06

2 0 0
                                    


Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Terlihat seorang gadis berjalan dengan santainya di trotoar sendirian. Kabel headseat yang menyambungkan ponsel dengan telinganya menyenandungkan lagu tahun 90an yang menurutnya masih enak di dengar. Dia terus berjalan sambil melihat pada ponselnya tanpa memikirkan bahaya apa saja yang sewaktu-waktu menyerangnya.

Seketika langkahnya terhenti saat angin tiba-tiba berhembus sangat kencang. Anehnya angin itu hanya menggerakkan daun-daun pada satu pohon sedangkan daun pada pohon yang lain tampak tenang. Karena penasaran, si gadis mulai mendekati pohon itu. Baru 3 langkah gadis itu mendekat, tiba-tiba sebuah suara menginterupsi pendengarannya.

"Apa kabar, Lian?" Saat gadis itu menoleh semua objek di sekitarnya berubah. Dia tidak lagi ada di trotoar. Jalanan dan lampu-lampu gedung yang dia lihat beberapa waktu yang lalu menghilang seketika. Berganti dengan tanah miring yang terlihat lapang dan sangat luas. Ditambah angin yang berhembus lumayan kencang, menabrak setiap inci wajah Lian dengan tidak sopannya.

"Siapa kamu?" Tanya gadis itu bingung. Lelaki dihadapannya tampak tak asing. "Ini dimana?" Lelaki itu tersenyum miring.

"Kamu tidak ingat tempat ini?" Lian masih diam memperhatikan sekitarnya. "Ahhh, tentu saja tidak akan ingat. Kamu hanya beberapa menit saja berdiri di tempatmu saat itu." Lian sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan lelaki itu.

"Kenapa berdiri terus? Kemari, duduklah." Ucap lelaki itu mulai membenarkan posisi duduknya. Lian masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Jangan khawatir, aku yang sekarang lebih suka keripik kentang daripada manusia mentah." Lian mulai mendekat dan duduk.

"Kamu siapa?" Tanya Lian masih penasaran. Wajah lelaki itu tampak familiar.

"Suve. Aku adalah pohon Ara yang dulunya tumbuh disini."

"Pohon?" Lian semakin bingung. Lelaki itu jelas-jelas manusia, kenapa dia mengaku sebagai pohon. Aneh.

"Kau lihat desa yang ada disana?" Lelaki itu menunjuk pada sebuah desa yang tampak pada lereng bukit lain.

"Hm."

"Disanalah kau pernah tinggal." Dan kali ini Lian benar-benar menganggap lelaki di sampingnya ini gila. Mana mungkin dia tinggal di desa yang bahkan tidak ia ketahui namanya. "Tidak masuk akal memang, tapi aku tidak gila."

"Tentu saja kau gila, aku bahkan tidak tahu nama desa itu. Juga sejak kecil aku tinggal di Amerika."

"Ya, lebih baik kau tidak ingat." Alis Lian terangkat.

"Kau aneh." Jawabnya singkat.

"Terserah kau mau bilang apa. Aku hanya ingin memperingatkanmu agar kau tidak tergerak saat seseorang dengan wajah teduh dan tatapannya sendu datang kepadamu." Lian tidak mengerti sama sekali. Siapa orang dengan wajah teduh dan tatapannya sendu? Pikirnya. "Takdirmu dan takdir orang itu benar-benar kau yang menentukan kali ini."

"Kau bicara seolah kau adalah Tuhan. Bukankah tadi kau bilang kau hanya pohon? Kenapa kau harus ikut campur menentukan takdirku?"

"Aku dulu memang hanya sebatang pohon. Aku menyayanginya seperti anakku. Tapi kali ini, aku akan melindunginya sebagai teman." Ucap laki-laki itu.

"Hey dengar, aku benar-benar tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."

"Kamu tidak perlu mengerti, Lian. Yang perlu kamu ingat hanya satu. Jangan mencoba mendekatinya." Lagi-lagi angin berputar mengitarinya dan dia sudah berada di trotoar lagi.

"LIAN"

"LIAN" Lian seketika sadar saat teman-temannya memanggil namanya.

"Itu tadi apa?" gumam Lian. Lalu dia melihat dua temannya yang juga sama-sama bingung.

"Lian lo gapapa? Lo kenapa jongkok disini?" Tanya Dean beruntun.

"Gue jongkok disini?" Riri mengangguk.

"Ba-barusan gue ..." Lian bingung harus bagaimana menceritakannya. Bisa saja dua temannya ini tidak percaya dan menganggapnya gila.

"Iya? Lo kenapa?" kali ini Riri membuka suara.

"Kalian ga bakal percaya."Ucap Lian pasrah. Dean dan Riri saling berpandangan.

"Gimana kalo lo kerumah gue aja. Deket sini kok, Riri juga lagi nginep. Ini udah malem." Lian mengangguk. Sepertinya lebih baik seperti itu, daripada dia bertemu orang aneh lagi, pikirnya.

Mereka bertiga berjalan menuju rumah Dean. Hanya butuh waktu 10 menit untuk mereka sampai.

"Kalian kenapa ada disana tadi?" tanya Lian

"Kita abis dari minimarket beli cemilan" Jawab Riri. Dean hanya mengangguk.

"Lo sendiri kenapa jam segitu belum pulang, Yan?" Dean balik bertanya.

"Gue baru balik dari kampus kakak gue, dia nginep di kampus karna ada acara buat maba dan ada barang yang perlu dianter. Jadi balik dari sekolah gue langsung anterin itu barangnya." Jelas Lian.

"Ohhh, terus tadi kenapa jongkok dijalan. Tadi kita ngiranya lo lagi sakit." Dean yang sedari tadi penasaran mulai menanyakan hal yang sama.

"Tadi ada cowok manggil gue dan pas gue balik badan tiba-tiba gue udah ga di trotoar, gue ngerasa ada di lereng gunung. Kalo kalian ga percaya gue maklum kok. Kedengerennya emang aneh, tapi ini beneran kejadian sama gue. Cowok itu ngaku-ngaku dia pohon ara dan dia ngomongin takdir gue. Gue aja mikirnya aneh." Jelas Lian panjang lebar. Yang dijelaskan hanya manggut-manggut.

"Gue percaya kok, Yan. Kakak gue pernah ngalamin ilusi kek gitu." Jawab Dean. "Lo mau denger cerita kakak gue juga ga? Gue panggilin bocahnya kalo lo mau."

"Hmm boleh"

"MARKONAAAHHH MARKONAHH MARKONAH" teriak Dean sambil membuka pintu kamarnya. Yang dipanggil langsung menjawab.

"Berisikkkkk"

"Sini dong bentar kakakku yang tampan mempesona." Marko keluar dari kamarnya dan menghampiri Dean.

"Apaan?"

"Sini dulu masuk." Dean menarik Marko masuk ke dalam kamarnya. Marko seketika mati gaya saat melihat Riri disana.

"Lo kok ga bilang sih kalo ada Riri, tau gitu kan gue sisiran bentar." bisik Marko pada Dean. Sedangkan Dean hanya berdecih. Entah sejak kapan Marko mulai ada perasaan pada Riri. Mereka saling mengenal sejak kecil dan bahkan sering berkelahi. Namun herannya, Marko tiba-tiba bersikap aneh.

"Lo nginep sini Ri?" Riri berdecih.

"Gue dari pulang sekolah tadi udah disini lo aja yang tuli. Main game terus sih." Kalau saja saat ini Marko tidak memiliki perasaan pada Riri, mungkin mereka akan berdebat panjang lebar saat ini. Dan Riri merasa Marko aneh, sangat aneh karena tidak membalas perkataan kasarnya. Marko hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Atensinya beralih pada Lian.

"Lo si anak baru yang dari luar negeri itu ya?" tanya Marko. Lian hanya mengangguk mengiyakan.

"Lo mending duduk dulu deh kak, sini." Dean menepuk kasur di sebelahnya. "Jadi barusan kita ga sengaja ngeliat Lian di jalan depan gang jongkok sendirian. Kita ngiranya dia sakit. Tapi Lian bilang ada yang manggil dia cowok, terus pas dia balik badan dia udah ga di jalan lagi, dia ngerasa ada di tempat lain." Jelas Dean pada kakaknya. "Nah kenapa gue manggil lo kesini, dia pengen denger cerita lo"

"Hampir sama kejadiannya. Belum lama sih, baru beberapa bulan lalu. Gue abis latihan basket sama yang lain. Gue balik bareng mobilnya Nando waktu itu. Pas baru turun, gue masuk pekarangan rumah tiba-tiba ada yang manggil gue 'ayah' dong." Lian membola mendengar cerita Marko.

"Pas gue balik badan, tiba-tiba gue ada di pinggir sungai Kania. Gue juga ga tau kenapa bisa gitu. Dia ga bilang apa-apa, cuma manggil ayah terus ya gue berspekulasi kalo dia mungkin anak gue dari masa depan yang lagi ngunjungin orang tuanya di masa lalu. Kedengerannya agak mustahil tapi kalo dipikir anak-anak kita nantinya hidup di masa modern. Jadi gak ada yang ga mungkin." Lanjut Marko.

"Kalo emang beneran anak lo dari masa depan, lo pernah mikir aneh gak sih?" Riri menanggapi cerita Marko.

"Iya bener, kalo dipikir-pikir ngapain juga dia dateng jauh-jauh cuma buat 'ngunjungin' orang tuanya. Pasti ada sesuatu di masa depan." Lian membenarkan. Sedangkan Dean hanya diam mendengarkan.

DIMPLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang