"Stop looking at me like that!" Setelah lima menit hanya saling tatap dalam keheningan aneh, Snow akhirnya menyerah. "Fine. Aku memang nggak sengaja menyundul hidung bajingan itu, tapi dia yang lebih dulu memulai perkelahian!"
Red berdecak samar, lantas menekan remot agar kasurnya bergerak menegak dan menopangnya untuk duduk. "Apa kamu bahkan tahu siapa dia?"
Sontak Snow menggeleng.
"Lain kali," Jari Red hinggap pada kening Snow, mendorongnya pelan, "pikir dulu sebelum bertindak."
"Kayak kamu pernah mikir dulu sebelum bertindak," cibir Snow.
"Aku berbeda. Aku bisa melindungi diriku sendiri, sementara kamu?"
Suara ketukan pada pintu membuat keduanya menoleh, menemukan Joshua dan Eight sudah melangkah masuk dengan langkah lebar.
"Jeez. Gue pikir gue akan melayat lebih cepat dari yang seharusnya," komentar Joshua, sarkastik seperti biasa.
Snow mengernyitkan dahi. Apa maksudnya?
"It's been confirmed. Raksa memang dalang di balik semuanya." Eight menimbrung, lantas melirik Snow yang terlihat seperti kucing di tengah para serigala. "You good?"
"I'm okay," jawab Snow nyaris gagap, tidak menyangka Eight akan menanyakan kondisinya. "Aku akan kasih kalian ruang untuk bicara." Belum juga berdiri sempurna, tangannya sudah ditarik kuat oleh Red. Bahkan sewaktu sakit pun, tenaga lelaki itu tidak bisa diremehkan.
"Stay still. Nggak akan ada yang bisa menolongmu kalau di luar sana muncul psikopat lainnya."
"Nggak semua orang di dunia ini punya watak kayak kamu."
Red beralih pada dua temannya, memberi kode agar mereka melanjutkan pembicaraan.
Joshua menghela napas kasar, "Jadi? Apa yang mau lo lakukan sebagai balasan? Should we just kill him? Setelah kejadian ini, gue yakin Om Harlem nggak akan keberatan kalau kita membunuh Raksa."
Snow menilai raut wajah Red dalam diam, mendapati ekspresi beragam yang muncul berdekatan. Marah, bingung, penyesalan, dan kesedihan. Begitu samar sehingga dalam sekali tengok orang-orang tidak mungkin menyadarinya.
"I'll handle him by myself. Don't do anything without my permission," kata Red setelah beberapa lama terdiam. "Pergi. Gue mau istirahat. Eight, antar Snow ke hotel biasa."
Sepertinya Red tahu kalau meninggalkan Snow berdua saja dengan Joshua di rumah tidak akan berimbas baik. Snow bersorak bahagia dalam hati. Snow menoleh sekali lagi ke belakang sebelum melangkah keluar dari ambang pintu, meninggalkan Red seorang diri. Ia berjalan mengekori dua sosok jangkung di depannya. Begitu tiba di pelataran parkir, Snow nyaris dibuat jantungan saat satu kalimat keluar dari bibir Joshua,
"I'll take her home."
Shit. Shit. Shit. Kira-kira begitulah isi hati Snow. Sama sepertinya, Eight juga terlihat ragu. "Lo yakin? Red mau gue bawa dia ke hotel malam ini."
Rasanya Snow ingin menjerit menyerukan penolakan, tapi yang keluar hanya berupa cicitan, "Aku pergi sama Eight aja." Ia berusaha menyembunyikan tubuhnya di belakang Eight, tapi Joshua dengan cekatan menarik pergelangan tangannya.
"Nanti gue akan bilang ke Red," kata Joshua cepat dan tegas.
Eight melirik Snow yang wajahnya sudah memucat, "Jangan apa-apain dia. Gue belum siap kalau disuruh memilih antara lo atau Red."
Joshua hanya mengangguk singkat sebelum menyeret Snow memasuki mobilnya. Tidak butuh lama untuk Joshua menyusul masuk dan menempati kursi kemudi. "I won't kill you tonight. Jangan khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners on Earth
RomanceRed hanya memiliki satu keinginan sederhana setelah semua dendamnya terbalaskan; kematian. Ia sudah tahu akan dengan cara apa ia mengambil nyawanya sendiri. Kuasa, uang, serta status yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak menggoda Red untuk ber...