Cardigan

2 0 0
                                    

Cardigan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cardigan

lembut, seperti kau yang memeluk hangat. Mungkin sedikit gatal karena beberapa benangnya keluar. Sudah lama sekali dipakai hingga terlihat warnanya pudar. Awalnya biru langit, padahal mungkin langit tak begitu cerah birunya, tidak sebiru cardiganku. Tapi sekarang pucat warnanya. Seperti sudah dicampur cat putih hingga pudarnya tergantikan oleh warna putih. Masih hangat jika kupakai.

Sehangat pelukan yang begitu kurindu.
Sehangat kalimat penenang yang pernah dilontarkan.

Merindukanmu membuatku terlalu banyak berpikir hingga otakku remuk redam. Bahkan aku mengatakan merindukanmu rasanya seperti cardigan yang telah lama memeluk tubuhku. Bedanya cardigannya masih ada, warnanya memang pudar tapi dia masih tidak ada di sampingku.

Kau pernah menarik salah satu lengannya. Kalau benar kuingat, kau menariknya berkali-kali. Kupikir karena bahannya kuat, dia tidak akan membesar. Lucunya lengan cardiganku sekarang panjang sebelah. Melar bahasa Jawanya. Kalau aku melihat pantulanku di kaca, lucu sekali. Tanganku tenggelam di dalam lengan yang panjang sebelah. Tapi tidak masalah, aku masih tetap membiarkan lengan cardigannya memeluk lenganku.

Pantulan birunya di kaca cafe tidak sejernih mata yang memandang. Mungkin dari begitu banyak orang yang lalu lalang di depanku, di depan meja yang berada di sampingku, hanya aku yang memandang cardigan tua ini indah masih sama seperti saat mataku melihatnya di tumpukan sale beberapa tahun silam. Menjadi melankolis karena menyentuh permukaan kasar cardigan rajut yang kupakai, ya terdengar seperti aku sekali.

Meja kafe yang berada di sampingku tidak kuat menampung barang yang tercerai berai. Kopi satu gelas yang sudah habis lebih dari setengah, rasa pahitnya bahkan masih tertinggal. Buku yang terbuka, hanya ada satu kata disana mungkin, tapi tidak ada lanjutannya. Putih bersih karena tidak tahu mau menulis apa. Ingin aku menulis rindu berkali kali di atasnya tapi nanti bosan. Telepon genggam yang kubiarkan mati, perlahan menampilkan baterainya tiga persen, entah berapa menit lagi dia akan benar-benar mati. Tasku yang besarnya seperempat dari besar meja kafe. Isi tasnya jauh lebih berantakan dari meja kafeku.

Sudah berapa kali tadi aku mengatakan aku merindukanmu? Merindukan pelukan di tubuhku sama seperti saat cardiganku melindungi tubuhku dari cuaca dingin saat ini?

Kau ingat? Saat telunjukmu mengarah pada tumpukan sale di keranjang toko? Tentu tahu saat itu bahwa aku mencintai barang diskon karena dompetku selalu tipis kekurangan uang. Saat itu mulutmu mengatakan bahwa cardigan yang berwarna biru langit terlihat cantik. Mengangkat satu cardigan dan menempelkan pada tubuhku. Matamu cerah menatapku dan mengatakan secara gamblang bahwa aku cantik memakainya.

Bersyukur aku tidak keras kepala dan membiarkan cardigan tertinggal di tumpukan sale. Membungkusnya walaupun saat itu opiniku mengatakan bahwa biru cerah tidak cantik pada warna kulitku yang cukup gelap. Satu-satunya warna di antara beribu bajuku yang berwarna gelap.

"Kau cantik, sama seperti cardigannya."

Dan kau hangat seperti cardigan yang kau belikan untukku.
Oh betapa aku merindukanmu. Sudah berapa kali kukatakan?

"Kupikir kepalamu itu sedang bermain-main dengan memori kita?" Katamu yang berdiri menghalang matahari bersinar menerpa tubuhku yang duduk.

"Kau tahu aku harus bekerja." Jawabku.

"Sudah mengelus cardigannya berapa kali nona manis?" Tubuhmu bergerak untuk membiarkan matahari menyinariku lagi dan duduk di kursi kosong di samping tempat dudukku. "Kan kalau merindukanku, kau bisa mengangkat telepon dan berbicara padaku."

Suaranya lembut seperti angin yang baru saja menggerakkan rambut hitam kelamnya. Bermain lebih lama untuk tidak membiarkan dia tahu betapa aku merindukannya.

"Tya, aku tidak mati. Kau bisa mengatakan merindukanku di depan wajahku daripada menuliskannya di laptopmu."

Segaris senyum akhirnya tercetak di sudut bibirku mendengar komentarnya.
"Aku harus melankolis agar penulisku mencintai kalimatku."

Cardigan dan dirinya yang duduk tenang di samping tubuhku. Mungkin memang penulis sepertiku harus selalu mengukir memori di dalam kepala agar semua hal darinya bisa kujadikan sebagai inspirasi.

Satu-satunya inspirasi yang bisa aku tuliskan, cardigan dan dirinya.

Jatuh cinta tidak hanya membuat orang-orang bahagia, tapi khusus untuk penulis sepertiku, jatuh cinta membuatku mendapatkan uang. Terdengar jahat, tapi cinta dan uang sejatinya tidak selalu materialistis. Aku mencintainya, hingga membuatku bisa merangkai kalimat begitu banyak. Dia sumber inspirasiku dan sumber semua kehangatan dan seluruh rasa di dalam indera untuk kujadikan uang. 

Sepertinya dibilang materialistik juga tidak masalah, toh hanya hatiku yang tahu betapa banyak aku mencintai dan merindukannya.

---

CardiganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang