2 - Destiny

80 47 10
                                    

Kicau burung terdengar sampai ke dalam rumah, mereka bertengger di pohon teras rumahku. Aku sudah siap berangkat sekolah. Nenek sudah lebih dulu berangkat untuk berjualan kue. Untuk sampai ke sekolah aku harus berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer. Melintasi taman kota yang sejuk saat pagi hari. Bunga-bunga di taman turut menyedapkan mata. Dan tanganku ini tetap memegang buku untuk menyempatkan diri membaca di perjalanan.

Taman telah kulewati, selanjutnya menyusuri trotoar. Mulai kubuka buku John C.Avice yang sedari tadi kupeluk. Aku meminjamnya dari perpus. Sekarang, aku sampai pada pembahasan tentang replikasi DNA.

Aku yang sibuk baca buku gak memperhatikan jalan, alhasil aku menubruk orang. Buku yang sedang kubaca lepas dari genggaman. Jatuh dengan lembar terbuka. Kulihat seorang cowok memungut bukuku yang jatuh. Cowok itu memandangi halaman depan bukuku, lalu membuka lembarannya acak.

"John C.Avice." Gumamnya sembari menyibak lembaran buku.

Tanpa mengatakan apa-apa aku langsung merebut buku milikku dari tangannya lalu menatapnya tajam dan dingin. Setelah itu kutinggalkan dia.

Di sisa perjalananku, aku gak lagi membaca. Aku cukup cemas dengan matahari yang makin terik. Aku bisa terlambat kalau gak cepat sampai di persinggahan dan melakukan ritual yang biasa kulakukan.

Aku buru-buru membuka plastik hitam berisi sepatu. Aku segera mengganti sandal dengan sepatu lusuhku dan memasukan sandal yang kupakai tadi ke dalam tas. Aku menatap sepatuku yang talinya sudah tersimpul rapih.

Memasuki gerbang sekolah, aku melewati beberapa orang yang berseragam sama sepertiku dengan memeluk map warna merah dan tertempel badge−seperti kapten sepak bola− di lengannya. Aku pernah ditawari oleh Pak Wisnu untuk bergabung bersama mereka. Tampangku ini katanya pas, galak.

Orang-orang bak penjaga pintu neraka itu memang dipilih karena disegani oleh siswa-siswa yang lain dan katanya memiliki kedisiplinan tinggi pula. Aku tentu menolaknya karena apa untungnya melakukan hal itu.

Saat naik lift, anak-anak melucutiku dengan tatapan-tatapan ketus. Secara gak tertulis, mereka membuat aturan kalau aku dilarang untuk menggunakan lift. Katanya mereka gak mau melihat objek menyebalkan di pagi hari. Akhirnya setiap naik lift, aku selalu diganggu. Aku dibiarkan turun paling akhir. Mereka selalu menutup liftnya kalau sampai di lantai 3, lokasi kelasku.

"Hei, dia datang tuh." Saat aku memasuki kelas, terdengar samar-samar seseorang berbisik membicarakanku. Mereka seperti kehabisan gosip untuk dibicarakan sampai-sampai menjadikanku topik utama.

Tiba-tiba Luna menubrukku. Sampah kertas yang dibawanya pun berhamburan. Moodku jadi tambah buruk melihat orang ini.

"Maaf, Kevi." Dia terlihat ketakutan dan merasa bersalah. Dasar muka dua.

"Minggir." Aku gak suka dia. Dia yang selalu membuatku disalahkan dan dibenci oleh orang-orang di sekolah ini. Tampangnya yang polos membuatnya selalu mendapat simpati dari orang lain. Setiap saat dia ingin dekat-dekat denganku, berbasa-basi dan mengatakan kalau dia sangat ingin berteman denganku.

"Hei! Dasar gak tahu diri. Ngaca, siapa kamu?" Hardikan teman-teman Luna itu tertuju padaku. Tentu saja mereka membela Luna yang terlihat gak bersalah. Luna memang terkenal pendiam dan pemalu serta terkesan gak berdaya. Tentu saja siapa yang mengganggunya akan banyak yang membela.

"Kevi." Jawabku dengan santai.

"KEVITA!" Feika yang geram hampir memukulku, tapi Luna menghalanginya. Dia lagi-lagi ingin mencari simpati orang lain.

"Hentikan!!" Suara gemuruh Pak Mario membuat jantung murid-muridnya meloncat. Beliau akan terus berdiri di depan kelas sampai semua muridnya duduk. Kami cukup hafal dengan caranya. Aku pun berjalan dengan santai ke tempat dudukku.

"Anak sombong itu, Pak." Eluh Feika dengan sebal.

"Sudah! Cepat duduk di kursi kalian!" Pak Mario dengan suara kerasnya lagi membuat suasana kelas langsung hening.

Semua siswa siap dengan buku pelajaran masing-masing termasuk aku. Pak Mario pun masuk ke dalam kelas dan menyalami kami. Setelah sedikit memberikan pembukaan sebelum belajar, Pak Mario memberikan kabar kalau kelas kami kedatangan murid baru. Murid baru itu langsung dipersilahkan masuk.

Suasana tenang seketika pecah karena semua siswi di kelasku terpana pada anak baru itu. Suara ribut yang mereka ciptakan sampai mengundang kelas lain untuk mengintip kelas kami. Orang-orang yang berdatangan semakin memenuhi beranda kelas. Jendela pun penuh dengan wajah-wajah penasaran dari anak-anak kelas lain. Pak Mario gak tinggal diam, dia mengusir murid-muridnya untuk kembali ke kelas mereka.

"Wow! So Charming!" Teriakkan itu tercipta dari geng Feika. Suaranya sumbang sekali. Pak Mario sependapat denganku dan segera memerintahkan geng Feika itu tutup mulut.

Aku yang duduk di depan Reina mau gak mau mendengar obrolan gak penting bersama temannya. Menurutnya, tinggi anak baru itu kisaran 178 cm, kulitnya kuning cerah, tidak kurus dan tidak juga gemuk, intinya proporsional. Penampilannya bersih dan rapih seperti orang-orang kaya kebanyakan. Reina memuji lagi kalau mata cowok itu teduh dan indah. Mereka terus saja berceloteh kalau anak baru itu tipe ideal mereka.

Anak baru yang pindah kesini biasanya punya alasan yang sama. Mereka datang dari luar negeri dan ikut dengan orang tua yang pulang kampung untuk kembali berbisnis di tanah air. Alasan klasik agar terdengar keren. Tapi mungkin saja karena mereka gak sanggup bersaing untuk belajar di luar negeri. Otak mereka gak setebal dompet mereka.

Pak Mario harus kembali berteriak untuk menenangkan murid-muridnya yang begitu berisik. Suara guru yang satu ini benar-benar seperti petir, rasanya bisa menghanguskan siapa pun yang menantangnya. Setelah kelas berhasil dikuasai, Pak Mario melanjutkan untuk memperkenalkan anak baru itu.

"Kenalkan dirimu, Darwin." Lelaki itu mengangguk setelah dipersilahkan oleh guru barunya.

"Perkenalkan, saya Diandika Darwin." Suara itulah yang kudengar.

"Hai, Darwin!" Anak-anak cewek membalas sapaan anak baru itu dengan girang diselingi teriakkan-teriakkan histeris layaknya penggemar boy band.

"Darwin sangat berprestasi di sekolahnya yang dulu. Semoga Darwin dan Kevita bisa bersama-sama membanggakan sekolah ya." Tutur Pak Mario yang terdengar senang kedatangan murid yang pintar. Selain aku. Tapi kedatangan murid baru gak akan berpengaruh apa-apa terhadap kelas ataupun sekolah ini.

"Kayanya Bapak salah bilang dia pinter." Langsung kulayangkan sindiran untuk anak baru itu dengan kejadian tadi pagi saat kami bertemu. Ya, dia orang yang menubrukku di jalan. Ya, dia yang memungut bukuku. Ya, dia yang keliatan gak ngerti saat membaca bukuku.

"Bapak rasa perkenalannya cukup. Darwin, kamu boleh duduk di kursi kosong itu." Pak Mario yang punya suara bak petir itu seperti tunduk padaku. Dia memilih menyudahinya sebelum aku mengeluarkan kata-kata menusuk lagi. Anak baru itu membungkukkan sedikit badanya dengan penuh sopan-santun lalu berjalan menuju tempat duduknya disertai tatapan-tatapan kagum. Dia muka dua juga seperti Luna.

"Si sombong itu benar-benar menyebalkan, berani banget dia," lagi-lagi kudengar orang dibelakangku berbisik.

"Aku iri banget sama Luna, dia bisa duduk bareng Darwin." Lanjut Reina pada teman di sampingnya.

***

TBC

Mohon dukungan dengan cara vote, komen dan share ya teman-teman. Makasih sudah mampir 😃😃

#EventTeoriKataPublishing #PensiTeoriKata

The Roots of Feelings [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang