PROLOG

68 8 6
                                    

"GAK ADIL BANGEETT!" teriak gue sambil menggebrak meja.

Sontak semua orang terperenjat dan langsung memusatkan seluruh perhatiannya ke gue. Haha ... gue gak peduli apa pun anggapan orang-orang setelah gue meneguk gelas kecil berisi Tequila. Rasa muak gue udah segede gaban. Berat banget hati ini nanggung kekecewaan, kemarahan, kesedihan, selama belasan tahun.

Semua penghargaan yang piala-pialanya udah nangkring di lemari kamar, berkat kerja keras jari-jemari gue yang menghasilkan lukisan-lukisan indah, gak ada gunanya! Gak ada gunanya sama sekali!

Bokap gue, pengusaha properti ternama di Indonesia itu, sukses membuat mental gue merosot berkali-kali. Termasuk, hari ini. Acara ulang tahun perusahaan yang dianggap spesial olehnya.

"Diandra sekarang kerja atau kuliah, Pak?"

"Anak itu? Hmm ... Dia berbeda sama kedua kakaknya, hobinya males-malesan. Diajak bisnis juga gak becus!" cetus bokap beberapa menit lalu tanpa peduli sama perasaan gue.

Plak!

Sesuai dengan apa yang gue duga. Tingkah keterlaluan tadi—gue sadari sendiri—akan membuahkan tamparan keras dari tangan kekar pengusaha besar yang tak lain adalah bokap gue sendiri. Mendapati itu, gue cengengesan, tapi air mata malah ikut-ikutan tampil di ruangan megah yang dihadiri oleh ribuan tamu ini. Gak asik! Harusnya gue tampil bahagia aja ketika dia tampar, haha .... Dia juga bahagia-bahagia aja, kan, setelah membakar dua lukisan indah gue sebelum berangkat ke vila ini?!

"Bisa gak sih, kamu tuh berguna sedikit!" Wanda Wirawan, ayah gue itu menunjuk pelipis gue, dan kemudian menekannya. "Gak punya malu kamu, Diandra?!"

"Sebelum Ayah bertanya tentang kehormatan keluarga, gimana sama kehormatan kamu sendiri? Kamu gak peduli sama diri sendiri?!" tanyanya lagi.

"Kenapa?! Haha ... kenapa juga Ayah harus peduli?!" tanya gue sarkas. "Coret aja Diandra di Kartu Keluarga, Yah! Diandra capek. Capek ada di keluarga ini!"

"Diandra! Kamu gak pantes bersikap kayak gitu! Jaga etika dong, kamu itu perempuan!" Andrea Wirawan, kakak pertama gue ikut mengomentari. Uh! Sebagai putra sulung keluarga Wirawan yang unggul dalam dunia bisnis, seharusnya orang ini tidak ikut campur.

"Onty Andla kenapa, Mom?" Terdengar suara Rangga, anak Kak Andre, kepada Kak Rania. "Ssstt ...." Ibunya meminta Rangga diam, lalu membujuknya untuk meninggalkan tempat pesta yang ancur gara-gara gue.

"Kak Ana gak bisa mentolelir sikap kamu yang ini, Diandra," timpal Andriana Wirawan, saudara kembar Kak Andre, yang lanjut meninggalkan pesta karena Zara, putrinya yang berusia dua tahun itu menjerit dan menangis. Mungkin, anak itu kaget dengan atmosfer mengerikan yang terjadi setelah sesi hura-hura gembira.

Seharusnya Dokter Ana ini gak usah ikut-ikutan juga. 'Dokter'. Orang sukses. Gak kayak adiknya yang kacau balau, gak guna, dan gak bisa banggain keluarga.

Sedangkan putra bungsu keluarga Wirawan—adik gue—Leandra Wirawan, seorang siswa SMA kelas 12 yang sering menjuarai olimpiade-olimpiade sains, cuma bisa menatap sebal dari kejauhan. Sepertinya, dia jijik dan malu banget punya kakak kayak gue.

But, Whatever!

"Bisa gak sih kamu mikir gimana perasaan keluarga kamu? Perasaan ayah, perasaan kakak-kakakmu, perasaan adikmu, dan ... gimana, Dra ... gimana kalau Ibu liat kamu begini di alam sana?"

Ibu?!

Seketika tubuh gue limbung usai diingatkan soal ibu yang udah lama pergi—pas umur gue delapan tahun. Sosok penyayang, hangat, selalu mendukung apa pun kesukaan gue. Nasehatnya lembut, begitupun dengan belaian tangannya.

Kamu akan menyukai ini

          

"Jadi apa pun kamu nanti, tetap jadi orang baik, ya, An," pesan Ibu kala itu.

"Ibu ...," lirih gue saat menyadari betapa hancurnya gue. Aku sudah sangat jauh dari kata baik, Bu.

"Maaf, Om. Biar Kiran aja yang urus Andra." Seorang perempuan berkerudung hijau sage dan gamis senada—sesuai dengan warna dresscode malam ini—menghampiri gue. Dia mengangkat tubuh gue buat berdiri tanpa merasa berat.

"Ya, ya ... tolong urus dia, Kiran," pinta bokap dengan suara parau. "Om udah pusing sama kelakuan Diandra."

Gue tersenyum miring mendengar ayah pusing. Entah, membuat dia merasa repot adalah hal yang menyenangkan bagi gue.

Ah, gue lupa! Inget ibu, Diandra!

Perempuan bernama Kiran itu memapah gue menuju ke luar tempat ini dengan sabar. Padahal, kondisi gue yang sempoyongan karena nge-fly, akan sangat memberatkan dan merepotkan dia. Huh, anak ini emang hobi banget gue repotin. Padahal, persahabatan gue sama dia tuh, kayak surga sama neraka. Gue banyak boroknya. Sedangkan Kiran, salehah masyaallah ....

"Mau-mau aja anak alim begitu temenan sama setan."

"Temennya alim banget, bener-bener gak pandang bulu. Orang borok kayak Diandra masih aja ditemenin"

"Yang atu mabok, yang atu jilbaban. Pertemanannya bagai langit dan bumi."

"Heh! Bagai surga dan neraka, tau!"

Desas-desus orang mengiringi langkah gue menuju keluar vila ini. Bodo amat apa kata mereka, karena memang itu kenyataannya. Gue gak mungkin ngamuk dan mencerca mereka sambil teriak-teriak. Faktanya, seperti yang gue bilang tadi, Kiran sama gue bagaikan surga dan neraka.

Namun, sebelum gue bener-bener keluar dari vila ini, terdengar penyataan yang spontan saja membuat gue menyunggingkan senyuman.

"Pak Wanda, sepertinya ... perjodohan anak kita harus dibatalkan."

Syukur! Semapan apa pun laki-laki itu, gue gak akan menerima laki-laki yang bukan pilihan gue. Titik!

...

"An, kamu udah janji sama aku, gak akan mabuk-mabukkan lagi. Kenapa, An, kenapa kamu malah mabuk lagi? Aku udah bilang sama kamu, kalau kamu ada masalah cerita aja ke aku, jangan lampiasin ke minuman. Tapi kenapa ...." Kiran tidak melanjutkan omelannya, karena perempuan salehah itu berakhir terisak. Seolah, semua pedih yang gue rasakan, ikut dirasakan olehnya.

Dan gue ... lemah jika Kiran sudah menangisi gue seperti ini. Noktah-noktah di mata gue ikut terjun deras layaknya air terjun.

"Ternyata, kamu gak menyayangi siapa pun, An." Seperti biasa, setelah mengomel dan menangis, Kiran akan kembali menceramahi. "Enggak sahabatmu, keluargamu, ibumu, bahkan dirimu sendiri."

Benarkah? Gue aja bingung buat menjawab apa yang gue inginkan, apalagi soal 'menyayangi'.

Hidup gue gak jelas banget, kan?

"Ran. Kayak yang gue bilang tempo hari. Enakan hidup jadi kucing, haha ... tidur seharian gak masalah, makan banyak gak masalah. Gak ada yang nuntut buat jadi orang hebat demi memuaskan ekspektasi egois orang lain."

Kiran menghela napas kasar. Mungkin dia lelah, omongan gue terdengar ngelantur ke mana-mana.

"Udah deh, aku ambilin air putih dulu buat kamu." Seperti biasa pula, Kiran sepeduli itu sama gue. Emang beda hawa-hawa surga tuh. Untung, iman dia kuat. Kalau enggak, gue malah nyeret dia ke bara api.

Setelah Kiran meninggalkan gue, masuk ke vila untuk mengambil air minum, gue pun menghampiri jembatan yang mengarah langsung ke sungai. Gemericik airnya terdengar deras. Kebetulan, ada batu-batu kecil yang berserakan di sekitar jembatan. Gue spontan mengambil beberapa, dan melempar-lemparnya ke sungai.

"Gue benci keluarga gue!" teriak gue sambil melempar batu. 

"Gue benci terlahir di keluarga Wirawan!"

"Gue benci hidup gu-aahhh!!!"

Berkat efek nge-fly yang belum hilang, badan gue yang sempoyongan ini, membuat gue kehilangan keseimbangan untuk berpijak dengan aman di sisi jembatan. Pada akhirnya, tubuh gue limbung, jatuh, melewati pembatas besi yang pendek ini—kira-kira sedengkul.

Heels sebelah kanan gue tertinggal, sedangkan tubuh gue beserta heels yang yang masih melekat di kaki kiri terjun bebas ke sungai dan tenggelam di airnya yang sangat-sangat-sangat dingin!!

"Tolong!" teriak gue setelah mencoba naik ke permukaan sungai. Sungai ini ternyata lebih dalam dari yang gue bayangkan. Mana gue gak jago renang lagi. Repot banget!

"To ... long. Se ... lamet ... tin ... gue!"

Kemudian, semuanya menjadi gelap.

...

"Wah, kasian banget."

"Iya, sampai basah kuyup begini."

"Lo nemunya di mana, Zayn?"

"Di sungai."

"Pas kita nemu, dia meluk heels ini lho."

"Wah, kayaknya punya pemiliknya?"

"Bisa jadi."

Gue kira tadi suara-suara di alam mimpi, ternyata gue emang lagi dikerubungin banyak orang. Pakaian mereka berbalut jas sebuah universitas ternama, kayaknya UIN deh. Bisa ditebak, mereka lagi KKN.

O God, anget banget cahaya matahari. Ternyata, gue emang lagi dijemur. Salah satu dari mereka tadi bilang gue basah kuyup, ya? Mungkin itu alasan kenapa gue sampe dijemurin. Takut gue kena hipotermia kali.

Seorang pria mem-puk-puk kepala gue. Rasanya nyaman sekali.

"Kucing ini tampangnya cantik banget. Auto jadi primadona kampung."

Apa cewek itu bilang? Kucing? Masa tampang cantik begini kayak kucing?

"Walaupun bulunya item, kayaknya ini bukan kucing kampung biasa."

Apasih ngomong-ngomong kucing? Gak jelas!

Gue pun mutusin buat bangkit, mencari cermin atau kaca jendela. Ya, walaupun gue gak peduli-peduli banget soal penampilan rapi, tapi gue gak kelewat bodo amat. Kalau tampang gue acak-acakkan parah, kan, gak etis!

Setelah menemukan jendela, gue langsung gas berkaca di sana. Tapi, gue sedikit linglung. Pantulan wajah seniman cantik itu di mana? Kenapa yang gue liat justru kucing hitam yang bulu-bulunya masih basah?

Tunggu.

Tangan ... eh, gak ada tangan! Kaki gue ada empat!!!

Bisa dipastikan, pupil mata gue membesar saat ini. Gue terus mantengin hasil pantulan tubuh gue di depan kaca jendela, bola mata gue makin fokus, fokus, dan terus fokus. Impossible ... kucing hitam yang mereka bicarakan tadi ... GUE?!

***

Nur Aida Hasanah
Garut, 21 Juni 2023

Assalamu'alaikum, Readers!🤗

Saat cerita ini ditulis, cerita "Acc, Mom!" masih 20 part. Aku melipir dulu ke sini, selingkuh (hihihi).
Bukan karena ide baru gak ketampung, terus aku kebelet pengen nulis yang 'baru'. Tapi, cerita ini dibuat, karena cerita ini akan dimuat, kayak kerja sama gitu, di laman aksarastaipigarut.com.

Soalnya, aku tergabung menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa bernama Aksara, fokusnya di bidang Kepenulisan dan Jurnalistik, Gaes! 🤗

Nah, ceritanya tuh, nanti setiap aku nulis. Setengah part cerita ini bakal ada di laman web. Nah, kalau mau baca part cerita secara lengkap, harus tap link cerita wattpadnya. Begitu, Gaes!

By the way, semoga cerita ini bisa dinikmati, yaaa ... ☺️

Happy reading💞

Salam hangat, Author💐

I'm in Black (Cat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang