Part 29

1K 83 5
                                    

"Pak, saya, maksud saya, eeeeh, Pak Vino sudah pulang?"

"Kenapa? Terkejut aku sudah pulang. Atau terkejut karena kau ketahuan gatal pada pria lain?"

"Pak, itu teman saya."

"Benarkah? Tapi aku melihatmu tersenyum-senyum padanya. Kau sangat genit dan aku muak melihatnya. Kau benar-benar murahan!!"

"Pak, itu tidak benar."

Vino berdiri kemudian berjalan menuju Andien yang berdiri ketakutan di tengah ruang tamu. Tadi Vino pulang dari kantor lebih awal karena tidak bisa konsentrasi bekerja. Namun, sampai dirumah ia justru disuguhi pemandangan yang benar-benar membuatnya marah. Wanita gembel itu pulang bersama seorang pria dan berlagak genit di depan rumahnya. Benar-benar memuakkan.

"Jadi, kau pikir aku yang buta. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dan kau bilang aku salah. Mulutmu benar-benar beracun."

Vino meraih dagu Andien dan mendongakkan wajahnya, membuat wanita itu kesakitan. Vino benar-benar geram pada wanita tidak tahu diuntung itu. Sudah kere, tapi banyak bertingkah.

Andien ketakutan, ia tidak menyangka hanya karena di antar Denis saja, bisa menjadi masalah besar seperti ini. Ia hanya meringis saat Vino mengeratkan pegangan tangannya. Pria itu menatapnya bengis, seolah ingin membunuh Andien saat ini juga.

"Kau benar-benar membuatku muak. Mulai saat ini, aku akan menghentikan seluruh perawatan untuk kekasihmu itu. Aku akan membiarkannya mati dan aku juga akan menendangmu dari universitas. Jadi, siapkan saja dirimu."

Andien menggeleng ketakutan. Ia ambruk, bersujud di kaki Vino sambil menangis sejadi-jadinya. Kondisi Kevin menunjukkan kemajuan. Jika sampai perawatan dihentikan, entah bagaimana nasib Kevin selanjutnya. Semua pengorbanan Andien selama ini bisa sia-sia hanya karena kesalahan kecilnya.

"Pak, saya mohooon, jangan hentikan pengobatan Kevin. Saya tahu saya salah. Saya janji, saya tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan saya, Pak. Saya mohon, bapak jangan menghentikan semua biaya pengobatan Kevin."

Andien menggugu sambil memeluk kaki Vino. Tidak peduli meski ia merendahkan dirinya di hadapan Vino, yang jelas pengobatan Kevin tidak boleh dihentikan. Kevin harus sembuh barulah ia rela jika Vino membuangnya.

"Kau pikir aku sudi mendengarkan omongan wanita murahan sepertimu.  Jika kali ini aku memaafkanmu, kau pasti akan terus bertingkah. Kau memang wanita tidak tahu diri. Pergi sekarang juga dari rumahku!!" Vino menghardik Andien sambil menunjuk pintu keluar. Semakin wanita itu menangisi kekasihnya, Vino justru semakin muak.

"Tidak, Pak. Saya mohon jangan. Tolong jangan hentikan pengobatan Kevin. Saya akan melakukan apapun agar Bapak tidak menghentikan pengobatannya. Tolong kasihani kami, Pak." Andien masih terisak sambil memeluk kaki Vino. Meskipun Vino menendangnya saat ini, ia tidak akan pergi. Bayangan kematian Kevin benar-benar membuatnya ketakutan.

"Kau ingin aku meneruskan pengobatannya?" Andien mendongak mendengar pertanyaan Vino, ia mengangguk sambil menatap Vino penuh harap. Semoga saja pria itu berubah pikiran dan punya sedikit hati nurani.

"Aku akan meneruskan pengobatannya jika kau merangkak dan menjilati sepatuku." Ucap Vino sambil tersenyum miring, membuat Andien melotot seketika.

"Setelah selesai, buka semua pakaianmu dan kita akan ke kamarku, di sana banyak berbagai macam cambuk yang sudah menantimu. Jangan lupa, merangkaklah ke sana."

"Mak, maksudnya?" Tanya Andien dengan suara terbata-bata, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Merangkaklah sekarang, jilati sepatuku. Kemudian, kau buka semua pakaianmu itu lalu merangkaklah dengan telanjang ke dalam kamarku. Di sana, kau pasti sudah tahu apa yang aku inginkan. Tubuhnya benar-benar pas dengan semua borgol dan cambuk yang ada di kamarku."

Andien menangis sesenggukan, namun tanpa kata ia menundukkan badannya, lalu dengan menekan rasa jijiknya, Andien menjilati sepatu Vino. Lelaki itu tersenyum miring menatap wanita yang merangkak seperti anjing di bawah kakinya.

Seseorang yang sedari tadi mengintip di balik tembok ruang tamu membungkam mulutnya sendiri agar tangisnya tidak terdengar ke dalam. Denis tidak menyangka Andien akan diperlukan sebegitu hina oleh suaminya sendiri.

Tadi ketika di perjalanan pulang, Denis melihat catatan Andien tertinggal di mobilnya. Ia segera berbalik karena belum jauh dari rumah Andien. Satpam rumah sendiri langsung membukakan pintu karena tahu ia teman Andien.

Namun, begitu sampai didepan pintu yang sedikit terbuka, Denis tidak dapat menahan rasa terkejutnya begitu mendengar pembicaraan Andien dan suaminya. Pria itu memperlakukan Andien dengan sangat hina hanya karena masalah sepele.

Tidak tahan terus bersembunyi, Denis berniat masuk ke dalam untuk menolong Andien. Namun, saat ia hendak masuk, sebuah tangan menariknya agar menjauh. Denis terkejut, namun ia tidak berani bicara apapun karena pria itu mengisyaratkan padanya untuk diam.

Denis tidak mengenali pria itu. Namun, karena sepertinya tidak memiliki niat jahat, Denis mengikuti langkah pria itu sambil sesekali menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya. Denis benar-benar syok dengan apa yang baru saja ia lihat.

Sesampainya diluar pagar setelah terlebih dahulu mengangguk pada pak satpam, akhirnya pria itu melepaskan tangan Denis dan menatap tajam pada pria itu. Denis sedikit takut, tatapan mengintimidasi pria asing itu membuatnya sedikit bergidik.

"Kau teman dari istrinya Vino?" Tanya pria itu dengan nada rendah, Denis mengangguk lesu.

"Kau tahu, kau hampir saja menyerahkan nyawamu dengan masuk ke rumah itu. Jika Vino sudah seperti itu, dia benar-benar marah dan tidak akan ada yang bisa mencegahnya. Masuk dan berbuat gegabah, sama dengan menyerahkan nyawa."

"Lalu saya harus melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana teman saya diperlakukan seperti binatang. Maaf, saya bukan teman seperti itu."

"Lalu, kau mau bersikap sok pahlawan dan mengorbankan kehidupanmu, sama seperti wanita itu. Ingat, Vino bukan pria pemaaf. Dia bahkan menghalalkan segala cara untuk membalas orang yang menyakiti adiknya. Apalagi jika kau mengusiknya. Setidaknya pikirkan orang-orang disekitarmu."

"Lalu saya harus bagaimana untuk menolong Andien? Tidak mungkin saya membiarkannya mati di tempat ini." Laki-laki itu menepuk pundak Denis, membuat Denis kebingungan.

"Pulanglah. Biar aku yang bicara padanya. Setelah keadaan kondusif, aku akan bicara dengannya agar teman-temanmu mendapatkan keadilan."

"Anda siapa?"

"Aku temannya Vino, juga teman kakaknya Kevin. Luna sudah bicara padaku tadi. Nanti ku usahakan agar Vino melepaskan wanita itu dan bertanggung jawab atas pengobatan Kevin. Sekarang pulanglah. Kau pasti syok dengan kejadian tadi."

"Tapi, saya__"

"Sekali ini saja, kumohon menurutlah demi dirimu sendiri. Aku akan berusaha sebisa mungkin membantu kalian."

Denis akhirnya mau tidak mau menurut. Ia pulang dengan pikiran melayang tak tentu arah. Sesekali air matanya keluar dan ia menangis sesenggukan. Denis tidak menyangka, Andien harus berkorban begitu besar agar Kevin bisa mendapatkan pengobatan.

Sungguh Denis sangat mengutuk Kiara. Wanita ular itu pantas menderita seumur hidup karena perbuatannya. Begitu lihainya wanita ular itu menghasut kakaknya untuk menyakiti orang lain, bahkan hingga mempertaruhkan nyawa. Meskipun wanita itu bersujud dan minta maaf pada Andien, tidak cukup untuk membayar trauma psikis dan mental yang mungkin akan di derita oleh Andien setelah kejadian ini.

Trapped With You (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang