Peace Lily

3 1 0
                                    

Setelah tiga hari berpindah dari lapak bunga hias ke pintu samping
kamar mandi, aku masih belum bertemu lagi wanita yang mengadopsiku.
Yang terlihat hanya beberapa gadis muda masuk keluar, mengabaikanku
meski aku cantik dengan warna putih dan kuning kontras.

Seorang wanita paruh baya yang sepertinya penjaga rumah juga kerap
lupa memberiku air. Wanita itu mendorongku, menyapu lantai, lalu
meletakkanku kembali. Penolongku datang pada hari keempat. Seorang
gadis yang berlari menggedor pintu kamar mandi dan memaksa masuk.

Kericuhan mereka di dalam membuatku tersenyum, detik berikutnya gadis
yang lebih dulu berada dalam kamar mandi keluar dengan rambut basah.
Wajahnya memerah dengan bibir mengerucut menyemburkan sumpah serapah,
memaki-maki Lea, gadis yang tadi memaksa masuk.

Lea keluar dengan wajah lega, senyumnya melebar ketika pandangannya
tertumbuk padaku. Gadis itu berlari lalu kembali sembari mengarahkan
ponselnya kepadaku.

"Mari kita lihat, siapa namamu... Whuah, cantik. Kita benar-benar berjodoh."

Rambut sebahunya berantakan. Kacamata minus yang membingkai mata
bulatnya tidak mampu menahan kerlip bintang yang berlompatan bak
kembang api ketika berjongkok mengelus daunku.

"Hmm..., mau ikut? Kamarku tidak besar, tapi akan kubuat kau nyaman
berada di sana."

Aku ingin sekali mengangguk mengiakan ajakannya, belum pernah ada yang
mengajakku bicara seperti Lea. Mata bulat Lea dan gigi gingsul gadis
itu begitu menyenangkan dilihat. Kegembiraannya menular.

Lea membelai kelopak putihku yang lebar, ia membalik-balikkan daunku
sambil menggumamkan sesuatu yang tak terdengar. Aku harus menunggu
semalam sampai gadis itu datang membopongku dengan tangan kurusnya.

Sambil bersenandung, Lea bercerita kalau Ibu penjaga rumah membuatnya
berjanji agar rutin memberiku minum, tidak alpa mengeluarkanku agar
sesekali terkena sinar matahari. Seandainya bisa, aku ingin sekali
mencebik mendengarnya. Ibu itu bahkan tidak memungut bungkus permen
yang dibuang ke tubuhku oleh setengah lusin gadis yang hilir mudik
masuk ke kamar mandi.

Kamar Lea mungil tapi rapi. Tidak banyak berisi perabot. Meja
belajarnya menempel di tembok dekat tempat tidur. Lemari berwarna biru
kuning diletakkan di pojok ruangan. Bagian atasnya penuh dengan buku
tebal yang ditumpuk asal. Dinding kamar Lea dilapisi kertas dinding
bermotif matahari dan bunga-bunga kecil. Lea menaruhku tepat di
samping meja belajarnya. Jendela Lea yang lebar setinggi hampir 3
meter membuatku bisa melihat jalan dari tempatku diletakkan.

"Kamu enggak boleh banyak-banyak terkena sinar matahari. Di sini
sepertinya aman." Lea menyemprotku dengan hati-hati. Sambil
melakukannya, gadis itu memperkenalkan diri.

Dalam setengah jam aku sudah tahu kalau Lea adalah mahasiswa Farmasi.
Masih tingkat 1, masuk ke universitas negeri melalui jalur prestasi.
Lea anak bungsu. Ayahnya meninggal sejak ia bayi dan ibunya masih
bekerja menjadi penjahit rumahan, meski sudah sakit-sakitan.

"Ayahku sangat mencintai tanaman, rumah kami penuh dengan tanaman dan
pohon besar warisan Ayah. Sayangnya, tidak ada di antara kami yang
mewarisi hobi Ayah. Ibu hanya mempertahankan pohon-pohon besar saja
dan membiarkan tanaman lainnya mati. Melihatmu, aku menjadi rindu
Ayah. Aku tidak sempat mengingatnya, hanya bisa membayangkan bagaimana
Ayah dari cerita Ibu dan kakak-kakakku."

Lea menghela napas panjang. Hening sesaat sebelum matanya berputar
jenaka ketika ia menyemprotku lagi. "Selain membersihkan udara dari
spora dan jamur, apakah kau juga punya kemampuan menghilangkan aura
negatif? Aku ingin setiap hari merasa optimis, cepat menyelesaikan
kuliah dan membuat Ibu tidak khawatir lagi."

Udara yang segar sudah merupakan bagian dari usaha mengusir aura
negatif, bukan? Maka, sejak hari itu aku berusaha keras membuat daunku
hijau mengilat. Melebarkan kelopakku dan membuat gerombolan bunga
kuning bersinar secerah mungkin.

Kesibukan kuliah menenggelamkan Lea. Meski demikian, Lea tidak pernah
lupa memberiku minum. Pagi sambil terburu-buru dengan mulut penuh roti
atau malam ketika matanya sudah separuh terpejam. Empat minggu
kemudian, Lea membawa satu pot mungil bamboo air dengan wajah
berseri-seri.

Ada batang bamboo setinggi 20 cm yang diikat satu dengan pita merah
dalam pot bening berisi air. Desas-desus mengatakan bamboo air dapat
mengikat energi negatif dan mendatangkan rezeki bagi pemiliknya. Aku
dengan sukacita menyapa, tapi si Bambu Air sepertinya bukan tanaman
yang ramah. Dia melirikku sekilas lalu membisu.

Bambu air adalah awalnya, setalah itu datang Pohon Uang. Tanaman
dengan batang berbelit itu diletakkan di sampingku. Tidak seperti si
Bambu Air, Pohon Uang lebih ramah. Ia bertanya apakah aku juga hadiah
dari Devan, teman sekampus Lea. Belum lebih dalam mengenal Si Pohon
Uang, Lea membawa lagi 2 pot kecil berisi Monstera. Lea belum
berhenti, kaktus mini, lidah mertua sampai satu pot krisan yang sedang
berbunga. Gadis itu seperti sedang terobsesi dengan tanaman hias.

Lea menjadi sering melihat ponselnya. Kadang tersipu tetapi seringkali
memandangi layar dengan dahi berkerut. Gadis itu mengganti kacamatanya
dengan lensa kontak. Sekarang Lea suka berlama-lama di depan cermin.
Mematut, melebarkan mata,menggulung rambut, lalu membentuk bibirnya
menjadi beberapa bentuk senyuman. Produk kosmetik bertebaran di meja
belajarmya. Gadis itu mengurangi waktunya untuk bercerita denganku.
Begitu datang, langsung sibuk memainkan ponsel.

Pada minggu kelima setelah kedatangan si Bambu Air, aku tersentak
ketika tanaman itu berteriak.

"Aaaaah, aku tak tahan lagi! Bisakah kau katakan kepada Lea, kalau
laki-laki yang memberikanku bukan laki-laki yang baik? Ia bahkan tidak
membelinya sendiri. Aku milik seorang wanita yang juga bersemu ketika
bertemu dengan laki-laki itu! Ketika masih tinggal dengan Devan, cowok
itu bahkan sering membawa cewek lain ke dalam kamarnya."

Aku terkesiap. Lea jatuh cinta. Itulah sebabnya ia kerap menatap
ponselnya dengan pipi merona. Memperhatikan penampilan terlalu
berlebihan. Waktunya habis untuk mengoleskan segala macam krim di
wajah. Lalu menghabiskan waktu berswafoto dengan si Bambu Air,
diteruskan dengan mengunggah di halaman media sosial miliknya. Aku
panik, berpikir bagaimana cara memperingatkan Lea.

Namun, bukankah ada kemungkinan lain? Mungkin Devan sudah berubah,
mungkin Devan benar-benar menyukai Lea. Mungkin si Bambu Air
berbohong.

"Percaya atau tidak terserah. Aku tidak suka menodai citraku sebagai
pembawa keberuntungan. Lea harus segera berhenti berhubungan dengan
Devan," jawab si Bambu Air dengan dingin ketika kuutarakan
kemungkinan-kemungkinan itu kepadanya.

Kecemasan tentang Lea membuatku bersedih. Daunku mengerut bak
kekurangan air, kelopak bungaku gugur satu per satu. Lea mulai alpa
memperhatikanku, pun dengan bamboo air dan semua tanaman yang
dibawanya pulang. Di suatu malam, dalam gelap aku mendengar isak Lea,
teredam oleh bantal yang menutup kepala. Hatiku teriris oleh rasa
bersalah. Andai bisa, aku ingin punya tangan untuk memeluknya.

Ketika matahari muncul mengusir malam, Lea dengan mata sembap
berjongkok membelaiku. Kelopak matanya bengkak tanpa kacamata, bercak
hitam dari pewarna mata membekas di pipi, rambutnya awut-awutan tapi
bibirnya mengulas senyum tipis yang membuatku lega.

"Aku pikir seorang yang cinta dengan tumbuhan punya hati setia,
lembut, sabar dan perhatian. Mungkin aku rindu pada sosok Ayah, lalu
terobsesi dengan cowok itu hanya karena ia menyodorkan satu pot
tanaman dan menghujaniku dengan banyak perhatian. Cinta juga butuh
waktu untuk tumbuh dari benih sampai berbunga cantik sepertimu, kan?
Bahkan butuh serangan hama dan serangga untuk membuktikan
kesetiaannya."

Angin semilir dari jendela besar kamar Lea menggoyangkan daunku. Semua
akan baik-baik saja. Lea pasti kembali riang seperti semua. Senyum
tipis Lea membuatku bergairah menguatkan batang daun. Kukerahkan
tenaga menyerap semua kelembapan, kesedihan, amarah dan energi
negatif dari udara. Menelannya dan menyemburkan kembali kesegaran
penuh optimisme ke udara. Peace Lily, itu namaku bukan? sudah takdirku
memberi kedamaian bagi pemilikku.


Rahasia ToskaWhere stories live. Discover now