File 10

2.9K 402 31
                                    

Derasnya hujan ditambah dengan angin malam yang berhembus kencang membuat siapapun yang berencana untuk keluar rumah untuk mengurungkan niatnya.

Suhu malam itu sangat dingin, mendekati tiga puluh dua derajat fahrenheit. Kaca-kaca jendela menyusut, seakan-akan dapat lepas dari bingkainya kapan saja.

Ruang rapat Camelot malam itu sunyi, dengan hanya dua orang yang berada di dalamnya. Seorang pria dan seorang wanita. Pencahayaan yang ada hanya berasal dari lampu meja kecil yang berada di samping kedua orang itu.

"Camelot sudah tiada." Pria itu berkata dengan nada yang rendah dan putus asa. "Tinggal tunggu waktu sampai dia melenyapkan kita."

Wanita yang duduk bersebrangan itu menghela nafasnya, dia melepaskan pin peraknya yang bernomor sepuluh romawi itu.

"Aku tahu, Lancelot" Jari perempuan itu menekan saklar lampu yang berada beberapa sentimeter darinya.

Rambut pirang pria itu memantulkan cahaya lampu, memberi kesan layaknya rambut itu dilengkapi dengan lampu LED.

"Kay-- tidak... Alicia, kita tidak bisa berdiam lebih lama lagi." Iris hijaunya berpendar di bawah cahaya lampu.

Wanita itu bangkit dari kursi malasnya. Rambut pirangnya serta iris hijaunya identik dengan pria yang menjadi lawan bicaranya.

"Kita harus apa kalau begitu, Brutus?" Tanya wanita itu, dengan nada yang sedikit menantang.

Pria itu terdiam, tetesan keringat terbentuk di pelipis kirinya. "Kita adalah anggota Camelot terakhir, Alicia." Diteguknya secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan uap. "Cepat atau lambat, Galahad akan memburu kita"

Wanita itu kembali duduk, menyeruput secangkir kopi yang sama dengan kembarannya itu.

"Lalu?" Tanyanya, meremehkan. "Kita bisa saja membunuhnya kalau kita berdua, kan?"

Pria yang bertubuh maskulin itu meletakkan cangkirnya, dia kemudian melemparkan selembar kertas yang berisi hasil otopsi anggota Camelot lainnya yang sudah tewas sebelumnya.

"Kepala hancur, tangan dan kaki dipotong, dipenggal, diledakkan, dan masih banyak lagi." Jelasnya selagi saudarinya membalik kertas itu satu persatu dengan raut wajah yang menunjukkan kengerian.

"Kau pikir kita bisa membunuh seseorang seperti itu?" Sambung pria itu dengan nada yang menantang.

Untuk beberapa detik, wanita itu hanya bisa terdiam melihat berkas-berkas itu dalam kengerian. Tak lama sebelum akhirnya logika wanita itu berjalan kembali.

"Kita tidak bisa membunuhnya bila kita langsung berhadapan dengannya." Mata hijau perempuan itu berpendar penuh semangat. "Bagaimana kalau kita membunuhnya seperti caranya membunuh? Diam-diam?"

Pria itu menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Kau tahu kita tidak dilatih untuk pembunuhan seperti itu, kan?"

Gemuruh petir memotong pembicaraan kakak-beradik itu. Hujan sepertinya masih jauh dari kata berhenti.

"Lagipula," sambung pria itu "kau perempuan, Alicia."

Alicia paling benci kalau kakaknya mengungkit soal itu. Brutus tidak pernah memandangnya layaknya seorang pembunuh, ia selalu memandang Alicia sebagai seorang perempuan yang lemah.

"Dengar aku, Brutus..." Alicia menggeram. "Aku sudah membunuh pria yang ukurannya dua kali dari diriku, aku lebih dari mampu untuk membunuh Galahad."

"Alicia, kumohon den--"

"Tidak, aku akan mencarinya dan membunuhnya."

Wanita muda itu berjalan keluar dari ruangan rapat, menerobos derasnya hujan yang berada di luar ruangan.

Kamu akan menyukai ini

          

"Benar-benar dia ini...."

Brutus mengambil payung yang terduduk di dalam guci keramik tua yang berdiam diri di pojok ruangan.

Tuuut....

Telapak tangan Brutus sudah melingkar di kenop pintu ketika telepon itu berdering.

"Siapa?"

Tanya Brutus dalam sanubarinya.

Tuuut....

Brutus sudah memutuskan untuk menghiraukan telepon itu dan mengejar adiknya. Tetapi belum sempat Brutus menapakkan kakinya keluar ruangan, sebuah suara dari voicemail menghentikannya.

Apa kabar? Semoga kau menerima pesanku... Ini Marco, aku sudah berusaha menghubungimu berkali-kali tapi kau tidak membalas. Oh iya, ngomong-ngomong... adikmu datang padaku sambil menangis. Apa dia baik-baik saja? Aku sedang mengantarkannya ke rumah sakit terdekat, tadi dia tergeletak di tengah jalan setelah sebuah van polisi menabraknya.

Brutus terkejut bukan main. Siapa sangka si pemburu sudah menancapkan taringnya di adik kembarnya? Belum ada dua menit sejak Alicia berlari keluar dan... dia sudah bersama Galahad.

Benar-benar mengerikan.

Keringat membasahi tubuh Brutus begitu dia menyadari kalau Galahad sudah mengintainya sejak tadi. Menunggu mereka keluar, menunggu dengan sabar layaknya seekor harimau mengintai mangsanya.

Tiga puluh menit, Lancelot... atau adikmu akan berakhir layaknya yang lain. Kau tidak menginginkan itu, bukan?

Tuuut....

Brutus langsung berlari keluar begitu telepon itu berhenti bersuara. Adiknya dalam masalah, masalah yang sangat besar.

Hujan membasahi kaos yang dipakai Brutus, namun ia tidak terlalu menghiraukannya. Dia mengikuti instingnya, berusaha mengandalkan ikatan antara dirinya dengan adik kembarnya itu.

Insting Brutus membawanya ke sebuah hangar pesawat di bandara yang sudah lama terbengkalai, atapnya yang berlubang membuat air hujan dapat masuk dengan leluasa. Alhasil, bagian dalam hangar itu dipenuhi dengan lumut, paku-pakuan, dan tanaman merambat di dindingnya. Udaranya terasa sangat lembab dan dingin.

Di tengah hangar yang luas itu terdapat sebuah mobil van hitam dengan lampu belakang yang masih menyala. Perlahan dan berhati-hati, Brutus yang tidak bersenjata itu berjalan mendekati mobil tersebut.

Yang didapatinya ketika dia cukup dekat adalah sebuah mobil kosong dengan sebuah surat ditempel di kaca depan mobil itu.

"Ayo kita bermain, Lancelot."

Jeritan yang familiar merambat ke tulang telinga Brutus, memaksanya untuk menoleh ke atas, asal jeritan itu.

Yang dilihatnya di atas sungguh membuatnya merinding.

Alicia digantung terbalik di atap hangar setinggi gedung bertingkat tiga itu. Kedua tangannya diikat ke belakang punggungnya, dia benar benar tidak bisa bergerak.

Suara tepukkan tangan menggema dari pojok hangar, disusul dengan tawa yang sangat ikonis.

"Selamat datang, Lancelot!" Marco berdiri di sana, dengan setelan putihnya yang rapi dan elegan layaknya seorang aristrokat. "Bagaimana kalau kita bermain sesuatu?"

Brutus mendapati dirinya terperangkap, sesuatu menahannya untuk bergerak dan membuhuh Marco. Sesuatu yang sangat lengket.

"Tempatmu berdiri sudah kulapisi dengan lem industri yang biasa digunakan untuk merekatkan baja." Marco menepuk kedua tangannya.

"Lepaskan adikku." Ujar Brutus dengan nada mengancam.

"Ho?" Marco tersenyum layaknya seorang yang baru mendapat seratus juta dollar. "Dengan senang hati, Lancelot."

Ibu jari Marco menekan sebuah tombol yang dibawanya. Brutus gagal menyadari kalau Marco benar-benar melepaskan adiknya dari tali di atap hangar.

Yang menyusul jeritan Alicia yang memekakan telinga adalah suara daging manusia menghantam beton dengan kecepatan tinggi, kepala terlebih dahulu.

Brutus hanya bisa melihat selagi adiknya jatuh ke kematiannya.

Kepala Alicia terpecah layaknya semangka, potongan otaknya bersebaran kemana-mana, terciprat ke wajah Brutus. Setelan putih Marco juga tidak luput dari ledakan kepala yang diakibatkan benturan tadi itu.

"Wah, pakaianku jadi kotor."

"A...Alicia... A-Apa yang kau lakukan, Bajingan?!" Brutus meraung.

Marco memiringkan kepalanya, layaknya anjing ketika mendengar suara peluit. "Loh? Kan kau menyuruhku melepaskannya, makanya kulepaskan!" Tawa Marco bahagia.

Dengan amarah yang sudah meluap-luap, Brutus melepaskan sepatunya dan melangkah menuju Marco.

Lem industri itu langsung merekat di kulit kaki Brutus. Setiap kali dia mengangkat kakinya, kulitnya akan ikut tercabik, tetap merekat di lantai.

"K-kubunuh kau... kubunuh kau!" Brutus menghiraukan rasa sakit yang teramat sangat di telapak kakinya dan terus berjalan ke arah Marco.

Daging dan darah tertinggal setiap kali Brutus melangkah, lapis demi lapis daging di telapak kaki Brutus terkikis. Darah mengalir layaknya keran.

"Hidup itu penderitaan, kawanku." Marco mengambil sebuah revolver yang tergeletak di lantai.

Tulang telapak kaki Brutus mulai nampak ketika ia cukup dekat dengan Marco.

"Aku hanya membebaskan mereka dari penderitaan itu, menyelamatkan mereka," Marco mengarahkan moncong pistol .45 kaliber itu kearah Brutus.

"Kubunuh kau...." Wajah Brutus pucat, sudah terlalu banyak darahnya yang keluar dari tubuhnya.

"Aku adalah juruselamat mereka....."

Peluru itu menembus tengkorak Brutus, membunuhnya seketika.

Marco berjalan perlahan menuju kedua tubuh tak bernyawa itu, dia mengambil pin perak Camelot dari mereka.

Marco melempar kedua pin berlumuran darah itu ke udara, dan menangkapnya dengan tangannya sebelum pin itu jatuh ke tanah.

"Sekarang, bagaimana kalau kuselamatkan dunia yang rusak ini?"

.
.
.
.
.
.
.
[End of File 10]
.
.
.
.
.
.
.

Author's Note :

Nah! Bagaimana Chapter ini? Menarik atau apa? Kutunggu saran kalian seperti biasa! Kalau kalian suka, tolong dibantu dengan memberikan vote nya yah! Terimakasih seperti biasa karena kalian telah sudi meluangkan waktu kalian untuk membaca ceritaku! Sampai jumpa di chapter berikutnya!

-danchandr

Inside [ON REVISION/REWRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang