Meletakkan sebuah piring berisi beberapa lauk pada meja, kedua kakinya ia bawa memutari meja makan.
"Bang, Kai, hari ini naik bus dulu, ya? Motor Nanda dibawa Ayah," ucapnya sembari menarik kursi.
"Berangkat sama Bapak aja, sekalian mau ke kantor," ujarnya memberi solusi dengan kepala tertunduk, menatap Nanda dengan ekor matanya.
"Gak papa, Mas?" tanya Ibu Nanda memastikan, takut terjadi suatu hal kembali yang tak diinginkan.
"Aku gak papa, yang ada apa-apa itu Nanda," dalam posisi yang sama, Bapak meremat kedua tangannya yang bertaut. Rasa bersalah menyeruak menusuk kembali, membuat suasana menjadi sedikit canggung.
"Kenapa, sih?!" seru Kaisar tiba-tiba, menjadi orang pertama yang tak bisa memahami keadaan itu menjengkelkan.
"Nanda berangat, Bu." Semua terteguh, Nanda bangkit dari duduknya tanpa memakan sesuap nasi atau bahkan meminum seteguk air.
Ibu ikut bangkit menarik pergelangan tangan Nanda untuk kembali duduk. Memaksa Nanda untuk tidak menghindari sarapan atau lainnya.
"Ma-maaf, Mbak. Aku sarapan di jalan aja," ujar Bapak mengakhiri, pergi tanpa meminta jawaban atau hanya perpisahan kecil. Kaisar menatap punggung Bapak yang kian menjauh, lalu hilang ditelan dinding ruangan.
"Udah, sekarang sarapan."
.
.
.
.
.
"Nan, pernah suka sama orang kaga lo?" tanya Kaisar tiba-tiba membuat Nanda yang berjalan lumayan cepat berhenti tanpa aba-aba.
"Gak per-"
"Emang iya? Lo itu ganteng banyak yang suka, gak pernah lirik gitu?" ucapnya cepat, menghalangi langkah Nanda untuk tetap diam di tempat. Mengabaikan halte bus yang sedikit lagi telah sampai, Kaisar ingin mengulur waktu sebentar saja.
"Ngapain? Buang waktu, sekolah tuh yang bener gak mikirin hati aja." Tangan kanan Nanda terangkat, mendorong bahu Kaisar untuk minggir. Kembali berjalan ke arah halte, takut tertinggal bus pertama.
"Sekali-kali bolos jam pertama. Hari ini Matematika, galak gurunya. Gak inget apa waktu itu gue di lempar penghapus padahal yang tidur si Rizki?" gerutu Kaisar, semacam mengadu perbuatan yang tak ia perbuat pada orang tua. Menarik pergelangan Nanda untuk kembali diam.
Nanda diam menurut, setelah dipikir-pikir boleh juga membolos, apalagi tugas yang diberikan oleh guru itu ada beberapa yang belum dia kerjakan. Jadi, tak masalah bukan? Hanya sekali, Nanda janji.
"Naik bus ketiga," tungkas Nanda membuat Kaisar memekik girang. Berbalik arah sembari menautkan sebelah tangan mereka, berjalan entah ke mana.
.
.
.
.
.
Tak ada tanda-tanda bahwa Nanda dan Kaisar bangkit dari duduk. Keduanya menatap layar televisi yang menampakkan sebuah games, beradu skill mengalahkan satu sama lain.
"Bangsat!" seru Kaisar saat tokoh mainnya mati diserang karakter milik Nanda.
"Idih, dikira gak pernah mainan ginian?" Mata Nanda memutar, jengah dengan sumpah serapah Kaisar yang tak pernah absen.
"Harusnya, tuh, ngalah. Masa udah sering main tetep menang, gak adil lo," ucap panjang Kaisar, merasa tak terima bahwa ia kalah dengan mudahnya.
"Konsepnya emang gitu, lo aja yang cupu." Nanda meletakkan konsol games-nya, hendak bangkit meninggalkan Kaisar dengan kekalahan.
"Mau ke mana?"
"Masuk sekolah, kan, perjanjiannya bus ketiga," jawab Nanda, menenteng tas di sebelah bahu kokohnya.
"Baru juga setengah jam! Tambah dua jam, lah! Gue gak mau kalah gitu aja!" pekik Kaisar tak terima, walau memang benar perjanjian itu. Tapi, setelah dipikir-pikir, kenapa ia merasa Nanda terlihat sombong atas kemenangannya.
"Janji adalah huta-"
"Emang gue janji sama lo? Perasaan lo cuma bilang naik bus ketiga, gak ada perjanjian di atas materai, asal lo inget," ucapan Kaisar membuat Nanda menoleh ke arahnya, nampak ragu dengan apa yang ia ucapkan beberapa saat lalu perihal menyetujui untuk membolos.
"Bolos kok segala perjanjian di atas materai, emang masuk hukum?" tanya Nanda sarkas, kembali duduk pada tempatnya.
"Biar tidak ada fitnah," jawab asal Kaisar. Kedua retinanya berbinar saat Nanda kembali duduk di sebelahnya.
"Mas! Nambah dua jam, nanti dibayar temen saya ini!"Tebecehhh
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Tolak { Shinichi × Kaito }
Teen Fiction"Nanda, tolong berhenti buat gue jatuh ke cinta terlarang. Perasaan yang seharusnya gak pernah ada di antara kita." . . . . . "Gue benci lo! Gue gak nyangka, lo adalah salah satu manusia yang di laknat Tuhan!" . . . . . "Untuk Bapak, makasih Pak sud...