💐 Anemone

87 23 34
                                    

"Apa kita sudah boleh keluar?" tanya Verena berjam-jam setelah gelombang raksasa itu berlalu.

"Ya, sepertinya sudah aman." Anne berdiri dan membuka pintu rumah kaca. Di depan pintu itu banyak sekali barang-barang yang berserakan. Pasti barang-barang itu terbawa gelombang tadi dan lajunya tertahan oleh rumah kaca.

Verena berdiri di belakang Anne. Ia memperhatikan bagaimana robot wanita itu membersihkan pintu. Ia tahu kalau Anne mamang kuat, tapi Verena tetap takjub saat melihat Anne mendorong sebuah snowcar agar benda itu tak menghalangi jalan.

Jika tidak ada Anne mungkin Verena akan terjebak selamanya di dalam sana sampai bantuan tiba atau memutuskan untuk memecahkan salah satu dinding rumah kaca.

Meski tak benar-benar bersih, beberapa menit kemudian pintu rumah kaca sudah bisa kembali digunakan untuk keluar masuk. Snowcar yang tadi menghalangi, terdorong beberapa meter. Verena mengerutkan dahi. Rasanya ia begitu familiar dengan snowcar berwarna bitu tua itu.

Verena melangkah mendahului Anne dan memeriksa bagian depan snowcar yang sudah setengah hancur. Kini ia bisa melihat seseorang yang duduk di atas kursi kemudi, dan orang itu adalah orang yang kemarin membuat Verena menangis tanpa henti.

Ya, dia Gareth Northug. Pria itu duduk dengan kepala terkulai ke depan, masih dengan sabuk pengaman yang menahan tubuhnya. Seluruh kaca snowcar pecah. Ada beberapa bekas luka di tubuh Gareth yang meninggalkan bekas noda darah.

"Astaga!" pekik Verena. Ia tanpa sadar melangkah mundur.

Anne buru-buru menghampirinya dan melihat sosok Gareth di dalam snowcar. Tangannya terulur memeriksa napas dan denyut nadi Gareth.

"Denyut nadinya lemah, tapi dia masih hidup," lapor Anne. "Haruskah saya membunuhnya atau kita biarkan saja dia sampai mati sendiri?"

Verena bergidik. Dua ide yang dilontarkan Anne sama mengerikannya. Sebagai orang normal yang hidup lurus, Verena tak pernah membayangkan untuk membunuh seseorang atau melihat orang lain sekarat di depan matanya.

Namun masalahnya orang yang sekarat itu adalah Gareth, orang yang telah membunuh kekasihnya. Apa mungkin ini kesempatan yang diberikan pada Verena untuk balas dendam?

Verena menatap Gareth sekali lagi. Haruskah dia membuhuhnya seperti kata Anne? Lagipula itu lebih baik daripada membiarkannya mati sendiri. Verena punya beberapa tanaman beracun di dalam rumah kaca walau tak ada yang sekuat Oleander.

"Ah, andai saja aku memiliki oleander," gumam Verena tanpa sadar. Tanda lahir di lengannya kembali bersinar dan setangkai oleander tiba-tiba ada dalam genggamannya.

"Nona ...." Anne kelihatan kaget, pun dengan Verena.

Wanita itu mengangkat oleander dalam genggamannya. Ia terdiam beberapa detik sebelum memekik dan menjatuhkan oleander. Menyentuh batang oleander langsung akan membuat kulitnya iritasi.

"Kenapa bunga itu tiba-tiba ada di tanganku?" tanya Verena kebingungan. Ia memeriksa telapak tangannya, mengeceknya baik-baik dan bernapas lega saat tak merasakan dan melihat apapun yang aneh.

"Sepertinya Nona bisa memunculkan bunga di telapak tangan Nona."

"Apa?" Verena kembali menatap telapak tangannya. Ia mengingat-ingat bagaimana oleander itu bisa muncul, tapi yang dia lakukan hanyalah menginginkan bunga itu ada.

Apa aku hanya perlu memikirkannya? Verena menarik napas lalu membayangkan sebuah bunga dalam benaknya. Yang terlintas adalah bunga anemone, karena itu adalah bunga terakhir yang ia petik. Sedetik kemudian bunga itu benar-benar muncul di telapak tangannya bersamaan dengan tanda lahirnya yang bersinar.

          

Bukannya senang, Verena malah mendesah kecewa.

Satu lagi kemampuan tak berguna yang kupunya.

Atensi Verena kembali pada sosok Gareth dan setangkai oleander yang tergeletak di atas salju. Dia menatapnya bergantian.

"Kalau kita membunuhnya, apa kita akan masuk penjara?" tanya Verena.

"Mungkin tidak. Setelah semua yang terjadi hari ini, membunuh satu orang saja tak akan mengubah apa-apa. Polisi akan menganggap pria itu hanya salah satu korban tsunami. Kita tidak akan ketahuan."

Verena dilema. Haruskah dia benar-benar membunuhnya?

"Ya, mungkin lebih baik kita mem-" Ucapan Verena terhenti saat ia tak sengaja melihat bayangannya yang terpantul pada serpihan kaca snowcar. Seluruh tubuhnya dipenuhi aura gelap yang mengerikan.

Kedua mata Verena melotot. Sebelumnya ia tak bisa melihat auranya sendiri, tapi ia yakin ia tak akan memiliki aura segelap itu. Lalu kemudian ia sadar, beberapa detik lalu ia sempat berpikir untuk membunuh Gareth. Itu adalah niat paling jahat yang pernah Verena miliki sejak ia dilahirkan ke dunia ini. Tak seharusnya ia berpikir begitu. Orang tuanya tak pernah mengajarkannya untuk menjadi seorang pembunuh, dan Galen mungkin saja akan kecewa kalau ia membunuh adik kembarnya yang paling ia sayangi. Ia pun akan membenci Galen seandainya pria itu membunuh Luke.

"Anne, tolong selamatkan dia," putus Verena dengan berat hati. Sebenci apapun dia pada Gareth, dia tak boleh membunuhnya.

"Nona yakin? Pria ini sudah membunuh Tuan Galen."

"Ya. Keluarkan saja dia dari snowcar kemudian bawa ke-" Ia menjeda ucapannya. "Sebentar, aku akan memeriksa kondisi rumah dulu. Jika aman kita bawa dia kesana, jika tidak terpaksa kita harus membaringkannya di rumah kaca."

"Nona, biar saya saja yang memeriksanya."

"Tidak. Kau tetap di sini dan keluarkan dia dari snowcar!" titah Verena.

Wanita itu kemudian berjalan menuju rumahnya dan memeriksa keadaan. Lantai satu terlihat masih sama seperti terakhir kali, kecuali beberapa daun oxalis yang tercecer dimana-mana. Mungkin daun-daun itu juga berterbangan melindungi rumah ini. Sementara lantai dua mengalami beberapa kerusakan dan kondisinya berantakan karena banyak barang-barang berjatuhan. Kaca jendela di sana pecah, ada sedikit air yang tergenang di lantai.

Meski begitu rumah Verena adalah satu-satunya rumah yang bertahan setelah diterpa gelombang raksasa. Sejauh ia memandang, hanya puing-puing bangunan yang terlihat. Tak ada lagi rumah yang berdiri kokoh seperti rumahnya. Happy Nature selamat dari bencana.

Sebenarnya Happy Nature adalah nama keseluruhan bangunan ini. Kata ibunya orang jaman dulu sering menamai rumah mereka. Maka dari itu ketika keluarga Florey pindah ke Longnightbyen dan berhasil membangun rumah juga rumah kaca di belakangnya, ibunya menyematkan nama Happy Nature karena rumah mereka berkonsep alam dan dipenuhi tanaman. Namun kemudian Happy Nature lebih dikenal sebagai toko bunga karena sang ibu terlalu malas memberikan nama lain untuk toko bunganya.

"Anne, bawa dia kemari!" teriak Verena dari jendela belakang.

"Baik nona." Ane segera membawa Gareth ke lantai dua dan membaringkannya di kamar Luke yang kondisinya paling bagus karena tak banyak barang yang ada di kamar pria itu.

"Bersihkan tempat ini dan obati luka-lukanya. Aku akan mengecek lantai bawah."

"Baik nona." Kali Anne langsung menurut.

Sebelum Verena pergi ke lantai satu, ia menatap sekilas wajah Gareth yang terlihat damai. Wajah itu sama sekali tak terlihat seperti wajah seorang pembunuh, dan anehnya auranya pun tak terlihat pekat seperti sebelumnya. Entah karena pria itu sedang tak sadarkan diri, atau perasaan negatif di hatinya sudah hilang.

Virgo: A Kind of Magic [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora