Empat

382 69 0
                                    

Tapi awal pertemuanku dengan Alvin itu menjadi berkah bagi kehidupan asmaraku pada hari- hari berikutnya!

Aku sering banget makan siang di geprek Jotos, hanya untuk celingukan mencari- cari, barangkali Alvin iseng mampir ke kedai miliknya itu, atau seeang  berada di dalam sana.

Kadang- kadang aku bisa berjam- jam duduk di kedai ayam geprek milik pria itu. Berharap bisa ketemu dia. Lebih bagus lagi kalau bisa ngobrol. Sejak ada dia, aku jadi berhenti memikirkan si Kadal buntung  itu.

Kalau aku bisa menggaet Alvin, bukankah akan sangat menyenangkan? Soalnya secara fisik dia lebih oke dari Erwan. Dan Dessy si cacing kepanasan itu juga pasti iri setengah mati padaku!

Setelah melepaskan Erwan, aku dapat ganti yang lebih baik. Lebih ganteng. Lebih dewasa. Lebih segalanya.  Pengusaha pula! Kurang canggih apa lagi coba! Pasti sepupuku itu jengkel banget.

Huh, dia pikir dengan seenak perutnya ngembat Erwan dariku, aku bakalan termehek- mehek apa?

Sorry, ya! Aku tuh bukan perempuan selemah itu!

"Lo makan kayak ulet deh, Mbak!" Si tengil Iwan lagi- lagi menghampiri meja tempat siang itu aku makan ayam geprek sambal goang pakai cabai gendot level lima.

Pesannya cuma sepiring. Tapi biar cuma sepiring, yang kupesan adalah porsi jumbo. Gratis es teh ukuran jumbo pula.

Sudah sejak satu jam aku duduk di tempat ini. Tadinya cuma pesan chicken strips sebelum makan ayam gepreknya.

Aku juga sempat memesan strawberry milkshake yang sekarang juga sudah tandas. Bahkan gelasnya juga sudah diberesin sama Iwan.

"Sirik aja sih lo!"

"Yaelah, sensi amat sih! Cuma nanya doang kok gue. Enggak minta makan lo!" Bukannya minggat, cowok berambut ikal tersebut malah duduk di atas kursi di hadapanku. Menyangga dagu dengan kedua tangannya. Kedua matanya mengamatiku dengan saksama.

Tatapannya melas banget.

Aku mengernyitkan alisnya dengan heran. "Ada apa kok malah lo yang manyun gitu. Mau pinjem duit?"

Dia tambah manyun. "Enak aja ngomong! Gini- gini gue tuh rajin nabung tahu! Buat masa depan gue kelak!"

"Nggak nanya!"

"Lho, Fenita?" Suara yang terdengar layaknya angin surga itu kontan membuatku menoleh. Mendapati sosok bertubuh jangkung dengan jaket bomber dan tas yang menggantung di sebelah bahunya.

Kacamata yang bertengger di hidungnya, pria itu tampak semakin menawan. Kelihatannya smart gitu. Dan jantungku sudah mulai disko.

Aku tersipu- sipu.

Alvin berjalan menghampiri mejaku. Sepertinya dia baru datang dari suatu tempat. "Eh, dari mana lo, Vin?"

"Ah, biasa saja. Kerjaan rutin aja kok. " Mata Alvin tampak takjub melihat porsi makanku.

Wajar sih, melihat cewek- cewek zaman ini tuh makannya cuma seuprit doang, dan porsi yang kumakan ini agak diluar nalar. Aku meringis.

Agak gimana gitu.

Padahal tatapannya itu juga bukan yang menghakimi. "Ya udah. Di lanjut aja. Gue mau masuk ke dalam dulu. "

Dia tersenyum. Cerah banget.

Dan hatiku perlahan- lahan mulai meleleh.

Meskipun si empunya senyum sudah berjalan ke dalam, dan yang dapat kutatap adalah punggungnya yang lebar, berbalut jaket bomber warna merah marun. 

Pengin meluk. Tapi...

"Hmmmh!"

Tiba- tiba ada bunyi dengusan.

Fat And Fabulous Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang