhnya. Seluruh kaca snowcar pecah. Ada beberapa bekas luka di tubuh Gareth yang meninggalkan bekas noda darah.
"Astaga!" pekik Verena. Ia tanpa sadar melangkah mundur.
Anne buru-buru menghampirinya dan melihat sosok Gareth di dalam snowcar. Tangannya terulur memeriksa napas dan denyut nadi Gareth.
"Denyut nadinya lemah, tapi dia masih hidup," lapor Anne. "Haruskah saya membunuhnya atau kita biarkan saja dia sampai mati sendiri?"
Verena bergidik. Dua ide yang dilontarkan Anne sama mengerikannya. Sebagai orang normal yang hidup lurus, Verena tak pernah membayangkan untuk membunuh seseorang atau melihat orang lain sekarat di depan matanya.
Namun masalahnya orang yang sekarat itu adalah Gareth, orang yang telah membunuh kekasihnya. Apa mungkin ini kesempatan yang diberikan pada Verena untuk balas dendam?
Verena menatap Gareth sekali lagi. Haruskah dia membuhuhnya seperti kata Anne? Lagipula itu lebih baik daripada membiarkannya mati sendiri. Verena punya beberapa tanaman beracun di dalam rumah kaca walau tak ada yang sekuat Oleander.
"Ah, andai saja aku memiliki oleander," gumam Verena tanpa sadar. Tanda lahir di lengannya kembali bersinar dan setangkai oleander tiba-tiba ada dalam genggamannya.
"Nona ...." Anne kelihatan kaget, pun dengan Verena.
Wanita itu mengangkat oleander dalam genggamannya. Ia terdiam beberapa detik sebelum memekik dan menjatuhkan oleander. Menyentuh batang oleander langsung akan membuat kulitnya iritasi.
"Kenapa bunga itu tiba-tiba ada di tanganku?" tanya Verena kebingungan. Ia memeriksa telapak tangannya, mengeceknya baik-baik dan bernapas lega saat tak merasakan dan melihat apapun yang aneh.
"Sepertinya Nona bisa memunculkan bunga di telapak tangan Nona."
"Apa?" Verena kembali menatap telapak tangannya. Ia mengingat-ingat bagaimana oleander itu bisa muncul, tapi yang dia lakukan hanyalah menginginkan bunga itu ada.
Apa aku hanya perlu memikirkannya? Verena menarik napas lalu membayangkan sebuah bunga dalam benaknya. Yang terlintas adalah bunga anemone, karena itu adalah bunga terakhir yang ia petik. Sedetik kemudian bunga itu benar-benar muncul di telapak tangannya bersamaan dengan tanda lahirnya yang bersinar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virgo: A Kind of Magic [END]
FantasySudah sejak lama mereka melupakan keberadaan Dewa, tapi kini mereka percaya kalau Happy Nature adalah rumah Dewa, lebih tepatnya Dewa kebahagiaan. Konon siapapun yang membeli bunga dari Happy Nature, dia akan merasakan kehangatan dan ketenangan. Rom...